Dissimulate - 31

1.2K 116 18
                                    

"Apakah setiap kepedulian mewakili perasaan?"

-Dissimulate-

"Apa sih yang enggak buat lo?"

Rachel merasakan ketulusan yang diucapkan Fadlan. Tetapi Rachel menyangkal tentang percaya dirinya yang mulai meninggi. Peduli bukan berarti suka. Ya, Fadlan tidak menyukai Rachel.

"Ya udah, pulang aja, yuk? Udah sore Mama mau telepon nanti jam lima."

"Oke."

Ketika Rachel dan Fadlan mendayung dan berbalik arah, keduanya sama-sama menegang dengan keberadaan Marsha yang menatap mereka tajam.

Sejak kapan ia berdiri di sana?

"Marsha..." bibir Rachel bergetar, bisa jadi Marsha mendengar pembicaraan mereka, sebab jarak daratan dan telaga tak begitu jauh, hanya sekitar dua meter saja.

Marsha, yang merasa dirinya terciduk menguping, kini hanya diam menatap Rachel yang menatapnya pula. Niatnya bukan untuk mengorek rahasia Rachel, hanya saja Marsha mengekori Fadlan.

Rachel mendayung dengan cepat sebelum Marsha melarikan diri. Gadis itu berniat menjelaskan kepada Marsha atas apa yang diucapkannya dengan Fadlan.

"Rachel ... gu-gue minta maaf. Gue nggak bakal bilang ke siapa-siapa, kok."

Rachel tersenyum, "Nggak papa, Sha. Cepat atau lambat lo juga pasti tahu ini. Dan cepat atau lambat, gue bakal pergi. Gue bukan Rachel, Marsha. Gue Nichel, gue pembohong."

Suasana berubah mencekam. Fadlan menggaruk belakang kepalanya, bingung. Rachel menundukkan kepalanya, merasa bersalah.

"Nggak, lo hebat, Chel. Gue bangga punya sahabat psikolog kayak lo." Marsha menepuk pundak Rachel, lalu memeluknya.

Entah mengapa Rachel malah meneteskan air matanya. Apakah ia telah nyaman berada di dunia kembarannya?

"Sekarang gue paham, kenapa lo bawa Devin pergi waktu itu."

"Iya, Sha. Gue bujuk dia waktu itu. Devin pasien gue, Sha. Kalau dia emang benar-benar sakit langka, gue bakal pergi."

Uhuk. Fadlan tersedak ludahnya sendiri. Mendengar kata 'pergi' dari mulut Rachel, membuat ada sesuatu di hatinya yang merasa tidak ikhlas. Selama ini Rachel adalah gadis yang ditunggunya. Gadis yang dinantikan kehadirannya. Belum sempat Fadlan mengungkapkan kerinduan padanya, gadis itu sudah hendak pergi.

Lalu, bagaimana caranya agar Fadlan berhasil membuat Rachel menetap di dunia yang bukan dunianya?

"Terus sekarang Rachel di mana?" Marsha melepaskan pelukannya.

"Dia sakit," jawab Nichel lirih.

"Sakit apa?"

"Gue belum bisa kasih tahu. Gue mohon sama lo, Sha, tetep panggil gue Rachel, ya? Meskipun lo udah tahu semuanya."

Marsha mengangguk, matanya berkaca-kaca. "Pasti!"

***

Sore sudah berganti malam. Langit telah ditemani sang purnama, sinarnya menyorot di jendela kamar Nichel. Sedangkan gadis itu sibuk dengan laptop di depannya.

"Waktu itu, gue pernah dikatain Devin penyamar. Terus terakhir sebelum dia masuk rumah sakit, dia bilang semua orang menyamar. Fix, ini aneh."

Rachel bersenam jari di sana. Entah apa yang ia ketik di lembar kerjanya.

"Nichel, yuhuuu?"

"Ck." Nichel berdecak, Papanya yang gaul itu memanggilnya. Buru-buru Rachel menutup laptopnya dan membuka pintu.

"Iya?"

"Ada cowok nyariin."

"Papa, 'kan?"

"Bukan lah, ngapain nyariin. Kamu kan di depan Papa."

"Oh."

Papanya manggut-manggut tetapi matanya fokus ke benda pipih di tangannya. Aktivitas tersebut sudah tak asing lagi bagi masa sekarang.

Nichel tahu, pasti ada tamu cowok di luar. Papanya ini kebiasaan, kalau memberi info tidak pernah tuntas sehingga Nichel bisa mati penasaran. Pernah waktu itu Nichel bertanya mengapa Papanya memberi informasi setengah-setengah, Papanya dengan tanpa dosa menjawab, "biar anak Papa punya rasa ingin tahu yang tinggi." Padahal kata Mama dalam hati Papa bilang malas ngomong panjang.

"Assalamualaikum."

Benar, ada tamu. Rachel membuka pintu. Terkejut ia mendapati Fadlan berdiri memakai baju lengan panjang dan sarung kotak-kotak warna hitam putih. Menggendong tas sekolah dan sendal jepit. Ini ada apa?

"Lo mau ngapain?"

"Belajar bareng lo."

Nichel mengerutkan keningnya. Karena memang sebelumnya mereka tak ada perjanjian belajar kelompok sama sekali. Atau, jangan-jangan Fadlan modus?

"Ya udah, masuk."

"Ke dalam?" Fadlan bertanya dengan polosnya.

"Masuk ke luar luaran."

Mulut Fadlan terbuka saking tidak pahamnya apa yang dikatakan gadis berambut pendek itu.

Kini mereka telah duduk di kursi ruang tamu. Di depan televisi, sengaja Nichel menyalakannya agar terdengar suara lain selain suara mereka dan jangkrik.

Alias hening.

"Gue nggak percaya lo ke sini cuma buat kerja kelompok. Bukannya lo baca aja udah paham isi bukunya, 'kan?"

"E..." Fadlan nyengir. "Gue mau ngomong sesuatu sih sebenarnya."

"Kenapa nggak di telepon aja?"

"Ya udah gue telepon lo sekarang."

Nichel memejamkan matanya gemas. "Maksudnya lo telepon di rumah, kenapa lo harus repot-repot ke sini kalau cuma mau ngomong doang?"

"Udah telanjur."

Nichel menarik napas panjang, menghembuskannya perlahan. Kalau dilihat-lihat, Fadlan seperti ada sesuatu. "Ya udah ngomong aja," tutur Nichel kemudian. Rasa penasarannya sudah memberontak.

"Gue sebenernya nggak mau ngomong ini, tapi gue takut kalau gue nggak sempat bilang."

Nichel merendahkan volume televisi agar mendengar ucapan Fadlan dengan jelas.

"Lo ingat gue nggak? Gue yang waktu itu pernah mau meminjami lo sepeda. Jujur, setelah kejadian itu gue kepikiran sama lo. Gue coba cari lo lagi, tapi nggak pernah ketemu. Dan gue seneng banget ketika SMA ketemu kembaran lo. Disitu gue sedih karena dia bukan lo." Fadlan membasahi bibir bawahnya, "Gue nggak tahu perasaan apa ini. Yang jelas gue merasa nggak rela lo dekat sama Lion. Gue merasa retrouvailles yang berlebihan, Chel."

Jantung Nichel berdetak kencang. Ya, Tuhan, mengapa disaat Nichel sudah hampir pergi ada yang menahannya?

"Gue cuma mau ngomong itu. Terserah lo mau jauhin gue. Gue cuma takut nggak bisa ngomong ini. Karena lo udah nemuin Devin, 'kan?"

Nichel mengangguk pelan. Tubuhnya lemas. Bimbang antara menetap menjadi Rachel atau melanjutkan perjalanan hidupnya sendiri. Inilah yang ia takutkan selama menyamar. Ia takut nyaman di dunia yang bukan miliknya.

"Lan ... gue ingat punya teman masa kecil." Nichel menggeleng, amat pelan, "tapi gue lupa kalau itu elo."

31 Agustus 2019.

Gini nih, akibat banyak tugas aku jadi malas:(
Udah lama ga ngetik, hawanya beda. Maap ya kalau jelek part ini:((

Jumpa lagi,
larikpilu

DissimulateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang