Dissimulate -29

1.3K 118 20
                                    

"Bener ya, cinta itu buta. Soalnya seburuk apapun dia di mata orang lain, lo akan selalu menganggap dia yang terbaik."

-Dissimulate-

Lion mengajaknya bertemu di taman belakang? Ah, ralat, Lion memaksanya datang di taman belakang kelas di dekat lapangan sepakbola. Tetapi cowok itu tak jua menampakkan batang hidungnya. Padahal, Rachel sudah duduk lima menit tanpa kejelasan di sini.

Menunggu selama lima menit termasuk kategori melelahkan.

"Tuh cowok niat nggak, sih?" Rachel menggerutu. Ia bahkan membiarkan perutnya keroncongan namun si singa itu tak merasa ditunggu sama sekali. Dia yang ngajak bertemu tapi dia juga yang lama.

Rachel berdiri hendak menyusul Marsha di kantin saja, namun tertunda karena tiba-tiba ada yang mencekal tangannya. Rupanya Lion, cowok itu membawa sekantong plastik putih transparan yang berisi roti pisang dan air mineral. Rachel akhirnya terduduk kembali.

"Maaf lama. Gue ke kantin dulu soalnya. Nih, buat lo." Lion menyodorkan sekantong plastik tersebut. Ini mengejutkan jantungnya, tetapi Rachel berusaha baik-baik saja.

Kemarin, ia dibuat jatuh. Sekarang, ia dibuat terbang. Memangnya Lion kira hati Rachel terbuat dari bahan pesawat?

"Sebagai tanda terimakasih gue, lo udah datang."

Dengan gemetar, Rachel menerimanya. Kepalanya tak bisa berhenti bertanya-tanya, akankah ada racun di dalam roti atau minuman itu? Ini meragukan, tapi Rachel menerimanya.

"Dimakan, ya? 'kan lo nggak ke kantin demi ketemu gue."

"Mau lo apa?" tanya Rachel to the point. Ia tidak suka basa-basi. Hatinya terlalu sakit di dua hari yang lalu.

"Gue mau ketemu lo aja. Sekalian mau minta maaf udah nyuekin lo di acara-"

"Nggak usah drama deh, Li!!" Rachel meletakkan kantong plastik beserta isinya dengan kasar. Mata lebarnya yang tak tertutup kacamata melotot tajam, "niat buruk lo tuh udah kelihatan! Lo sepakat kan untuk ngebully gue di acara ultah lo? Lo sengaja kan sama Reysa? Lo dari awal deketin gue cuma karena sesuatu kan, Li?!!"

Rachel menahan air matanya. Setelah mengucapkan itu, ia merasa lega karena telah mengutarakan sesuatu yang mengganjal di hatinya. Siapapun pasti akan sakit hati jika dipermainkan.

Sudah ku katakan, Rachel seorang psikolog yang tidak mungkin dengan mudah termakan tipuan. Ia bisa membaca gelagat orang yang berbohong. Sudah jelas, Lion melakukan kebohongan.

Lion bungkam, bibirnya merasa kelu meski ingin mengucapkan satu huruf saja. Haruskah ia jujur sekarang?

"Ngomong aja Li, nggak baik memendam sesuatu."

Lion menarik napas panjang. "Sebelumnya gue minta maaf, Chel. Gue udah jahat sama lo." Lion membasahi bibir bawahnya, "jujur, gue deketin lo cuma buat taruhan Reysa sama Haikal."

Bagai didorong dari atas gedung pencakar langit, Rachel merasa dijatuhkan sejatuh-jatuhnya. Rasa sakit di hatinya menjalar ke sekujur tubuh sampai kakinya gemetar. Yang dapat Rachel lakukan detik itu adalah menguatkan dirinya sendiri.

Nggak Rachel, lo nggak boleh jatuh!

"Maafin gue sekali lagi. Juga terimakasih atas perasaan lo hingga buat gue menang taruhan dan harus mengakhiri semuanya sekarang juga. Dan soal bully itu gue nggak tau apa-apa. Emang Reysa ada bully lo? Kan kalian sahabat?"

"Kata sahabat sudah nggak lagi KETIKA LO TIBA-TIBA DATANG DI HIDUP GUE, LION! LO EMANG RAJA, TAPI LO RAJA HUTAN BUKAN RAJA PERASAAN!!" Rachel mendorong tubuh Lion, namun tak sampai jatuh. Bahkan, Rachel masih sempat memikirkan keselamatan cowok itu.

"Asal lo tahu, Lion, Reysa nggunting baju gue! Terpaksa gue harus pergi gitu aja dari acara lo!! Segitu buruknya cewek idaman di mata lo, Lion? Oke, gue dan dia emang sahabat dari dulu. Tapi gue bersyukur banget udah pisah sama dia. Setelah gue tahu sifat dia yang buruk seperti itu, gue merasa Alhamdulillah udah nggak sahabatan lagi sama dia. Dan lo bener pilih Reysa, karena dia benar-benar sayang sama lo!" Rachel mendongak, menatap daun-daun hijau yang menutupi mereka dari teriknya matahari. Air matanya hampir menetes, tapi Rachel tidak boleh menangis di depan seorang cowok. Ia yakin, pasti bisa.

Lion menggeleng pelan, "Reysa tidak seperti itu, Rachel. Tolong jangan fitnah. Lo bilang seperti itu karena gue udah jujur soal perasaan gue, 'kan?"

"Terserah lo, Lion. Gue tahu perasaan lo ke dia udah mati makanya seolah tanpa dosa mainin hati gue. Bener ya, cinta itu buta. Soalnya seburuk apapun dia di mata orang lain, lo akan selalu menganggap dia yang terbaik."

"Berhenti, Rachel. Gue kenal Reysa udah dari lama. Lo nggak tau apa-apa. Dan satu lagi, jangan pernah cintai gue lagi, cewek cupu."

Setelah mengucapkan itu, Lion meninggalkan Rachel yang mematung. Raganya luluh lantak, jiwanya rapuh, matanya berlinang. Gadis itu terduduk, beberapa saat kemudian ia berlari menuju toilet untuk menangis. Ya, toilet adalah tempat terbaik untuk menangis saat ini. Sambil menghidupkan air, agar tak ada yang mendengarnya sedang terisak.

Rachel, istirahat pertama, SMA Praja, Toilet, sedang mengalirkan air matanya bersama air kran.

Reysa, sosok yang dari awal mengekori Rachel kini menutup mulutnya tidak percaya. Jujur, ia merasakan sakit. Sebagai sesama perempuan, Reysa merasa Rachel tidak patut diperlakukan seperti itu mesti dari sosok yang disayanginya mati-matian.

Ia harus meminta maaf, dan memperbaiki semuanya. Entah bagaimana jika itu harus meninggalkan Lion.

TBC ....










Adakah yang masih bertahan sampai sejauh ini?
Jika ada, aku kasih lope ungu💜



Jumpa lagi,
l

arikpilu

DissimulateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang