LIMA

6.7K 253 0
                                    


Ketika pada akhirnya kamu menyesal,

Maka air mata yang mengalir bukan sebagai bukti kehilangan,

Hanya wujud tawa yang menertawai kepedihan.

Aku keluar dari kamar mandi dan menatap Radka tengah tertidur dalam pelukan Kak Arvino. Aku tidak ingin mengganggu kemanisan mereka. Aku segera menuju tempat tidur yang dikhususkan untuk keluarga pasien. Namun mataku tertuju pada hpku yang bergetar, dan aku melihat disana ada panggilan dari seseorang yang sudah beberapa hari ini menghilang. Aku segera mengangkatnya sembari keluar dari kamar ini,

(Telfon dengan Charles)

"Charles," tuturku bersemangat.

"Kamu kemana saja? Aku dengar kamu juga gak masuk kuliah. Are you okey?"

"Ya...." Ujarku lesu teringat Radka.

"What happened?"

"Nothing sayang... kamu kapan kembali? Aku rindu,"

"Rindu tapi kamu hilang gak hubungi balik aku. Kamu masih marah?"

"Gak Charles. Aku... aku lagi membantu kakak sepupuku mengurus keponakannya yang sedang sakit,"

"Sakit apa?"

"Leukimia," ujarku dengan nada bergetar.

"Hei, kenapa kamu menangis?"

"Dia masih kecil Charles. Bahkan baru akan masuk SD. Mamanya sudah meninggal karena kanker dan sekarang dia menderita sakit seperti ini. Aku kasihan sekali melihatnya," tiba-tiba aku terisak.

"Sabar Aeera. Itulah hidup kita tidak pernah tau sampai kapan Tuhan membiarkan orang yang kita sayang selalu disamping kita. Karena itu aku ingin kamu segera mendampingiku Aeera. Apakah kamu sudah memikirkannya?"

"Tentu aku memikirkan ini Charles. Tapi, aku belum sempat bebricara dengan mama dan papaku karena kondisi saat ini sedang mengkhawatirkan,"

"Ayolah Aeera, aku mengerti kamu sedang berduka dengan keadaan keponakan kamu. Tapi, kita juga harus berbahagia Aeera. Pikirkan tentang hubungan kita,"

"Charles, tanpa kamu minta aku selalu memikirkan hubungan kita. Tapi, aku mohon beri aku waktu. Aku sangat menyayangi keponakanku,"

"Aku tidak pernah mendengar keponakan kamu ini sebelumnya, kenapa kamu begitu sayang padanya?"

"Charles apa yang kamu pikirkan?! Sudahlah, aku benar-benar tidak ingin berdebat. Kapan kamu kembali?"

"Aku sudah kembali,"

"Really?"

"Ya, besok aku jemput kamu,"

"Gak usah sayang, kita bisa bertemu di luar. Besok aku akan mengabari kamu. Ini sudah malam dan waktunya istirahat,"

"Ya selamat istirahat sayang. Semoga besok aku sudah bisa mendapatkan jawaban kamu,"

"Selamat malam," ujarku mematikan telfon.

Aku menatap dinding putih di depanku. Entah apa yang aku tatap, hanya dinding putih yang di depannya berjajar deretan kursi tunggu. Kursinya ada lima dan kelima kursinya berwarna kuning. Aku merasa pemilihan warna antara cat tembok dan deretan kursi ini sangat tidak kontras. Namun, mereka bisa tetap bersisian disatukan oleh penata kerapian di rumah sakit ini. Andaikan posisi dinding dan kursi ini ibarat aku dan Charles tentu kami bisa bersatu dengan mudah, tapi Tuhan masih saja menguji cinta kami. Membuat kami tidak bisa bersatu secepat yang kami inginkan.

Home Without LOVE (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang