Dissimulate - 06

1.6K 116 0
                                    

Reysa masih tak bergeming. Kedua sahabatnya tidak menyadari perubahan drastis itu.

Gadis itu menjadi pendiam hingga bel sekolah mengharuskannya keluar lebih dulu sebab itu yang sejak tadi ia tunggu-tunggu.

Rachel berdada-dada dengan Marsha yang sudah dijemput oleh supirnya. Tinggallah Rachel bersama murid-murid yang lain yang masih menunggu angkutan umum di halte.

Rachel mencari-cari Devin. Ia ingin melanjutkan pertanyaannya di perpustakaan tadi tetapi rupanya Devin tidak menampakkan batang hidungnya di halte. Apa laki-laki itu sudah pulang? Rachel berdiri sekadar mengecek semua makhluk yang berada di halte saat ini dan memang benar tidak ada Devin di sana.

"Ehem." Suara laki-laki berdeham di pinggir Rachel membuat gadis itu tersentak kaget. Lion. Sejak kapan ia di pinggir Rachel dan ngapain?

"Pakai ini." Lion menyerahkan jaket navy miliknya yang setiap pagi berangkat sekolah selalu di pakai.

Kening Rachel berkerut, tidak mengerti maksud Lion.

"Buruan pakai." Lion menyodorkan jaketnya sekali lagi namun tak ada penerimaan dari Rachel. Gadis itu masih tidak mengerti. Lion hanya menghela napas panjang. Lion mendekatkan wajahnya ke telinga Rachel membisikkan sesuatu di sana. "Lo tembus."

Mata Rachel membulat hampir terlontar dari tempatnya. Bagaimana ... Lion bisa tahu? Tetapi rasa penasarannya terkikis oleh rasa malunya. Ia malu sekarang.

"Cepet pakai, kalau lo masih punya malu sih." Lion pura-pura menarik lagi jaketnya. Ia masih menatap Rachel.

Rachel bingung. Mana stok di rumah habis jadi ia harus membeli dulu tetapi uangnya sudah habis buat bayar khas dan tabungan sekolah. Lagipula seorang Rachel jarang sekali ke kantin jadi orangtuanya memberinya uang sedikit. Bagaimana ini? Rachel gengsi jika harus menerima jaket itu. Tapi jika tidak diterima, ia malu.

Ribet.

Rachel tidak suka ribet maka dari itu ia menerima jaket Lion.

"Makasih deh." Rachel menarik jaket milik Lion. Lion tersenyum.

"Gengsi lo aja digedein."

Rachel tak menghiraukan karena angkot yang ditunggu sudah berhenti tepat di depannya sehingga ia segera masuk ke sana.

Rachel berhembus napas lega sudah tidak dekat dengan Lion. Entah mengapa aura Lion membuatnya tegang.

"Napa muka lo lega gitu? Lega udah nggak ada gue?"

Nih orang kenapa ada di mana-mana sih.

Rachel hanya tersenyum kikuk dan mengalihkan pandangan. Lion duduk di sebelahnya membuat jantung gadis itu berdebar kuat. Ia mencari Devin, namun tidak ada cowok itu di dalam sana.

Rachel pun sampai lupa kalau tujuan pulangnya mampir ke Indomaret hendak membeli kebutuhan perempuan sangking tidak nyamannya dekat dengan Lion.

Meskipun Rachel dulu terkenal nakal di masa SMP, tetapi ia tidak pernah sedekat ini dengan laki-laki karena ini pengalamannya naik angkot kedua kalinya.

Rachel juga nakal sewajarnya.

"Seharusnya lo tenang kalau kita dekat, kan hati kita terikat." Lion ngawur.

Rachel geleng-geleng kepala sambil membenarkan letak kacamatanya. Sebagai alibi kalau gadis itu gugup.

"Nggak jelas."

***

Seorang pria menitikkan air matanya. Di depannya terdapat beberapa polisi yang sedang baris berbaris.

"Hai, Pa." Seorang gadis memasuki rumah dengan teriak dan senyumnya yang sumringah.

"Wa'alaikumsalam." Meskipun air matanya berjatuhan tetap saja masih ada niat menjawab salam.

Gadis itu menghela napas. "Assalamualaikum, Papa Nicho yang ganteng sedunia."

"Wa'alaikumsalam."

Gadis itu, Rachel, mengerutkan keningnya ketika menyadari Papanya menangis. Rachel mendekat dan memperjelas apa yang membuat Papanya menangis.

Rachel memutar bola mata malas ketika Papanya sedang menonton salah satu adegan baris-berbaris anggota polisi di YouTube. Papanya ini memang sedikit sensitif mengenai polisi.

"Pa, udah lah nggak usah sedih gitu. Itu namanya Papa nggak bersyukur sama pekerjaan Papa sekarang."

Nicho menutup aplikasi berwarna merah itu, mengalihkan pandangannya ke gadis kembarnya yang sedikit menyebalkan baginya.

"Papa nggak bisa move on."

Rachel geleng-geleng kepala. Gadis itu mencopot kacamata yang dikenakannya juga rambut palsunya. Sekarang saatnya menjadi Nichel.

"Papa nggak boleh gitu, mungkin polisi bukan profesi yang terbaik buat Papa."

Ya, papanya dulu mengidamkan polisi dan bercita-cita besar ingin menjadi polisi. Tetapi orangtua Nicho menuntut Nicho untuk menjadi pengusaha. Bahkan ketika SMA pun Nicho harus di rantau kan katanya agar mendapat ilmu yang lebih berkualitas padahal sama saja.

"Nichel," panggil Papanya lembut.

"Hmm." Nichel menyaut dengan malas. Gadis itu sibuk dengan ponselnya.

"Kamu nggak terkekang kan sama pilihan Papa sekarang?"

"Hmm."

"Kamu betah kan sama apa yang kamu geluti sekarang? Kamu tidak pernah merasa Papa paksa kan?"

"Hmmm."

Nicho merasa kesal. Lalu memutar lagu yang berlirik 'hmmm' di aplikasi kesayangannya, YouTube.

Nichel merasa tersindir lalu menutup ponselnya. "Papa baper-an ya jadi orang."

"Hmmm."

Nichel terbahak. Papanya ini kadang lucu sekali.

Nicho baru menyadari Nichel memakai jaket bukan pada tubuh melainkan...

"Kamu tembus?"

Nichel nyengir. "Oh iya baru inget. Nichel beli roti dulu deh." Nichel beranjak namun sebelum ia melangkah Papanya memanggil.

"Loh kok beli roti sih? Apa hubungannya?"

Nichel menepuk jidatnya. "Roti jepang, Pa."

"Oh, sejak kapan ya Papa bolehin kamu menjadi Nichel di luar rumah?"

"Eh?" Nichel terkekeh lalu cepat-cepat memasang kacamata dan rambut palsunya.

"Dada Papa!!!!"

Nicho geleng-geleng kepala. "Wa'alaikumsalam."














DissimulateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang