Dissimulate - 33

1.1K 92 5
                                    

Di dalam WC Nichel hampir menangis ketika menelepon Mamanya yang sedang berada di luar negeri, bekerja sekaligus menjaga Rachel.

"Seharusnya lo yang ada di posisi ini, Kak," lirih gadis berambut sebahu itu. Fisika adalah pelajaran favorit Rachel. Rachel pernah bercerita padanya bahwa gadis itu ingin sekali mengikuti olimpiade sains.

"Pulang ... Nichel hampir selesai bertugas."

"Nichel, terima kasih. Kamu sudah menjadi sebagian jiwa Kakak, laksain amanah itu dengan baik." Terdengar suara lirih dari sana. Membuat mata Nichel bergetar pertanda akan menangis. "Mama, Rachel, kalian jaga diri di sana baik-baik, ya? Nichel bentar lagi nyusul kok."

Ada sesuatu yang membuat hatinya sakit ketika mengucapkan itu. Entah apa, yang jelas tak bisa diutarakan. Seperti perasaan tidak rela.

"Kamu di sana baik-baik aja kan, Nak?"

Berderailah air mata Nichel detik itu jua. Kepalanya menggeleng namun bibirnya berucap, "Nichel akan selalu baik-baik saja, Ma."

"Untuk Rachel, Mama, dan Papa," lanjutnya dalam hati.

Gemericik air keran membuat suara tangisnya menjadi samar. Beginilah, Nichel. Gadis lemah yang menyamar menjadi kuat. Gadis pemberontak yang menyamar menjadi sabar. Percayalah, hidup pada dunia yang bukan miliknya sangat tersiksa.

***

"Lan, kira-kira nanti Devin bakal kaget nggak ya kalau kita jenguk dia? Dia bakal marah, ya?" Oceh Nichel ketika mereka sedang berjalan menyelurusi koridor rumah sakit khusus.

Fadlan terkekeh, "mungkin saja."

Terdengar suara seseorang tertawa namun di koridor tersebut tak ada seorang pun kecuali mereka berdua.

"Anakku!!!!!"

Oke, mereka mulai sadar mereka ada di mana. Nichel meraih tangan Fadlan untuk berlindung. "Kok lo takut sama pasien lo sih?"

"Gue, 'kan masih amatir." Nichel membela diri.

Ketika seorang wanita berambut hitam panjang keluar ruangan tepat di samping mereka berada, detik itu juga Nichel melarikan diri menuju arah tak tentu.

"Anakku!!! Bunda di sini!!!!" teriak wanita tersebut sambil melambai-lambai ke Fadlan, padahal jarak mereka hanya sekitar satu meter saja.

Fadlan menggulung lengan seragamnya ke atas, kemudian berlari sekuat tenaga menyusul Nichel yang sudah jauh darinya.

"Ngeri sekali pekerjaan psikiater, ya?" ucap cowok itu ketika sampai di depan Nichel. Napasnya terengah-engah.

Nichel tertawa kecil. Melihat raut wajah takut Fadlan membuatnya tak sadar menarik kedua sudut bibirnya. Sebelumnya, ia tidak pernah melihat Fadlan selucu ini.

"Nichel Anansta, bukan?" Seorang wanita berambut pendek, memakai jas putih, menghampiri mereka. Nichel menyalami wanita tersebut. "Iya, Tante. Devin gimana, Tan?"

"Kamu memilih pasien yang tepat, Nichel. Kamu berhasil. Devin memang sakit, tetapi saya tidak bisa memberi tahu kamu sekarang. Mungkin kamu butuh waktu untuk berpikir. Melanjutkan perjalanmu yang tertunda atau melanjutkan dunia kembaranmu."

"Untuk saat ini, saya pilih melanjutkan menjadi Rachel, Tante. Ini amanah dari Rachel."

Wanita yang dipanggil Tante itu mengangguk sambil tersenyum. Namanya Crysel, wanita kembar yang pernah hancur pada masa remajanya namun sekarang menjadi pahlawan depresi. "Devin d dalam, jenguklah, dia sedang tidur."

"Iya, Tante. Makasih udah jagain Devin."

"Kemarin orangtua Devin ke sini, tapi Devinnya marah-marah. Sepertinya, semuanya berawal dari orangtuanya. Sekadar info barangkali kamu membutuhkan itu. Tante permisi, ya, sayang?"

"Iya, Tante," Nichel memeluk tantenya, sebelum wanita tersebut melangkah menjauhi keberadaan Nichel dan Fadlan.

