40. Semua Yang Diminta Anna

9 0 0
                                    

Lerry memandang Jaden dengan tatapan penuh ketidak berdayaan. Ia menggeleng ketika Jaden balik memandangnya

" Belum ada jawaban" Akhirnya Lerry menurunkan ponselnya dengan pasrah. " Lo yang sabar ya, Gue yakin Sammy akan memberi kabar secepatnya.." Saran baik Lerry seolah tenggelam begitu saja. Lerry mengerti tak mudah untuk Jaden. Ia hanya mendekati sahabatnya sambil menepuk bahunya " Percayalah sama Ruby. dia wanita tangguh!"

Jaden mengepalkan tangannya. Bahkan, ia tak sanggup untuk tersenyum tegar walau sudah setengah mati mencobanya.

Matahari sudah tenggelam dan belum ada kabar apapun dari Sammy. Bagaiamana caranya agar Jaden bisa berpikir bahwa semua akan baik-baik saja?

" Gue bakal tidur di sini temenin Lu, jadi begitu ada kabar Lo bisa denger langsung!"

" Thanks Ler...."

Hal yang paling sederhana, membiarkan temannya yang kelelahan tidur di kamarnya sendiri pun tak bisa dilakukan Jaden. Semua energinya sepertinya tertelan oleh rasa kuatirnya yang membuncah. Hanya ketengangan pekat yang tersisa.

Dan malam pun berlalu dengan menyedihkan, tanpa ada kabar apapun. Jaden bangun keesekonnya dengan kepala berat dan kantung mata besar serta menghitam. Tidur di sofa memang bukan pilihan terbaik, tapi itu lebih baik daripada meminum alkohol untuk melupakan semua kejadian buruk kemarin.

Jaden membungkuk dan menutup wajahnya sebelum akhirnya menuju kamar mandi. Pancuran air hangat tak bisa melunturkan sedikitpun dari kegudahannya.

Ruby... Ruby dan Ruby. Nama itu terus berputar dengan segudang pertanyaan membuntutinya. Apa ia baik-baik saja? Bagaimana cideranya? Apa ada luka permanen? Apa dia sudah sadar? Kenapa Sammy tak memberi kabar? Ruby, apa dia sudah...?

Jaden menekan kepalanya. Ia membiarkan beberapa menit kesunyian mengambil alih hingga air matanya kembali jatuh bersama dengan guyuran air. Setelah itu ia menanggalkan sejenak tangisnya dan melanjutkan rencananya yang tak bisa ditunda lagi. Jaden menemui Lerry yang baru saja bangun dari tidurnya

" Lerr... pesenin tiket ke sana sekarang juga.... please!"

Lerry mencoba memandang Jaden dengan pandangan yang masih kabur. Semalaman begadang membuat konsetrasinya memuai. Pesen tiket pesawat? Sekarang? Kerja otaknya berangsur pulih walau mengantuk.

" Ow... oke..." Gumamnya sambil meraba permukaan sofa dan menemukan ponselnya " Mana paspormu?" Tanyanya sambil mengutak-atik ponselnya. Dalam keadaan begini yang diperlukan adalah menemukan penerbangan tercepat dan melupakan tarif rendah.

Ini dia, Lerry menemukannya. Besok pagi penerbangan business tanpa transit. Ia mendongak memandang Jaden yang kini juga memandangnya.

Aisss, Tatapan itu terlihat sama buruknya dengan tatapan sebelumnya. Kabar buruk! Kabar buruk! Kabar buruk?

" Paspor Gue ada di Mami!"

Mampus!

--‐-----------###-----------

Jaden punya aturan. Bila ada seorang yang mengajukan resign di perusahaan, maka perusahaannya tak akan menerima kembali mantan karyawan itu, apapun alasannya: entah kesulitan ekonomi, orang tuanya sakit, pekerjaan sesudahnya tidak sesuai dan semua alasan lainnya. Masuk satu kali keluar satu kali. Prinsip itulah yang ia pegang, berlaku untuk dirinya sendiri.

Gue nggak akan masuk ke rumah ini sebelum bisa membuktikan kalau Gue bisa berdiri dengan kaki Gue sendiri – Oke, singkatnya adalah: kaya

Janji Jaden waktu itu, waktu ia meninggalkan rumah besar ini, sekaligus perusahaannya. Janji sama dengan prinsip. Jadi, tidak kembali ke rumah ini sebelum kaya adalah prinsip hidup yang ia pegang teguh. Melalaikan prinsip sama dengan mengurangi harga dirinya. Mengurangi harga dirinya artinya sangat memalukan. Sangat memalukan sama dengan menjilat ludahnya sendiri. Menjijikkan!

GIOKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang