Matahari menyisakan sinarnya menyorot mata hitam kecoklatan itu. Rambut pirangnya berkilau menandakan gadis itu baru saja ke salon.
Nichel, gadis itu sedang duduk di teras rumah sambil bersenandung ria. Seolah tak ada beban hidup yang dipendamnya.
"Nichel-Nichel, daripada kamu duduk, mending siram tuh bunga-bunga kesayangan Mama kamu."
Nichel menoleh, namun sedetik kemudian sudah menoleh kembali dan bersikap seolah Papanya tidak berkata apa-apa.
"Rambut kamu tuh, ganti aja warnanya, kamu kan lagi nyamar. Kalau ketahuan bagaimana?"
Nichel menghela napas. "Itu takdir namanya."
"Takdir-takdir." Papanya menggelengkan kepalanya. "Pokoknya Papa nggak mau tau, kamu harus ganti warna rambut kamu yang kayak uban itu."
Rachel tak terima rambut cantiknya dikata seperti uban ini. "Pa ini tuh rambut limited edition, uban-uban, emangnya Nichel udah tua apa? Lagian sekolah kan bisa pakai rambut palsu."
"Oh." Papanya hanya ber'oh' saja dan meninggalkan Nichel duduk di luar sendiri.
Nichel mengerucutkan bibirnya kesal. Ia memang selalu tampak salah di mata orangtuanya.
Yang dilakukan gadis itu hanya melamun dan memikirkan sampai kapan penyamarannya akan berakhir. Ia sendiri saja tidak yakin lima bulan cukup untuk menemukan sosok yang dicarinya itu.
Ia kemudian mengambil selembar kertas yang kebetulan ada buku di luar dan menuliskan sesuatu di sana.
Daftar cogan di kelas:
-Lion si cowok singa
-Devin: aneh, nggak jelas
-Haikal: si bejat"Siapa lagi ya?" Nichel bergumam. "Udah kayaknya."
Kegiatannya memang tidak jelas, tapi setidaknya ia sedikit memiliki inspirasi hidup untuk kedepannya.
Nichel bangkit dari duduknya, ia cuma berdiri sambil melihat ramainya ibukota di senja ini. Bahkan sinar matahari pun tenggelam tertutup oleh kendaraan yang berlalu lalang.
"Rachel-rachel, ngapain lo harus sakit sih? Kan gue yang repot harus gantiin lo."
-Dissimulate-
Rachel memilah buku-buku tebal yang tertata rapi di depannya. Saat ini perpustakaan cukup ramai karena sedang jam istirahat.
Mulai hari ini ia harus rajin mengunjungi tempat di mana rata-rata pengunjungnya adalah anak rajin dan pandai.
"Chel, sini deh. Ada novel baru!"
Rachel menoleh namun tak beranjak dari tempatnya. Justru tatapan Rachel berhenti pada Devin yang bergumam sambil memegangi topeng mainannya. Cowok itu duduk sendirian di meja bundar alias meja baca.
Semakin hari, Rachel semakin penasaran dengan apa yang terjadi pada laki-laki ganteng itu.
Langkah Rachel mendekati Devin, tetapi tak membuat Devin kabur. Laki-laki itu tetap fokus memandangi topengnya.
"Hai, Devin."
Devin tak menyahut, seolah ia tidak mendengar sapaan Rachel. Atau memang jangan-jangan Devin memang tidak mendengarnya?
"Gue duduk sini, ya?" Meski tak ada persetujuan dari Devin, Rachel tetap mendudukkan tubuhnya di kursi sebelah Devin.
Rachel memperhatikan gerak-gerik Devin yang aneh itu. Devin terlihat seperti sedang mengobrol dengan topeng Ultraman yang bendanya selalu sama dengan hari-hari sebelumnya.
Cowok ini seperti ...
"Devin, lo-"
"Rachel! Gue cariin lo tahu nggak? Balik kelas yuk."
Marsha memotong ucapan Rachel disusul Reysa dengan dua novel di genggamannya.
"Gue juga udah."
Rachel tidak mungkin menanyakan sesuatu yang sejak pertama kali bertemu Devin membuatnya janggal di depan sahabatnya. Ia harus menunda dulu rasa penasarannya.
"Ya udah deh."
Rachel bangkit dari duduknya, menatap Devin sekali lagi. Cowok itu masih melakukan kegiatan yang sama dan akan selalu sama. Kalau Devin berbeda dengan anak yang lain, mengapa ia bersekolah di sini? Mengapa tidak di sekolah khusus untuk anak yang berbeda?
Berbagai pertanyaan membuat Rachel melamun dan tidak fokus jalan. Marsha yang menyadari itu menepuk bahu Rachel, membuat cewek itu tersadar.
"Kenapa, Sha?"
"Lo mikir apa, sih?"
Rachel menghela napas. "Gue dari awal bingung sama Devin. Dia kenapa ya? Apa dia memiliki gangguan psikis?"
Reysa dan Marsha terdiam. Mereka tidak bisa menjawabnya, juga bingung harus menjawab apa.
"Hey, gue tanya sama kalian loh."
Rachel mengangkat alisnya menunggu jawaban dari kedua sahabatnya namun mereka tak kunjung membuka mulut.
Reysa dan Marsha kompak menggeleng. "Gak tahu, Fadlan mungkin tahu karena dia yang selama ini selalu dekat dengan Devin."
Rachel manggut-manggut. Sepertinya ia akan berurusan dengan Fadlan lagi.
Kening Reysa berkerut. "Kenapa? Lo suka sama Devin?"
"Enggak kok," Rachel menyangkal. "Lagipula, gue nggak mau pacaran dulu. Mau fokus sekolah."
"Biar masih baru ya kalau nanti jodoh sama Lion?" Marsha mengejek, Rachel salah tingkah.
"E-enggak lah."
Sebenarnya Rachel hanya berpura-pura salah tingkah agar menyamarkan kalau dia bukan Rachel yang asli.
"Cie ... pipi lo tumben nggak merah?"
Rachel memegangi pipinya, sebisa mungkin ia tekan agar memunculkan rona merah dan membuat sahabatnya yakin kalau ia salah tingkah.
"Masa sih?"
"Eh, kok sekarang merah? Cie ... udah suka sama Lion hanya dengan satu detik."
"Apa sih, Shaaaa." Rachel menyenggol lengan Marsha dengan gemas. Marsha terbahak.
Mereka tidak menyadari bahwa di sebelah kiri Rachel ada seorang gadis yang menundukkan kepalanya.
Reysa. Entah apa yang terjadi dengannya.
---------
Kalau di rumah, Nichel.
Kalau di sekolah, Rachel.Gitu ya cara penyebutannya.
:)
KAMU SEDANG MEMBACA
Dissimulate
Teen Fiction[COMPLETED] Highest rank: #1 in bermukadua (06-06-19) #1 in hidden (09-07-19) #1 in hide (06-12-19) #763 in teen (06-12-19) #585 in teen (26-12-19) Dis.sim.u.late From latin dissimulant-'hidden'. Memiliki arti berpura-pura, menyembunyikan, menyamar...