Dissimulate - 30

1.2K 108 11
                                    

"Salah satu cara melupakan adalah tidak mengingatnya."


-Dissimulate-

Reysa mengepalkan tangannya ketika melihat Lion yang tanpa berdosa sedang nongkrong di kantin yang jauh dari ruang guru. Seperti sekolah lainnya, SMA Praja jua memiliki kantin yang aman dan sejahtera untuk sekadar nongkrong bahkan merokok.

"Lion!!"

Yang dipanggil menoleh, terkejut. Segera Lion melempar rokok elektriknya ke arah Haikal dan berhasil ditangkap oleh cowok itu.

"Reysa kok lo disini?"

Tak menjawab pertanyaan Lion, Reysa justru menarik paksa lengan Lion dibawanya agak menjauh dari kantin. "Gue mau ngomong serius sama lo, tolong jangan main-main kali ini aja."

Lion mengangguk patuh.

"Lo tahu kan gue sama Rachel sama kelaminnya?"

Lion mengangguk lagi. Ia masih belum paham apa yang dimaksud Reysa.

"Kalau lo nyakitin dia, gue juga bisa ngerasain sakitnya. Yon, umur lo udah tujuh belas tahun. Seharusnya lo udah tahu mana yang buruk dan mana yang baik. Jangan umur doang yang dewasa!"

Lion menaikkan sebelah alisnya, "Lo tadi dengerin?"

"Iya, gue denger! Dan gue mau lo minta maaf sama Rachel sekarang juga!"

Lion mencebikkan bibirnya, ia mengusap wajahnya sebentar. Tiba-tiba Haikal muncul di belakang Lion membuat Reysa menatapnya tajam.

"Tapi lo juga seneng kan Lion lebih milih lo?"

Oh, Semesta, kenapa harus hadir setan ini? Reysa tak bersuara selain berpikir dalam hati kalau dirinya juga salah.

"Reysa ku sayang, abang Haihai lihat loh yang di gudang malam itu."

Sudah jelas tubuh Reysa mematung, panas dingin mulai menusuki kulitnya. Gadis itu ingin menangis tanpa sebab. Kalau kejahatannya diketahui Lion, mau ditaruh mana harga dirinya?

"Abang Haihai sih nggak ilfil kok sama-"

"Apaan sih alay lo!" Lion menyingkirkan bahu Haikal, pertanda mengusirnya tapi cowok itu justru tersenyum miring.

"Oke, gue minta maaf. Asal lo minta maaf duluan ke dia."

Berniat memojokkan malah ia yang dipojokkan. Seolah Reysa yang paling bersalah di sini. Tidak, ini tidak boleh terjadi. Semua kekejaman ini terjadi karena Lion. Ya, Lion lah yang memperburuk keadaan.

"Gimana? Lo juga salah, Rey."

Reysa berbalik meninggalkan Lion dan Haikal. Berlari asal hingga dilontari sumpah serapah orang yang ditabraknya. Detik itu, Reysa merasa orang paling bodoh sedunia. Hanya karena Lion, ia rela melakukan segalanya. Apalagi Meysia yang memaksanya bekerja sama. Ia tidak bisa membayangkan betapa sakitnya berada di posisi Rachel.

Reysa sadar, bahwa ia dikelilingi setan.

***

Suara kicauan burung menghanyutkan kenyamanan Rachel di atas perahu yang tengah dinaikinya. Gadis itu bertatapan kosong. Bahkan ada kupu-kupu hinggap di bahunya pun, ia tak sadar.

Danau ini, danau kenangan. Siapa yang tidak kenal dengan kenangan? Peristiwa yang hanya dapat dikenang di masa mendatang. Diingat kembali, bukan berarti bisa mengulangi.

Sakit hati? Jelas. Tetapi Rachel merasa Lion bukan seperti orang-orang di masa lalunya. Meski dia nakal, tapi Lion memiliki sisi yang berbeda.

Krupyukk. Suara air di danau tersebut menambah suasana sendu. Mata Rachel layu, menahan tangis. Memang seharusnya ia tidak datang ke sini, sendiri.

"Gue cuma pengin ingat sebentar aja soal bahagia sama lo di tempat ini, sebelum gue benar-benar pergi dari kehidupan lo." Rachel berucap dalam hati.

Angin menyeret rambutnya ke belakang, supaya tak kelilipan Rachel mengatupkan matanya. Gelap, tapi muncul bayangan senyum manis Lion yang menampakkan gigi ginsulnya. Memakai hodie merah dan head band berwarna kuning. Seperti yang dipakainya ketika mereka berkunjung ke sana.

Rachel geleng-geleng kepala. Sejenak, ia teringat penelitian bahwa orang yang disuka diumur enam belas tahun akan berpengaruh untuk masa mendatang. Rachel berdoa semoga itu hanya mitos. Sebab ia tak mau lagi berurusan dengan Lion.

"RACHEL!!!!"

Sontak Rachel tersadar dari lamunannya. Ditengoknya seseorang yang berteriak memanggil namanya itu. Rupanya Fadlan. Cowok itu melambaikan tangannya sambil tersenyum riang. Rachel tersenyum membalasnya, lalu mendayung perahunya mendarat untuk menjemput Fadlan.

"Lo bukannya pulang malah main ke sini, sendiri lagi," Fadlan mengomel. Rachel hanya terkekeh kecil saja.

"Kenapa lo? Galau banget kayaknya."

"Iya, galau gue."

Fadlan menyodorkan dua coklat yang diterima Rachel asal. "Buat gue?"

"Iya, soalnya, studi menunjukkan bahwa cokelat dapat membantu meningkatkan aliran darah ke otak dan memperkuat keterampilan pemecahan masalah."

Rachel berkedip berkali-kali. Entah mengapa, kedua sudut bibirnya tertarik membuat bulan sabit yang sangat manis.

"Tuh kan langsung senyum."

"Bisa aja lo, tapi makasih, ya."

Fadlan mengangguk. Rachel pun memakan cokelat tersebut dengan lahap.

"Habis ini langsung pulang, mandi, sholat dan berdoa, tidur deh."

"Karena?"

"Berdoa bisa meningkatkan hormon gembira yang disebut dopamine di otak kamu, yang membuat kamu lebih bahagia dan damai. Kalau tidur adalah obat untuk melupakan rasa sakit, masalah, stress, dan segala sesuatu untuk sementara waktu."

"Wih, psikolog gue lo, Lan."

"Jadi psikolog juga butuh psikolog, ya?"

Rachel terbahak. Fadlan telah melupakan rasa sakitnya untuk saat ini. "Gue belum sepenuhnya jadi psikolog sebelum gue benar-benar udah nemuin satu penyakit jiwa yang langka di dunia. Itu karena gue tanpa kuliah. Aneh kan Tante gue emang?"

"Maksud lo?"

"Tante gue seorang psikolog, dan dia juga yang bantu gue buat masuk di rumah sakit dia. Apalagi dulu waktu kecil pernah juara satu nasional lomba dokter kecil."

Fadlan tepuk tangan sembari geleng-geleng kepala. "Bangga gue sama lo, Chel."

"Minggu anterin gue ke rumah sakit, ya? Mau jenguk Devin." Rachel mengangkat kedua alisnya, sebuah ekspresi ketika bertanya.

Fadlan tersenyum hangat, "Apa sih yang enggak buat lo?"

TBC....




Maaf ya, update lambat. Biasa kalau awal masuk sekolah gurunya masih semangat kasih tugas:)

Ilmu pengetahuan mengenai tidur, berdoa, dan cokelat, saya ambil dari Instagram akun @colorteutic

Jumpa lagi,
larikpilu

DissimulateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang