Dissimulate - 13

1.3K 100 11
                                    

Entah harus bagaimana caranya menjauhi Lion jika cowok itu terus berusaha mendekatinya. Terbukti sekarang Lion mengiriminya pesan berkali-kali sampai Rachel menggetarkan dering notifikasinya.

Tak cukup sampai disitu, tadi sepulang sekolah Lion juga berusaha mengekori Rachel di angkot yang ditumpangi gadis itu sampai depan rumahnya. Tapi, Rachel buru-buru masuk rumah sebelum Lion menghampirinya. Entah apa yang diinginkan laki-laki itu.

Rachel hanya merasa tidak enak hati dengan Reysa. Pasti gadis itu membencinya. Tidak ada sahabat yang baik-baik saja ketika ditikung.

Sore ini, Nichel tak lagi berperan menjadi Rachel. Ia mencopot rambut panjang hitamnya yang lebih mirip ekor kuda. Ia jua melepas kacamata bulat yang hanya melindungi dari sinar radiasi, bukan kacamata minus.

Nichel berdiri di depan kaca. Menatap dirinya sendiri yang sedang menjelma menjadi orang lain. Yakni kembarannya sendiri.

"Kamu sedang melakukan apa yang tidak pernah kamu lakukan di dunia ini, Nichel," ucap Nichel berbicara sendiri sambil tersenyum tipis. Jujur saja ia merindukan setiap malam keluar meski sekadar menikmati angin yang menyapu keringat di wajahnya. Sekarang, dunianya beralih ke sekolah dan rumah. Tempat itu yang menjadi lokasi perkembangannya.

"Rachel-rachel, pantesan lo sakit orang hidup lo monoton begini kayak jalan tol," celutuknya. Matanya beralih menatap foto dirinya dan Rachel yang masih berumur lima tahunan. Saat itu mereka sedang di halaman rumah dan kebetulan Rachel waktu itu merebut mainan milik Nichel sehingga kedua bocah unyu itu saling jambak. Tak sengaja sang mama memotretnya.

Nichel menghela napas. Rambut pirangnya ia sisir menggunakan tangan. Ia memilih ke luar rumah dengan gaya hidupnya yang dulu. Memakai celana pendek selutut dan kaos putih tebal sehingga tidak tembus pandang.

Ia hanya berdiri menatapi kendaraan yang berlalu lalang di depannya. Sesekali tersenyum kepada anak kecil yang menatapnya.

"Rachel?"

Nichel terpelonjak kaget, jantungnya bergemuruh mendapati seorang gadis berkacamata di depannya. Gadis itu masih memakai seragam sekolah.

"Ma-marsha?" Nichel gugup. Bagaimana ini? Ia ceroboh sampai beraninya menjadi Nichel diluar rumah. Padahal ia sendiri tahu ini berbahaya bagi penyamarannya.

"Lo potong rambut?" tanya Marsha dengan kening berkerut.

Nichel mengangguk kaku. Ia menyadari kalau mata Marsha membengkak. Sepertinya gadis itu habis menangis. "Marsha kenapa?" tanya Nichel khawatir, juga menutupi kegugupannya.

Ditanya seperti itu Marsha malah menunduk, matanya berkaca-kaca.

"Eh, kok Marsha malah nangis sih? Ya udah masuk yuk." Nichel menggeret Marsha ke dalam rumah. "Marsha cerita aja."

Marsha menangis sampai sesenggukan. Gadis itu memeluk tas sekolah yang tadi digendongnya. "Gu-gue boleh nggak nginep di sini?"

Nichel membelalak. Ia gelagapan sendiri. Bukannya pelit tidak mau menumpangi sahabatnya, tetapi ia takut kalau sampai Marsha curiga padanya apalagi sampai ketahuan.

"Nggak papa kok tidur di sofa yang penting gue boleh nginep di sini."

Nichel jujur merasa iba, tetapi ia masih ragu. "Em ... bagaimana kalau Marsha tidur di kamar Mama? Mama lagi pergi soalnya."

Mata Marsha yang penuh air mata itu menunjukkan kebinaran. Gadis itu tersenyum lalu berhambur memeluk Nichel. "Makasih ya, Chel! Lo emang terbaik. Tapi beneran nggak papa gue tidur di sini?"

Nichel tersenyum, "Iya nggak papa."

Marsha mengelap air matanya, lagi-lagi ia tersenyum. Seolah tak mau kelihatan lemah di depan Rachel.

"Emang lo kenapa? Ada masalah di rumah?"

"Orangtua gue berantem."

Nichel terkejut mendengar jawaban Marsha. Ia mendekat lalu memeluk Marsha dengan sayang. "Marsha yang kuat ya, berdoa aja buat yang terbaik untuk orangtua Marsha."

Bukannya tenang, Marsha malah menangis lagi. "Gu-gue nggak tahu harus cerita ke siapa selain lo, Chel. Gue nggak berani ke rumah Reysa karena orangtua dia galak."

Nichel mengelus rambut Marsha, "Iya, nggak papa. Kan kita emang best friend." Ia terkekeh dengan ucapannya sendiri.

Nichel melepas pelukannya lalu berdiri. "Gue ambilin minum dulu biar lo tenang."

Sepergian Nichel, Marsha mengelap air matanya. Ia menatap ruangan rumah Nichel yang tak ada bedanya dari dulu. Nichel masih suka memajang novel-novel jaman dulu di pembatas ruangan dari kayu jati berukiran Jepara itu.

Nichel kembali, membawa segelas air putih dan beberapa potongan buah di piring berwarna ungu. "Lo bawa baju ganti nggak?"

Marsha menggeleng, "Bahkan gue belum sempat masuk rumah, Chel. Boleh lah ya pinjam baju lo."

"Oh, tenang aja. Gue ambilin." Ketika Nichel hendak beranjak, Marsha mencegahnya. "Eh, Chel, bentar deh."

Akhirnya Nichel duduk kembali menunggu Marsha bicara.

"Kok lo tumben pakai celana jeans selutut? Dulu setahu gue lo anti banget sama jeans," Marsha menerka-nerka. Nichel menggigit bibir pelan, "Em ... gue mencoba sesuatu hal baru aja."

Tuh kan, lagi-lagi Nichel bersalah telah ceroboh. Meski tatapan Marsha mengintimidasi, Nichel bersikap seolah biasa saja.

Astaga. Ada yang lupa. Kacamata! Nichel lupa pakai kacamata!! Sepertinya Marsha belum menyadari itu, Nichel buru-buru pergi ke kamar.

"Sha gue ambil baju buat lo dulu ya, lo boleh kok kalau mau langsung ke kamar."

Ada yang aneh dengan sikap gadis itu, pikir Marsha. Tetapi, ia mencoba berpikir positif. Mungkin Rachel sedang grogi atau entahlah.













Ada yang bosen?

DissimulateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang