Dissimulate - 19

1.2K 93 5
                                    

"Kamu diomongin sama mereka, berarti kamu penting bagi mereka."

-Dissimulate-

Reysa mengelap air matanya sekali lagi. Entah mengapa susah sekali menghentikan meneteskan air mata yang sia-sia itu. Sudah hampir sepuluh menit ia berdiri di depan pintu toilet menunggu Rachel keluar, tetapi Rachel tak ada tanda-tanda membukakan pintu.

"Rachel gue mau ngomong sama lo."

Klek. Pintu di buka. Menampakkan seorang gadis berambut hitam pendek memakai kacamata bulat menutupi matanya yang sembab karena menangis.

"Ngapain lo nangis? Puas lo bikin gue sakit hati? Lo udah janji sama gue buat nggak bareng Lion di depan gue dan kenapa lo malah dicium sama Lion di depan gue? Lo suka kan sama dia? Lo suka kan gue sakit hati?"

Berbagai pertanyaan menyembur Rachel, gadis itu menunduk. Air matanya jatuh. Bahkan, ia saja tidak tau kalau Reysa ada di sana. Ia juga tidak tahu mengapa tiba-tiba Lion menciumnya.

"Lo udah pacaran kan sama Lion? Kenapa lo nggak pernah cerita sama gue hah?"

Rachel mendongakkan kepalanya. "Memang, apa gue nggak nyakitin perasaan lo kalau gue cerita? Gue nggak ngerti sama lo Rey, kalau lo masih suka sama Lion kenapa lo ikhlasin dia? Nggak usah sok kuat deh."

Bahu Rachel naik turun menandakan bahwa gadis itu menangis. Reysa tersenyum miring. "Lo bukan Rachel yang gue kenal."

Deg! Apa jangan-jangan Reysa sudah tahu kalau ia bukan Rachel?

"Ma-maksud lo apa?"

Reysa melipat tangannya di dada. "Rachel yang gue kenal dukung gue sama Lion. Dan lo? Kenapa lo bisa ambil Lion?!"

"Memangnya lo siapanya Lion, Rey? Bukannya lo selama ini nyia-nyiakan dia? Soal dicium tadi, gue nggak ngerti apa-apa. Dia tiba-tiba nyium gue gitu aja. Kalau gue tahu dia bakal nyium gue, gue nggak akan ngebiarin. Gue masih punya harga diri!" Suara Rachel meninggi. Kedua gadis tersebut beradu mulut, seolah mereka sama-sama benar.

Padahal di sini mereka sama-sama salah.

"Lo nggak usah sok suci. Gue tahu kok, lo suka sama Lion. Lo seneng kan di peluk dia? Seneng kan dicium dia? Jadi selama ini lo cuma pura-pura dukung gue, kan? Munafik!!!"

Bibir Reysa bergetar setelah mengucapkan kata-kata yang sangat menusuk relung hati Rachel. Telinga Rachel bergetar, hatinya sakit mendengar ucapan Reysa tersebut.

Benar itu Reysa?

Rachel menggeleng tak percaya. Sahabat kembarannya ternyata seperti ini sifat aslinya? Inikah persahabatan yang katanya diinginkan semua orang?

Bulshit.

Kenyataannya persahabatan terlihat harmonis di luar saja. Padahal mereka tak luput dari berantem dan saling menjelekkan satu sama lain di belakang.

Rachel mengelap air matanya kasar. Meninggalkan Reysa yang mematung di dalam. Ia yang berucap kasar, tapi ia juga yang menangis.

Siapa di sini yang munafik? Rachel yang pura-pura mendukung Reysa? Padahal dia bukan Rachel yang mendukung Reysa. Ia hanya seorang gadis baru yang menjadi Rachel.
Atau Reysa yang pura-pura mengikhlaskan padahal masih ada rasa?

Rachel berlari mengambil tasnya. Marsha yang melihat Rachel dengan keadaan hancur pun terkejut dan bingung.

"Lo kenapa? Mau ke mana? Rachel? RACHEL?!!"

Tak perlu menghiraukan teriakan Marsha, Rachel berlari meninggalkan sekolah melompat dari roof top kelas sepuluh Bahasa yang tak terlalu tinggi.

Lalu Rachel melompat ke atap rumah orang dan syukurnya tak ada yang pecah gentingnya. Rachel melepas kaus kaki dan sepatunya lalu menaruhnya di tas. Gadis itu menclok ke pohon rambutan di depan rumah yang gentingnya ia buat lompat tadi.

Ia sudah terbiasa membolos seperti ini di SMP.

Ia berlari sekuat tenaga ke jalan raya, rupanya ada angkot. Entah itu tujuan ke mana yang terpenting ia pergi jauh dari sekolah itu.

Ia sudah lelah menjadi orang lain. Ia ingin menjadi Nichel yang memberontak ketika di sentak. Ia ingin bebas, tapi ... ia harus bertahan empat bulan lagi.

Rachel melambaikan tangannya kemudian angkot itu pun berhenti.

"Jalan ke mana aja bang."

Rachel menyenderkan kepalanya di kaca angkot, menangis. Untung saja penumpang hanya dirinya saja jadi ia tidak perlu malu.

"Rachel cepet sembuh, gue nyerah."

Rachel menguatkan dirinya sendiri. Ini pertama kalinya ia melanggar buku peraturan yakni tidak boleh membolos. Tapi ia tidak kuat dalam keadaan begini.

Sungguh, ia ingin mengakhiri dramanya sekarang.

"Udah jangan nangis, kasihan matanya udah bengkak tuh."

Rachel membelalakkan matanya. Itu ... suara Lion? Rachel mencari Lion di bawah kursi penumpang. Tidak ada. Lalu menengok ke luar angkot. Juga tidak ada. Atau mungkin Lion di ban?

"Gue di sini."

Astaga. Lion. Dia jadi supir angkot?

"Loh lo kok?"

"Kenapa?"

"Lo kerja?"

Lion terkekeh lalu geleng-geleng kepala. Gadis yang menjadi penumpangnya ini memang tidak peka.

"Sejak kapan?" Rachel bertanya lagi.

"Enggak, gue pinjem angkot ini buat nganterin lo yang lagi sedih."

Rachel menunduk. Lion terlalu perhatian padanya. Percayalah, ia tidak mau digantung seperti ini. Menurutnya ini terlalu berlebihan dalam hubungan pertemanan antara laki-laki dan perempuan.

"Kita ke suatu tempat mau?"

"Pulang aja."

"Nggak, gue mau ngajak lo ke tempat rahasia."

Rachel menghela napas. Rasanya masih sesak di dada meski sikap Lion romantis seperti ini.

Ia beralih menatap ke luar kaca, menatap kendaraan yang berlalu lalang. Sesekali ada yang memberhentikan angkot itu, tapi Lion berkata, "Maaf, saya mau nganterin pacar saya dulu."

TBC...

23 Juni 19



Update mumpung pengangguran. Biar cepat tamat ya, 'kan?

See you💜

DissimulateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang