Dissimulate - 39

1K 79 9
                                    

"Reysa!!!"

Reysa menoleh dengan gugup, nampak di depan pintu Nichel sedang berkacak pinggang menatapnya. Reysa memilih melarikan diri, sesekali menoleh ke belakang mengawasi Nichel yang semakin dekat dengannya.

"Aduh!!"

Reysa terjatuh, membuat Nichel berhasil menangkapnya.

"Nggak usah lari lo!!"

Reysa menatap Nichel tajam. Gadis itu berdiri namun kesusahan. Mengingat kakinya terkilir batu kecil menjadikan rasa nyeri di mata kakinya. Nichel mengulurkan tangan dan diterima Reysa dengan kasar.

"Mau apa lo ngintip di rumah gue? Nggak sopan tahu nggak!"

Reysa tersenyum picik, gadis itu menatap Nichel dari ujung kepala sampai ujung kaki. Seakan diremehkan, Nichel memajukan tubuhnya mendekati Reysa.

"Lo lesbian hah?"

"Lesbian sama lo? Sorry ya!"

Nichel melipat tangannya di dada. "Karena sekarang lo udah tahu gue siapa, nggak salah kan kalau dendam yang selama ini gue pendam terwujud? Reysa, selama ini gue cukup sabar ngadepin lo. Lo pikir gue nggak berani?"

Reysa tepuk tangan, geleng-geleng takjub dengan keberanian Nichel. "Hebat juga lo ngelawan."

"Sekarang jawab gue deh, mau lo apa?"

Rachel berlari kecil menyusul adiknya. Ia menggeret Nichel untuk mengajaknya kembali ke rumah namun gadis itu menggeleng kuat.

"Kalian penipu. Itu lebih buruk dari gue."

"Penipu? Apa kabar sama lo yang pengkhianat?"

"Nichel, udah. Nggak usah diladenin." Rachel mencoba menengahi namun adiknya itu sangat keras kepala. Rachel sangat tahu sifat adiknya itu yang sangat mudah terpancing emosi. Meskipun ia sudah berkali-kali belajar cara mengatasi emosi namun tetap saja diremehkan oleh gadis itu.

"Setelah ini lo mau nyebarin ke seluruh dunia kalau gue penipu?! Padahal lo nggak tahu, keburukan lo lebih besar dari gue, Rey!"

Reysa diam. Ia sedikit tersentuh dengan kata-kata Nichel yang ada benarnya juga. "Halah, bilang aja lo takut kan?"

"Gue sih nggak masalah kalau lo sebarin ini. Lagipula, tujuan gue baik. Sebarin aja, kalau lo sebarin gue juga bisa nyebarin." Nichel tersenyum picik. Ia berbalik badan menjauhi Reysa yang diam saja.

"Mending lo hati-hati sama Nichel, dia tidak pernah sebercanda itu untuk dendam. Gue nggak mau lo kenapa-napa karena dia. Terima kasih, karena lo dia lebih kuat dari masa lalu." Rachel menyentuh pundak Reysa namun ditepis kasar oleh gadis itu.

Rachel tak membalasnya dengan kasar, ia menyusul Nichel yang sudah berjalan lebih dulu. Perasaannya mulai tidak enak. Nichel butuh pembimbing untuk meredakan emosinya. Gadis itu pernah melukai kakak kelasnya yang saat SMP pernah melabrak Rachel karena urusan cowok. Dan itu membuat Nichel tidak mau sekolah lagi, ia lebih memilih menjadi membantu psikiater untuk menemukan pasien yang hilang.

Rachel tak mau Nichel menjadi buruk lagi.

"Nichel."

Nichel tampak mengatur napasnya. Kemudian meneguk air putih segelas tanpa sisa. "Gue nggak suka cara dia. Dia pernah bully gue Kak!"

"Nichel, itu nggak penting. Penelitian lo jauh lebih penting. Tolong, nggak usah hiraukan dia. Ibaratnya, Reysa tuh lubang di jalan yang harus lo lewati. Oke?"

Nichel perlahan mengangguk. Rachel adalah motivator terbaik bagi Nichel. Gadis itu merasa tenang, dan melupakan Reysa secara perlahan.

***

Bintang melaksanakan tugasnya dengan sempurna. Cahaya terangnya membuat Nichel takjub. Gadis itu kini berdiri di balkon kamar Fadlan. Sedangkan Fadlan berada di sampingnya sambil duduk.

"Lan, gue mau berhenti menyamar. Gue udah ketahuan Reysa."

Fadlan terkejut, "Kok bisa?"

"Tadi dia ngintip rumah gue."

Fadlan tak habis pikir. Seorang gadis yang dikenal pemburu peringkat pararel tersebut berubah menjadi monster yang menyeramkan.

"Gue mau ucapin terima kasih banyak buat lo. Udah mau jadi temen gue."

Fadlan terdiam. Ucapan Nichel tersirat beberapa makna yang kemungkinan salah satunya adalah salam perpisahan.

Fadlan tak mau berpisah dengan gadis itu. Ia diam, tak bisa mengungkapkan.

Hening.

Semilir angin menerpa wajah mereka. Nichel mengembuskan napas panjang sembari mengatupkan matanya. Ia tak tahu harus berbicara seperti apa lagi. Ia hanya dapat menikmati kesunyian di bawah cemerlangnya bintang.

"Gue mau pergi, Lan. Besok gue ke rumah sakit untuk menyerahkan laporan dan gue udah selesai."

Fadlan yakin, ini pasti terjadi. Namun apakah menahannya Fadlan memiliki hak?

"Gue nggak bisa nahan lo, Nichel. Meskipun gue menginginkan itu."

"Maafin gue, Lan. Gue nggak bisa membalas perasaan lo. Semoga, rasa lo hanya kagum saja." Nichel tersenyum, dilihatnya mata sendu Fadlan yang menyiratkan kekecewaan. Nichel meraih tas kecilnya, bersiap pulang.

"Selamat melanjutkan perjalananmu Fadlan." Nichel memeluk Fadlan sambil menangis. Cowok itu terkejut. "Ke-kenapa?"

"Gue jahat sama lo." Tangis Nichel semakin mengencang. Fadlan mengelus rambut gadis itu dengan tangan gemetar.

"Nggak papa. Soal memiliki lo itu nggak penting, yang penting gue sayang sama lo."

"Kenapa lo sebaik ini? Yang pada akhirnya, gue semakin merasa tidak enak."

Fadlan melepas pelukan dengan pelan, ia menyelipkan anak rambut Nichel ke telinga dengan tersenyum hangat. "Gue kan emang baik dari dulu."

Nichel cemberut menggemaskan. Ingin sekali Fadlan mencubit pipinya namun ia sadar diri posisinya sebagai teman. Tidak boleh berlebihan.

"Tapi ... Devin sakit apa?"

TBC...
19 Oktober 2019.
















Semakin ke sini kenapa semakin absurd yak:v

Kalian tim mana?

#Nichelion
#Fadlanichel
#Devinichel

Haha.

Jumpa lagi,

larikpilu

DissimulateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang