Dissimulate - 43

1.1K 93 16
                                    

Meysia terduduk lemas di kantin, semua penonton yang mengelilinginya sudah bubar kembali ke tempat duduk masing-masing.

Apa yang dikatakan Nichel, sangat menusuk relung hatinya. Ia jadi teringat sesuatu yang menyakitkan di masa lalu hingga terasa nyeri di hatinya.

"Lo kenapa, Mey?" salah satu dari pasukan Meysia menepuk pundaknya.

"Lo nggak mungkin kalah dengan kata-kata dia, 'kan?"

Meysia menunduk. Ia akui ia kalah. Ia paling tidak bisa berurusan dengan wanita kejam di rumahnya beberapa tahun yang lalu.

Tak sadar, air mata Meysia meluncur bebas. Terkejut, Meysia segera mengelapnya agar tidak dilihat oleh teman-temannya.

"Nichel benar, girl."

Rena, Nesya, melotot mendengar gumaman Meysia yang aneh itu. "Lo kok pindah haluan, sih? Selama ini kan lo yang hasut kita buat hancurin dia, hingga menyebar identitasnya sampai ia datang hari ini," Rena tak habis pikir.

"Lo termakan omongan dia, Mey. Please deh, ini bukan lo banget," Nesya menimpali.

Meysia menghela napas. Capek menuruti kemauan sahabatnya yang selalu ingin diantara mereka harus di atas dan tidak dapat dikalahkan dengan siapapun baik dari mulut maupun fisik.

Meysia pikir, sudah seharusnya ia melepas topeng bahagianya yang sudah retak seretak-retaknya. Ia tidak bisa hidup berlebihan seperti Rena dan Nesya. Ia tinggal saja numpang di rumah sepupunya, Reysa.

"Lo udah numpang masih aja nggak mau nurut perintah gue!" kata Reysa waktu itu, membuatnya sadar bahwa ia di sana hanyalah menumpang. Atau bisa disebut pembantu cadangan. Sebab Reysa sering menyuruhnya untuk mengerjai Nichel.

"Gue nggak mau jadi teman lo lagi. Malu-maluin tahu, nggak?" Rena dan Nesya bangkit meninggalkan Meysia. Gadis berambut panjang itu bahunya bergetar. Menangis hebat.

Namun, tak ada yang memedulikannya. Tak ada yang ingin menghiburnya. Semua tatapan hanya sekadar tatapan, tak ada rasa iba, seperti tatapan yang ia perlakukan untuk orang-orang di sekitarnya dulu.

Benar, roda kehidupan terus berputar. Ada kalanya ia di atas, ada kalanya pula ia di bawah. Jika dia dulu menghancurkan hidup orang lain, maka sekarang ia dihancurkan oleh sahabatnya sendiri. Ia tidak punya siapa-siapa lagi, selain jiwanya yang rapuh ini.

***

Marsha memeluk Nichel lama, gadis berambut pirang tersebut mengucapkan salam perpisahan membuat Marsha menangis kencang.

"Lo kok jahat sih mau ninggalin gue?" Marsha refleks memukul punggung Nichel. Gadis itu terkekeh, "Masih ada Rachel di sini, Mar."

"Kalau ada apa-apa sama Rachel gimana? Siapa yang bakal melindungi dia?"

"Kalian." Nichel melepaskan pelukannya, menatap Marsha, Hana, dan Fadlan dengan saksama. "Jaga Rachel, ya? Dia butuh kalian banget. Kalau ada yang jahat sama dia, kasih tahu gue aja. Gue bakal kirim santet."

"Nichel ihh," Marsha terkekeh sambil mengelap air matanya. Tak disangka gadis yang selama ini dianggap Rachel akan meninggalkannya mulai besok.

"Oh, ya, lo nggak pamitan sama Reysa? Dengan berantem, mungkin?" Hana bercelatuk.

Nichel berpikir sebentar, ada benarnya juga. Mungkin saja Reysa ingin mengucapkan kata-kata terakhir padanya.

"Di mana dia?"

Panjang umur, gadis yang tengah mereka bicarakan tersebut melintas di depan mata mereka secara tak sengaja. Reysa tampak sedang bingung, terlihat dari raut wajahnya.

Nichel menghampiri gadis itu. "Hai," sapanya.

Reysa terkejut atas kedatangan Nichel di depannya, "mau ngapain lo?"

"Nggak kok, cuma mau pamit aja sama lo. Kali aja lo bakal nyariin gue lagi," canda Nichel yang tak lucu sama sekali.

Reysa justru berdecih menanggapinya. Gadis itu hendak melenggang pergi namun Nichel menahannya. "Lo nggak mau berantem sama gue?"

"Lo jangan pancing gue! Gue udah berasap ini!"

Nichel tersentak dengan ucapan Reysa yang naik beberapa oktaf. Gadis itu mukanya memerah. Nichel memprediksi bahwa Reysa sedang ada masalah.

"Tumben lo nggak sama sepupu lo yang selalu belain itu?" Nichel semakin berani.

Marsha, Hana, dan Fadlan menyimak baik-baik. Itu urusan mereka berdua. Biarlah mereka menyikapi dengan cara mereka masing-masing. Marsha, Hana, dan Fadlan tidak berhak untuk mengatur mereka.

"Ngapain lo nanyain cewek itu? Lo kalau ada urusan sama gue ya gue, nggak usah bawa siapa-siapa."

"Iya, ya, lo, 'kan nggak punya teman." Nichel tersenyum miring. Entah ide darimana sampai ia berbicara seperti itu.

"Maksud lo apa ngomong gitu?" Reysa menjambak kuat rambut Nichel sampai gadis itu meringis kesakitan. Marsha buru-buru menepis tangan Reysa namun tak bisa.

"Gue nggak pengin ribut sama lo karena gue udah ribut dengan dunia gue sendiri! Terus ngapain lo bikin gue marah, hah?!!"

"Ya nggak usah jambak juga dong!" Nichel meraih rambut Reysa yang dikuncir satu. Mengambilnya beberapa helai kemudian menarik sekuat tenaganya. Mereka berdebat dengan cara perempuan.

"Eh, udah-udah! Kalian bisa botak!!" Hana melerai, namun keduanya tetap kekeuh saling adu kekuatan keperempuanan mereka.

"Bilangin sama Rachel, gue benci sama kembarannya!! Dia udah rebut Lion dari gue!! Dia udah merebut semuanya dari gue!! Sampai gue udah nggak dianggap anak gara-gara gue nggak bisa ikut olimpiade dan peringkat satu!"

Reysa melepaskan jambakannya, gadis itu sudah bercucuran air mata. Ia menatap Nichel tajam sebelum berbalik tanpa berpamitan meninggalkan beberapa orang di sana. Mungkin gadis itu malu telah mengutarakan isi hatinya secara tiba-tiba.

Tak membiarkan gadis itu pergi begitu saja, Nichel berlari menyusulnya dan memeluknya dari belakang. "Gue tahu, lo aslinya bukan jahat, Rey."

"Nggak usah sok mengerti! Lo nggak tahu apa-apa soal hidup gue, Nichel! Lo cuma penyamar yang diataskan posisinya!"

Reysa meronta ingin dilepaskan. Namun Nichel semakin kuat memeluk gadis itu. "Lo nggak usah ngelak, Rey, gue tahu lo hidup terbebani keinginan ibu lo, 'kan?"

Perlahan, Reysa membiarkan Nichel memeluknya yang kini berpindah dari depan. Nyaman. Reysa merasa bersalah telah menghancurkan gadis itu. "Kenapa lo peluk gue?" lirihnya.

"Gue ingin lo berubah menjadi lebih baik, lo bicara baik-baik pada ibu lo kalau lo udah berusaha semaksimal mungkin untuk bisa terpilih menjadi peserta olimpiade. Bilang kalau lo nggak bisa memenuhi setiap keinginan orangtua lo! Lo punya impian sendiri, yang tentunya nggak kalah positif. Lo harus menunjukkan bahwa lo bisa meraih mimpi lo itu, Rey! Percaya sama gue. Ibu lo hanya mengutamakan gengsi." Setelah berbicara panjang lebar dan meredakan tangis Reysa, Nichel melepaskan pelukannya. "Gue pamit, jangan sakiti Rachel, ya? Titip Marsha, Hana, Fadlan, dan Lion juga."

Nichel tersenyum manis. Reysa membalasnya dengan bibir bergetar. "Ma-makasih, Ni-Nichel," ucapnya terbata.

9 November 2019










Hehe. Sampai jumpa di part selanjutnya yang sudah menipis ini. Mungkin 2-5 part kalian harus say good bye untuk cerita absurdku ini.

Terima kasih, ya. Kalian semangatku 💜

Ini sebagai ganti Minggu depan yang nggak bisa update:)

Babay,

larikpilu

DissimulateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang