Ruby masih ingat saat itu....
Ketika tubuhnya berayun di udara. Ia melupakan segalanya, pusat segalanya adalah melakukan yang terbaik yang ia bisa, yang selama ini ia perjuangkan. Tubuhnya terayun dengan cepat hingga ia merasakan terpaan angin di wajahnya. Tak selembut yang dilihat para penonton, ototnya bekerja luar biasa hebat hingga terlihat tubuhnya berayun ringan seperti kupu-kupu terbang.Satu hingga tiga kali ia berhasil. Dan sebenarnya, Ruby sudah berhasil sepenuhnya.
Yang tidak berhasil adalah lawan mainnya. Seharusnya pria itu menangkapnya dengan sempurna, tapi kenyataannya tidak. Pria itu menangkapnya tapi tak mampu mengangkat tubuhnya. Ruby bisa merasakan genggamannya semakin lemah hingga yang tersisa adalah ayunan yang tak sempurna. Ayunan yang menghempaskan tubuhnya mengenai jaring pengaman sebelum akhirnya menghantam tanah.
Dalam satu detik Ruby merasa tubuhnya mati rasa, detik berikutnya ia merasa tulangnya remuk, pandangannya kabur sebelum akhirnya gelap sepenuhnya. Yang terakhir ia pikirkan sebelum kesadarannya hilang sepenuhnya adalah: IA AKAN MATI.
Ruby bisa menyebutnya keberuntungan, atau mujijat dari Tuhan ketika ia membuka mata dan yang dilihatnya pertama kali bukan cahaya putih atau kilas balik kehidupannya di bumi, melainkan kedua orang tuanya. Dan juga lelaki di depannya...
Bisakah ia menyebutnya: keberuntungan berdiri di atas tebing, sekali tertempa hembusan angin...
jatuh!
Batas antara pertemuan dan perpisahan memang setipis itu!
Juga, setipis mimpi dan kenyataan.
" Jade....."
Hanya satu kata yang bisa Ruby ucapkan untuk membuktikan bahwa ini semua nyata!
Satu kata yang mewakili berbagai rasa, salah satunya, yang terutama: rasa rindu yang sampai detik ini, tak pernah mati.
Dan tak terbendung.
Bersamaan dengan dengan trauma yang masih berputar di kepala, Ruby hanya bisa mengulurkan tangannya dengan lemah, berharap dapat menggapai Jaden. Ia melihat Jaden mematung di tempatnya, sebelum akhirnya menghampiri Ruby.
Berdiri di depan gadis itu
Diam tanpa berbuat apapun
Dan Ruby hanya bisa melingkarkan kedua tangannya di pinggang Jaden dan menenggelamkan wajahnya, bersandar sepenuhnya di sana. Untuk beberapa saat ia merasa dingin, pertanyaan apakah ini benar atau salah mengusiknya. Kemudian, Ruby merasa sentuhan di bahunya dan belaian di rambutnya, ia mengerti bahwa semuanya benar, dan memang seharusnya.
Detik itu, Ruby hanya bisa menahan tangis yang sebenarnya, tak bisa ia tahan sama sekali.
Jaden... benar-benar menjadi tembok pertahanan terakhirnya. Tak perlu berpura-pura kuat, cukup jadi dirinya sendiri. Dirinya sendiri yang ketakutan diujung pengalaman antara hidup dan mati.
----***-----
Apakah Jaden pernah bercerita pada Lerry bahwa ia benar-benar mencintai gadis di depannya dalam keadaan apapun, termasuk dalam rupa apapun, yeah... selama masih dalam rupa manusia. Bila Lerry di depannya sekarang, Jaden akan mulai bercerita dengan kecantikan gadis itu. Ruby cantik saat berperan menjadi Rapunzel, ia cantik saat menggunakan gaun merah ketika berdansa dengannya, ia cantik tanpa make up, ia cantik ketika memandang langit senja, dia juga cantik saat memandang Jaden- saat tak memandang Jaden pun masuk hitungan. Dan saat ini, dalam keadaan seburuk ini, tanpa make up, wajah muram, mata sayu dan dalam keadaan sakit pun, kecantikannya masih sempurna- sekali lagi- hanya di mata Jaden.
Satu kalimat tanya yang ingin disampaikan Jaden saat ini adalah: Bisakah aku menemanimu, bila kau masih membutuhkanku?
Satu kalimat yang ingin ia ucapkan sebagai kalimat pertama sejak melihat Ruby dalam keadaan serapuh itu, tapi sepertinya, untuk kalimat terakhirpun tak akan pernah terwujud.
Ketika Ruby menceritakan keadaannya, Jaden hanya seperti seorang Psikolog mendengarkan clientnya bercerita tentang masalahnya dalam sesi konsultasi berjudul " Pasien bercerita Dokter mendengarkan".
Jaden tak bisa memberi solusi apapun. Hanya memandang Ruby yang bersandar di ranjang yang sudah dalam posisi duduk dengan kedua tangan yang ada di atas bantal.
"Dokter bilang aku beruntung.."
Suara Ruby masih terdengar lemah.
"Setidaknya, aku masih hidup dan tidak ada cacat permanen karena kecelakaan itu.."
Mendengar kata kecelakaan dari bibir Ruby sudah mampu membuat Jaden begidik. Jaden tak mampu berpikir kekuatan dari mana yang ia dapatkan selama lima belas menit kebelakang. Lima belas menit yang dipenuhi cerita Ruby saat kecelakaan dan pasca kecelakaan.
Ruby menatap Jaden dengan senyum kecil di bibirnya
"Aku benar-benar beruntung, kan?"
Jaden mencoba membalas senyuman Ruby, tapi kenyataannya tak semudah itu. Bagaimana ia bisa membalas senyum itu bila keadaan hatinya berbanding terbalik. Andai ada pilihan, ia akan memilih untuk menjadi rapuh dan menangis bersama Ruby tanpa peduli dengan cap lelaki tercengeng di dunia. Andai ada pilihan, Jaden bahkan memilih bertukar peran dengan Ruby. Biar dia yang jatuh, biar dia yang merasakan sakitnya, biar Jaden yang menanggung semua resiko yang kini menimpa Ruby.
Tapi Jaden masih mencoba untuk tersenyum. Dan berakhir dengan adegan melebarkan bibir secara paksa dibanding tersenyum tulus.
Adegan selanjutnya adalah diam. Senyum Jaden lenyap sementara Ruby hanya meremas kedua jarinya dengan gugup.
Bukankah, suasana ini cukup terasa canggung untuk sepasang sejoli yang akhirnya bertemu setelah berpisah cukup lama. Tak ada yang mengharap euforia berlebihan untuk melepas rindu, tapi tidak menyangka akan seperti udara di Carstensz Pyramid – dingin hingga selalu membeku.
Pandangan Jaden jatuh pada jari-jari Ruby yang saling meremas perlahan, dan seketika ia sadar, selain keinginan untuk menggenggam tangan itu erat-erat- yang lagi-lagi tak akan terkabul, yang harus ia lakukan adalah...
"Ya... setidaknya patah tulang pada kakimu bisa dipulihkan walau memakan waktu cukup lama...."
Membuka mulut. Itulah satu-satunya yang bisa Jaden lakukan agar mereka tak terkurung dalam diam yang semakin mengikat.
Jaden memandang wajah Ruby yang menunduk lemah, dan sekali lagi- hanya dalam mimpi yang tak terwujud- Jaden ingin menangkup wajah itu dan melanjutkan kalimat penghiburan yang lain atau menyandarkannya sekali lagi di bahu Jaden.
Jaden menghela nafas, kehabisan akal untuk menguatkan Ruby.
"Tapi aku tak akan bisa bermain akrobat lagi..." Ruby mengangkat wajah dan memandang Jaden. Matanya sudah mulai berkaca-kaca dan suara berikutnya terdengar parau dan putus asa
" Aku tak akan bisa bermain akrobat selamanya....."
Satu titik air mata jatuh di pipi Ruby. Walau gadis itu buru-buru menghapusnya dan berusaha setegar mungkin, ia tak bisa menyembunyikan apapun dari Jaden.
Jaden bisa merasakan sakitnya, ia bisa merasakan nyilu di hatinya. Jaden bisa merasakan hancurnya perasaan Ruby. Melihat orang yang dicintai kehilangan mimpi terindahnya lebih buruk daripada kehilangan mimpi sendiri. Dan melihat satu-satunya orang yang dicintai dalam keadaan terpuruk sungguh sangat membuat Jaden hancur.
Dan Jaden tak bisa berbuat apapun saat ini.....
" Kamu bisa melewati semuanya By... kamu cukup tangguh!"
Ruby terdiam. Air matanya habis. Kalimat yang terdengar menguatkan itu membuat keningnya berkerut samar. Ia memandang Jaden yang masih menatapnya lembut. Untunglah ia menatap mata Jaden. Mata yang sama ketika ia menatap senja. Mata yang menatap orang yang dicintai?
Bolehkah Ruby meyakini bahwa tatapan itu untuknya, bukan Naomi?
Karena keyakinan absurb itulah, Ruby mengabaikan kalimat Jaden yang seolah berarti:
Kau adalah perempuan tangguh, tanpa aku pun akan tetap begitu... aku yakin kau akan mampu melewatinya semuanya... tanpa aku pun... akan tetap begitu!
----***-----

KAMU SEDANG MEMBACA
GIOK
RomanceEdward Edoardo selalu menemani Ruby Graviella selama menjadi murid di sekolah akrobatik Beijing. Melakukan panggilan telepon, chating dan video call dengan akses terbatas. Tak masalah. Awalnya! Namun semuanya berakhir setelah tiga tahun lewat dua ha...