Epilog

1.4K 86 23
                                    

Kala mentari tengah melaksanakan tugasnya, barisan orang berpakaian serba hitam tengah mengelilingi gundukan tanah bernisan kayu yang masih baru.

Usai pembacaan doa pelayat mulai membubarkan diri terkecuali Nicho --Papa Rachel, Fachela --Mama Rachel, Rachel, dan beberapa teman terdekatnya.

Mereka masih tak bisa menerima keadaan di mana sosok hebat itu terbaring tak bernyawa. Di mana embusan napasnya tak lagi terdengar.

"Pa, Nichel ... Mama belum lihat dia jadi psikiater." Wanita muda itu bersandar pada nisan bertuliskan nama putrinya tersebut. Bahkan sekitar matanya telah menghitam akibat menangis sesenggukan sejak tadi malam.

Fadlan berjongkok di sebelah Nicho kemudian berkata, "Om, Tante, Rachel, Fadlan tahu ini sangat berat. Tetapi saya mohon, ikhlaskan Nichel. Semalam saya memimpikannya, dia pakai gaun putih, dan dia juga bilang kalau dia sedih lihat orangtuanya menangis. Om sama Tante nggak mau kan membuat Nichel sedih?"

Semuanya yang masih berada di pemakaman terkejut mendengar cerita Fadlan, bahkan Rachel sendiri yang kembarannya tak memimpikan gadis itu. Terlebih Lion, cowok itu sangat merindukan sosoknya.

"Dia bilang itu saja?"

"Iya, habis itu saya langsung terbangun, Om."

Nicho mengangguk, kemudian kembali menepuk punggung istrinya yang lemah itu. Dia tidak punya cara lagi untuk menenangkan hati istrinya sebab ia sendiripun sedang tidak tenang.

"Mama nyesel ninggalin kalian beberapa bulan, seharusnya Mama ada buat Nichel selama ini."

Lagi, Fachela terus meracau seperti itu. Nicho sangat mengerti istrinya. Sejak kepulangannya ke Jakarta wanita itu terus menyesal dan menyesal. Padahal ia tahu jika sebesar apapun penyesalan tak akan merubah yang telah terjadi.

"Mama mau tidur Pa, siapa tahu Mama ketemu Nichel. Mama kangen sama dia, Pa. Ayo kita pulang."

Nicho mengangguk pelan kemudian berpamitan dengan Rachel dan teman-temannya.

Selepas kepergian orangtua Nichel, Lion yang sedari tadi berdiri dan berlindung dengan kacamata hitam guna menutupi air matanya kini mulai berjongkok dan membuka kacamatanya.

"Sayangku...."

"Jangan panggil dia seperti itu, lo akan semakin sulit mengikhlaskan dia, Lion." Fadlan merangkul Lion, kedua cowok itu saling berbagi kesedihan.

"Kalau Nichel masih bisa berbicara, mungkin dia sudah menertawakan lo karena lo cengeng. Menangis di depan dia," ujar Fadlan dengan memaksakan senyumnya.

"Lo benar, bro."

"Lo pertama kalinya kehilangan, ya?"

"Iya, ternyata rasanya sesakit ini."

Beralih ke Marsha, gadis itu terduduk di samping makam Nichel dengan kepala menyandar di bahu Hana. Matanya jangan ditanya sesembab apa.

"Chel, tadi pagi gue ketemu Devin di jalan. Dia sudah sembuh berkat lo. Lo nggak mau lihat dia kah?" Diujung kalimat Marsha kembali menangis kencang. Gadis itu benar-benar tidak bisa kehilangan sahabatnya.

"Marsha, Nichel tidak suka sahabatnya menangis. Jangan buat dia sedih, ya. Kita setiap Kamis sore harus datang ke sini untuk meredakan rindu kita pada Nichel. Mendoakannya, biar dia merasa tenang dan bahagia di alam sana." Menurut Marsha, dalam keadaan apapun, Hana akan tetap menjadi Hana yang bijak. Meskipun Hana menuntut semuanya untuk mengikhlaskan Nichel, tetapi percayalah gadis itupun belum bisa mengikhlaskan. Sulit rasanya. Tetapi ia berusaha kuat.

"Marsha, Reysa, Lion, Fadlan, gue, merasa bangga memiliki sahabat seperti lo, Nichel. Apalagi Rachel, kakak lo yang selalu lo jaga." Hana tersenyum, berusaha menghentikan hujan dari mata masing-masing insan di sana.

Perjuangan dan kebaikan Nichel akan selalu mereka kenang. Dan mereka, bersiap untuk mengikhlaskan Nichel pergi.

Pergi menjadi kenangan. Kenangan menjadi sejarah. Sejarah menjadi penyesalan.

***

Dulu, gue bercita-cita meninggal dalam keadaan tujuan hidup yang sudah kelar. Dengan meninggalkan sesuatu yang berharga untuk seseorang.

Nyatanya, sesuatu yang berharga itu jatuh kepada Reysa. Dengan menyelamatkan dia, gue ingin dia menjadi lebih baik. Tuhan memberinya kesempatan kedua dengan memanggil gue untuk pulang.

Tetapi pada akhirnya, semua menyesali itu. Gue yang tengah di depan Malaikat Izrail ini mulai ragu, namun gue nggak bisa menolak ajakannya.

Dan gue benar-benar meninggalkan dunia fana ini. Jika masih berkesempatan, gue ingin berterima kasih kepada Reysa yang berhasil membuat cita-cita gue tercapai. Yakni meninggal dengan tugas yang selesai. Yaitu tugas menyelamatkan orang lain dari lepasnya nyawa dari tubuh seseorang baik dari fisik maupun mental.

Tugas gue sudah selesai untuk menyamar dan lainnya. Gue berhak untuk pamit. Kisah gue bersama cowok suka tidur di kelas itu gue alihkan pada kembaran gue, Rachel. Semoga dia tidak memperlakukan Rachel sebagaimana ia memperlakukan gue dulu.

Gue cuma mau bilang;

Pada akhirnya,
Yang hidup akan mati
Yang permisi akan pamit.

Seandainya gue adalah matahari
Yang memiliki waktu kapan datang dan pergi
Berkali-kali.
Tanpa manusia memandangnya bosan.

Seandainya gue adalah bulan
Yang cahayanya selalu dipandang istimewa.
Meski ada begitu banyak bintang di sekelilingnya.
Padahal, asal manusia tahu
Bulan tidak akan berarti tanpa langit yang gelap.
Karena sesuatu yang bercahaya takkan tersorot bila ia tidak tenggelam dalam kegelapan.

Sayangnya, gue hanya makhluk aneh yang Tuhan sebut manusia.
Gue bukan langit, ataupun matahari yang dapat menemaninya kapanpun
Yang dapat menghangatkannya kala ia menggigil kedinginan.

Maaf.

Dan,

Sekian, cerita gue telah usai.


-Nichel Anansta-

D I S S I M U L A T E


---

T A M A T

JEPARA, 7 DESEMBER 2019







larikpilu



















Saya ingin mengatakan, terimakasih dan sampai jumpa di kisah lainnya 💜

Follow akun Wpku agar tidak ketinggalan cerita yang lain larikpilu, juga;
Storial.co :larikpilu
Instagram: @tulisan.mungil
Twitter : larikpilu





















*Hari ini aku ultah gaes, kalian tidak mau kirim kado kah? Hehe

DissimulateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang