Dissimulate - 01

3K 176 2
                                    

Di dalam ruangan kelas berkipas angin dua itu tak cukup menghapus keringat di dahi Rachel. Berkali-kali gadis itu mengibaskan tangannya ke wajahnya yang sudah kemerahan.

Ia dan kawan-kawannya baru saja upacara pembukaan tahun pelajaran baru sekaligus penerimaan murid baru dan penutupan MPLS untuk kelas sepuluh.

"Chel ke perpus, yuk. Pumpung belum ada guru."

"Hah?" Rachel sedikit terkejut ketika mendapat tawaran itu. Perpus? Ruang apa itu? Dulu di luar negeri ia sama sekali tak pernah mengunjungi tempat yang bernama perpus itu.

"Perpustakaan, biasanya juga lo yang ngajak gue."

Marsha, teman sebangkunya yang ia yakini adalah teman dekat Rachel asli itu memasang muka melas sehingga mau tak mau Rachel menerima tawarannya.

"Ya udah."

Marsha berbinar, "Nah gitu dong."

Mereka tak hanya berdua, ada Reysa yang duduk di bangku belakang Rachel. Teman dekat Rachel juga.

Mereka bertiga kini tengah duduk di ruang baca perpustakaan. Bagi Rachel ini adalah tempat paling asing seumur hidupnya. Ia sama sekali tak pernah mendapati buku ratusan berjejer di rak begitu rapi.

"Oh jadi gini hobi Rachel dan temennya," Rachel membatin.

Di saat Marsha dan Reysa sedang sibuk mencari buku kumpulan rumus fisika, Rachel hanya duduk manis sambil mengeluarkan selembar kertas berisi aturan-aturan yang akan dipatuhinya selama ini.

Aturan menjadi Rachel:

1. Harus rajin belajar, juga rajin meminjam buku di perpustakaan

Dan seterusnya.

Demi pohon talas yang tidak bisa keras, Rachel membelalak begitu membaca aturan pertama.

"Oke, Rachel, ini hari pertama lo, semangat!"

Rachel menyemangati dirinya sendiri karena hanya dirinya di sini yang tahu kalau ia bukan Rachel yang selama ini diidam-idamkan cowok di SMA Praja.

Rachel dengan napas gusar bangkit dari duduknya menuju rak buku kumpulan materi pelajaran. Kepala Rachel sudah pening membaca berbagai judul yang menurutnya tidak menarik sama sekali.

"Lo nyari buku apa, Chel?"

"Hah?" Rachel menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia melipat bibir bawahnya sambil berpura-pura sedang mencari buku.

"Gue bingung nih, Mar."

"Mar? Maksud lo Marsha? Gue Reysa, Chel."

Rachel menggertakkan giginya dalam diam. Gadis itu merutuki kebodohannya sendiri. Bagaimana ia bisa belum mengenali suara dari temen-temen Rachel?

"Eh, maaf, gue nggak fokus nih. Bantuin gue cari buku kumpulan rumus fisika aja, deh."

Reysa mengerutkan keningnya ketika menyadari ada yang sangat berbeda dari sahabatnya yang satu itu. Seperti ada yang janggal, tapi ia tidak tahu apa keganjalannya.

"Btw lo di depan rak kelas sepuluh. Lo mau cari buku fisika buat adik kelas lo?"

Lagi-lagi Rachel salah. Ia memang perlu belajar lebih dalam lagi mengenai karakteristik seseorang yang diperankannya.

"Kayaknya gue nggak bakat jadi artis deh, akting gini aja nggak bisa."

***

Rachel kembali ke kelas dengan lesu, buku tebal lima senti itu sudah di dekapannya.

"Chel, kapan kita main bareng lagi?"

Rachel menoleh Marsha dengan gugup. Ia tidak tahu seperti apa dan di mana rumah Marsha berada. Ternyata, menjadi diri orang lain tak semudah apa yang dibayangkannya.

Sampai kapan ia akan menderita? Sungguh Rachel tidak betah menjadi kalem, menjadi siswi yang kalau keluar kelas cuma ke perpustakaan atau ke toilet.

Apalagi ketika dulu ia di luar negeri, ia tidak bersekolah. Ini akan menyulitkan jiwa raganya.

"Chel?"

"Eh?" Rachel terkejut ketika Reysa menjentikkan jarinya tepat di wajah Rachel.

"Gue kangen ngobrol sama lo," ucap Reysa tersenyum manis menampilkan lesung pipinya di sebelah kiri. Matanya menyipit menatap Rachel penuh harap.

"Ehm ... gu-gue tanya bokap dulu, ya?" Rachel tersenyum menenangkan.

Tapi bukan rasa tenang yang mereka dapat, melainkan rasa heran.

Marsha menempelkan telapak tangannya ke jidat Rachel, keningnya berkerut ketika jidat Rachel tidak panas, malah terkesan dingin.

"Sejak kapan lo nyebut orangtua jadi bokap?"

Astaga, salah lagi.

Kembaran gue ribet banget deh.

Rachel hanya cengar-cengir menyembunyikan kebingungannya. Ia harus bagaimana sekarang? Teman-temannya sudah mencurigainya ketika ia baru pertama kali melaksanakan tugas? Andai ia tidak sayang dengan seseorang, ia tidak mungkin mau melaksanakan kegiatan tidak jelas ini yang menurutnya lebih dari ribet.

"Eh tuh cowok siapa? Aneh banget bawa topeng," ucap Rachel mengalihkan pembicaraan sebagai alibi agar teman-temannya tak lagi menatapnya aneh.

Marsha dan Reysa menatap arah yang ditunjuk Rachel dengan tatapan datar. Mereka tidak terkejut mendapati seroang laki-laki berkacamata membawa topeng mainan yang sedang duduk di bawah pohon mangga depan kelas mereka.

"Aneh, kan?" tanya Rachel lagi.

Marsha dan Reysa kompak menatap Rachel dengan kening berkerut.

"Itu kan Devin temen sekelas kita, Chel."

"Iya, masak lo lupa, sih? Mentang-mentang habis libur panjang, ya?"

Sungguh, ingin rasanya Rachel menceburkan dirinya ke rawa-rawa. Ia malu. Untuk pertama kalinya ia merasa paling bodoh di dunia. Seharusnya tadi ia diam saja, tidak usah sok begini.

"Oh, itu Devin, ya? Astaga, gue nggak ngenalin dia. Kok dia sekarang agak putihan ya?" lagak Rachel.

Marsha menghela napas, "Dia kan emang putih."

























-------------------------

Jangan sungkan kasih krisar(kritik saran) ya:)

Penulis amatir lagi gabut nih, terus bentar lagi mau kemah:)











Thank you,
anymft

DissimulateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang