"Kalau dia lebih memilih gue, lo bisa apa?"
-Dissimulate-
Di atas ranjang hijau, terbaring lah seorang laki-laki. Matanya mengatup sempurna diiringi deru napasnya.
Fadlan, laki-laki itu tak sadarkan diri. Napasnya perlahan-lahan seakan nyawanya melayang.
Seorang wanita berumur empat puluh tahun-an duduk sambil memeluknya erat seakan takut kehilangan lelaki itu. Bundanya, menangis sembari membaca surat-surat pendek dalam hati. Fadlan merupakan anak semata wayangnya, jika ia kehilangan sosoknya, hancur sudah kehidupannya kelak. Jiwanya pun akan terbawa pergi. Fadlan satu-satunya lelaki di rumah mereka.
"Alan..." Bundanya mengusap perlahan punggung tangannya. "Kalau Alan pergi, siapa yang bakal nemenin Bunda setiap hari? Siapa yang akan Bunda ajak ngobrol di ruang tamu? Alan, Bunda ingin kamu baik-baik saja, Nak. Bangun dan sembuh ya, sayang?"
Alan, panggilan kecil seorang Fadlan. Waktu itu Fadlan belum lancar menyebut namanya sendiri sebab terlalu susah untuk anak kecil.
Bayang-bayang ketika Fadlan bercita-cita membahagiakan orangtuanya, membuat wanita tersebut semakin menangis deras.
"Fadlan ingin buat Bunda bangga dengan prestasi Fadlan," kata Fadlan beberapa tahun yang lalu.
Rasanya, sang Bunda ingin menagih janji tersebut supaya Fadlan kelak membuka matanya untuk melihat sunyinya dunia.
"Bunda ... Nichel ...."
Laki-laki tersebut menyebut dua perempuan yang ada di hatinya. Sayup-sayup matanya membuka, berlinang. "Nichel di mana?"
Sang Bunda kebingungan. Siapa Nichel? Kenapa putranya mencarinya?
"Nichel siapa, sayang? Hanya Bunda di sini."
Fadlan melepas infus di tangannya. Cowok itu berusaha berjalan namun terasa berat membawa tubuhnya.
"Kamu mau ke mana? Biar Bunda yang cari dia. Kondisi kamu belum normal, dengerin Bunda kali ini, Alan."
Tak ingin membuat bundanya sedih dan khawati, Fadlan terduduk di ranjang, kepalanya berat. Ingin sekali ia mencopot kepalanya satu menit saja. Ia memegang kepalanya, terasa seperti ada kain kasa yang membungkusnya. Entah ada apa dengan kepalanya.
Ponsel di atas nakas bergetar. Ada pesan masuk. Fadlan meraihnya dengan tangan gemetar. Matanya memejam kuat begitu yang dilihatnya Nichel lah pengirim pesan tersebut.
Nichel Anansta:
Maaf, Lan, gue pamit.
Lemas, Fadlan membaringkan tubuhnya. Pamit kemana? Kenapa sangat singkat dan tidak jelas?
Ia mencoba untuk menelepon saja, rupanya nomor Nichel tidak aktif. Rasanya Fadlan ingin pergi ke bandara sekarang. Ia tahu Nichel pasti pamit ke luar negeri. Bukankah tugasnya telah usai? Tidak, rasa takut yang selama ini dipendam Fadlan, tak boleh terjadi.
Fadlan tidak boleh kehilangan Nichel (lagi).
***
Ruangan berisik membuat Reysa jengah dengan buku kumpulan rumus-rumus yang tengah dibacanya. Gadis itu kemudian melangkah keluar kelas diekori Haikal yang membuat mata Lion melotot tajam.
Memangnya perlu apa Haikal mengikutinya Reysa? Mereka tidak janjian bertemu secara pasang mata, 'kan?
Berpikir negatif, Lion mengikuti mereka diam-diam. Rupanya mereka menuju taman mini di depan perpustakaan yang sudah pernah ku ceritakan bagaimana bentuknya. Jika kamu lupa, ku ingatkan kembali bahwa di depan perpustakaan terdapat air mancur kecil dikelilingi batu-batuan warna-warni serta tumbuh-tumbuhan pendek, membuat suasana perpustakaan menjadi nyaman. Lokasi yang paling sering dibuat penggila Instagram berfoto-foto ria di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dissimulate
Teen Fiction[COMPLETED] Highest rank: #1 in bermukadua (06-06-19) #1 in hidden (09-07-19) #1 in hide (06-12-19) #763 in teen (06-12-19) #585 in teen (26-12-19) Dis.sim.u.late From latin dissimulant-'hidden'. Memiliki arti berpura-pura, menyembunyikan, menyamar...