Melihat Devin terbaring seraya mengatupkan matanya, Nichel merasa tidak enak padanya. Devin orang baik, kenapa harus ia berada di ranjang khusus ini? Semua orang jahat maupun baik, pasti memiliki masalah. Tetapi apakah separah itu sampai Devin tidak bisa berbagi kepada siapa saja? Fadlan, mungkin? Kenapa ia memilih memendam sendiri dan berakhir menyedihkan?

"Lan, dulu Devin pernah curhat sama lo nggak?" Nichel mengencangkan suaranya agar Fadlan mendengar. Kini mereka sedang perjalanan pulang menaiki motor vespa tua. Senja menyapa mereka.

Nichel memegang tas Fadlan sebagai pegangan. Gadis itu menutupkan matanya ketika angin menabrak wajahnya sampai rambutnya terasa terombang-ambing ke belakang.

Situasi nyaman ini, tak akan pernah terlupakan. Bahkan Nichel merasa ingin selalu seperti ini.

"Devin nggak pernah curhat apapun, kalau ditanya suka diam. Bahkan gue kaget kalau dia sampai kayak gini. Gue merasa gagal jadi sahabat dia, Chel," Fadlan turut serta mengencangkan suaranya.

Nichel mengangguk, meski Fadlan tak dapat melihat raut mengerti dari wajah cantiknya.

"Mungkin Devin takut sama lo. Lo kayak badut sih," celetuk Nichel diiringi tawa pada akhir katanya.

"Kalau kayak badut seharusnya dia ketawa dong."

"Hahaha."

Tak peduli banyak orang yang melihat mereka cekikikan di tengah padatnya lalu lintas petang itu. Yang jelas mereka seakan melupakan dunia sekitarnya. Rupanya efek senja begini, ya. Indahnya merasuk dalam hati.

"Eh, bulannya kelihatan Lan!!" Nichel menepuk-nepuk bahu Fadlan sebelum menunjuk langit jingga keunguan yang terdapat bulan sabit di bagian barat.

"Bulannya cantik, ya?"

"Iya."

"Tapi tak semanis bulan sabit di bibirmu."

"Hahaha." Nichel terbahak.

Fadlan memegang dadanya yang merasa jantungnya berdetak lebih dari biasanya. Apakah ini moment yang tepat untuk mengutarakan perasaan yang mengganjalnya? Apakah ini saatnya meluapkan rasa rindunya setiap kali ia hampir terlelap di sepertiga malam?

Nichel merasa bahagia lebih dari ketika bersama Lion. Namun gadis itu anehnya masih menyimpan nama cowok itu dalam hatinya. Hal indah yang diterimanya sekalipun belum tentu bisa menghapus segala kenangan yang terlewati.

Karena bahagia dari Lion dan Fadlan tentu berbeda.

"LAN ADA MOBIL!!!"

Mobil macam apa itu menelonyor begitu saja di perempatan jalan. Jalan yang ramai seharusnya mobil tersebut mengerti aturannya berkendara. Nichel memeluk Fadlan sekuat tenaga agar ia tidak terlontar dari motor Fadlan yang berdesakan dengan mobil tak tahu diri itu.

Mereka terjatuh, tak sadarkan diri. Sedangkan motor Fadlan terlontar di atas mobil putih tersebut. Terbawa lari olehnya.

Siapa yang salah? Fadlan yang terlalu grogi jalan bersama Nichel atau mobil itu yang main laju saja tanpa melihat kanan kiri? Padahal sudah jelas arah yang dilalui Fadlan berlampu hijau. Tandanya, dari arah mobil tersebut lampu merah.

Bahagia mereka terpaksa berhenti. Tawa mereka surut digantikan darah mengalir. Kisah singkat mereka pada senja kali ini berhenti sampai di sana. Beberapa orang mengerubungi mereka dan membawa ke rumah sakit terdekat.

Fadlan berusaha membuka matanya sekadar memastikan bahwa Nichel baik-baik saja. Ia takut, bahwa apa yang ia takutkan akhir-akhir ini menjadi kenyataan. Tentang mengungkapkan perasaannya yang selalu tertunda.

TBC ...
21 September 19.

Aku sudah pernah mengkode soal perasaan Fadlan yang takut nggak bisa ngungkapin perasaannya:D

Btw, happy 10k read.

Jumpa lagi,
larikpilu

DissimulateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang