45. Lukisan Dalam Kanvas

5 0 0
                                    


Ketika yang ditunggu-tunggu sangat lama akhirnya muncul, ada dua hal yang akan dilakukan saat melihatnya:

Pertama, mengambil sandal jepit kemudian melemparnya tepat di wajah orang itu

Kedua, berlari girang sambil memegang ponsel agar nantinya masuk insta story kemudian memeluknya bahagia karena akhirnya ia muncul juga

Ruby tak mungkin melakukan hal yang pertama karena dia sedang tidak memakai sandal jepit ketika Jaden muncul. Ruby juga tidak melakukan hal yang kedua, karena Jaden sepertinya tidak dalam mood 'ingin dipeluk'. Jadi pertemuan mereka yang sudah menginjak minggu ke empat ini stag pada situasi awkard. Ruby kehabisan akal. Jaden apalagi.

Tapi setidaknya, mereka sama-sama masih bisa bersyukur karena kebersamaan ini, se- awkard apapun, asal bisa berdua seperti ini tak masalah.

Saat bertemu, seperti saat ini, perpisahan sebelumnya seakan tak pernah terjadi. Semua rasa pedih meninggalkan amnesia jangka pendek.

Hai pertemuan, aku ingin merasakanmu selamanya... Selamanya. Bisakah? Apakah kamu tak berujung? Atau sebenarnya, di ujung sana, akan ada batas? Sebuah batas yang akan mengantar pada perpisahan...

.... lagi...

Ruby menggoyangkan kakinya. Cukup ringan, tak seberat dulunya. Ia terus menggoyangkannya sambil memandangi ujung kakinya sembari duduk di kursi taman. Mengambil jarak di sampingnya, Jaden duduk sambil memegang ponselnya.

"Kakimu udahh baikan?" Jaden menoleh dan Ruby membalas dengan senyuman

Juga gelengan kepala " Rasanya semakin hari semakin membaik!" Ruby membungkuk, menepuk kedua kakinya kemudian "Kalian benar-benar good girl..."

Jaden tersenyum memandangi Ruby. Sebenarnya Jaden tak mau berhenti pada senyuman, ia ingin melanjukan dengan tepukan kecil di kepala Ruby karena tingkah gadis itu sangat menggemaskan.

"Kamu benar-benar keren! Bisa melalui semuanya dengan baik" Jaden memasukkan ponselnya ke dalam saku lalu tertegun memandang kepala Ruby. " Ahh... itu..." Jaden tampak kikuk sambil menunjuk-nunjuk sehelai daun di atas kepala Ruby.

Ruby ikut tertegun kemudian menegapkan badan sambil memandangi Jaden.

Antara kikuk dan bingung, akhirnya Jaden menggeser duduknya lalu mengangkat tangannya pada rambut Ruby dan diam di sana beberapa detik.

Demi apapun itu, dia ingin sekali membelai rambut Ruby.

Jaden berdehem kemudian sambil megambil daun malang itu, menariknya lembut hingga di ujung rambut Ruby yang kini nampak berdegradasi – hitam di atasnya coklat terang di ujungnya.

Ruby mengusap rambutnya, berusaha mencari dedaunan lain yang mungkin masih tersangkut.

"Udah nggak ada kok!" Jaden membuang daun di tangannya

" Kaki kamu sepertinya sudah semakin membaik"

Ruby mengangguk mantap. "Dokter juga bilang begitu. Untung patah tulangnya nggak terlalu berat. Mungkin satu bulan lagi, tongkat ini akan menganggur" Ruby memegang tongkat yang ia letakkan di sampingnya.

Jaden memandangi tongkat itu.

"Baguslah kalau begitu..." Jaden menghela nafas

Ruby memandang Jaden tak mengerti. Kalimat Jaden seharusnya dapat diartikan ucapa syukur karena semuanya membaik tapi kenapa Ruby tak bisa menangkapnya. Ia mendengar kata-kata yang dikeluarkan Jaden semakin berat

"Ini berkat kamu!" Ruby kembali menatap Jaden. Ia tak habis pikir, kenapa memandangi Jaden menjadi hal yang paling menyenangkan. Sepertinya ia tak akan pernah bosan memandangi Jaden, entah sampai kapan, sepertinya jauh dari kata berakhir, karena sampai saat ini kadarnya meningkat, bukan turun hingga sampai ke titik habis.

GIOKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang