1.

10.1K 361 12
                                    

Iliya melirik sekilas kertas yang kini telah berpindah pada tangannya. Matanya menyelidik ke arah spesies di depannya itu yang berstatus sahabatnya.

"Audisi trainee AR entertaiment?" Heran Iliya setelah membaca kertas brosur di tangannya lalu matanya menatap Kiran meminta penjelasan.

"Hu.um" Kiran mengangguk antusias "lo ikutan, ya?" Lanjutnya.

"Nggak, ah. Buat apa?"

"Buat nyenengin gue" sahut Kiran sambil menunjukkan cengirannya.

"Males" Iliya berlalu meninggalkan Kiran di tempatnya.

"Terus apa gunanya lo bisa nyanyi ngerap plus nge-dance?" Teriak Kiran di belakangnya. Iliya berbalik menatap satu-satunya sahabat di hidupnya itu.

"Buat nyenengin gue" jawabnya enteng.

"Nggak pokoknya lu harus ikutan audisi! Titik gak pake koma" Iliya terkekeh melihat kecerewetan gadis di depannya itu.

"Ini tuh agensi besar! Dan mereka lagi buka audisi besar-besaran, Ya! Dan audisinya di sekolah kita!" Jelas Kiran berapi-api.

"Udah? Gue mau ke kelas" Iliya kembali melanjutkan perjalanannya ke kelas.

Ditempatnya Kiran menghentakkan kakinya kesal menghadapi sifat dingin dan keras kepala seorang Iliya Lail Jefrico itu. Bahkan dulu ia harus berjuang hanya untuk sekedar menjadi teman seorang Iliya, walaupun dengan sedikit rencana licik. Dan mungkin ia akan kembali memakai rencana liciknya untuk menghadapi Iliya lagi.

"Gue pastiin lu bakal jadi trainee, Yaya" gumam Kiran sambil menampilkan senyum evilnya.

:-) :-) :-)

Iliya pov

Apa Kiran bilang? Jadi trainee? Iyakah aku harus ikut audisi? Si cerewet itu benar-benar. Sahabatku satu-satunya yang kutemukan tahun lalu itu benar-benar keras kepala, bahkan lebih keras kepala dariku jika kuakui. Entahlah, aku heran dengan diriku, bagaimana aku bisa memberi predikat ia adalah sahabatku, Kirana Rossie Aaron si cerewet yang bahkan aku membeci orang cerewet, tapi berbeda dengan Kiran. Ataukah mungkin karna ia tahan dengan sifat dinginku itu. Tapi jujur aku tak sedingin itu, atau bahkan aku tak menginginkan itu. Tapi karna rumah, haruskah kusebut rumah? Bahkan mereka tak memberikan kebahagiaan, hanya kebahagiaan dunia yang terus mengalir.

Jika dipikir-pikir penawaran yang menarik. Aku bebas dari rumah itu, walaupun akan lebih sulit menjadi seorang trainee.

Menghela napas aku menyandarkan punggungku pada sandaran kursi di kelas. Kulirik sekilas asal suara bising di sebelahku. Terlihat si bodoh tukang bully Siska tengah menyombongkan diri. Kenapa kubilang bodoh? Karna ia memang bodoh dalam hal apapun, hanya mementingkan popularitas.

"Besok gue mau ikut audisi jadi trainee, kalian semua harus nonton. Jangan lupa semangatin gue, ok?" Katanya bangga.

"Pasti dong, sis" terdengar suara para pengintilnya.

"Gue pasti menang, terus gue jadi artis terkenal, dan bisa ketemu oppa Siwon" Siska kembali melanjutkan khayalan bodohnya itu. Makan tuh khayalan, lo pikir jadi tranee segampang makan krupuk apa?

"Dan lo!" Kulirik sekilas Siska yang tengah menunjukku "siapin semua keperluan gue buat latihan ntar sore di ruang tari!"

"Gue bukan babu"

"Ngelunjak lo, ya!. A..a... sakit..." Siska awalnya emosi karna aku, tai tiba-tiba ia kesakitan karna dari belakang Karin memelintir tangan Siska.

"Jangan-Pernah-Nunjuk-Sahabat-Gue!" Peringat Kiran dengan penekanan di setiap katanya.

Lalu Kiran melepaskan tangannya dari Siska kemudian berjalan kearahku.

"Haruskah berbuat kasar?" Tanyaku pada Kiran setelah ia duduk disampingku.

"Itu tukang pamer kalo kagak digituin gak bakalan diem" sahutnya. Itu memang benar, setelah Kiran bertindak, si Siska itu langsung diam tak berkutik.

"Ya, ya, terserah lu lah"

"Oh, iya? Gue lagi pengen liat dance ly, nih. Boleh, ya?"

"Iya deh iya"

:-) :-) :-)

Baru saja kakiku melangkah memasuki rumah, sebuah pemandangan yang selalu kubenci terpampang jelas dimataku.

"Assalamualaikum" ucapku datar, terlihat bundaku menoleh bersama kak Dinda sepupuku yang tengah tiduran di paha bunda.

"Waalaikumsalam" jawabnya.

"Icha ganti baju terus makan" kata mamah masih dengan posisi yang sama.

"Nggak, bun. Icha udah makan di kantin tadi" bohong!

"Oh, yaudah" jujur itu bukan jawaban yang kuinginkan.

"Icha ke atas dulu, bun" kataku beranjak mju kamarku di lantai dua.
Bunda hanya menagngguk menanggapi.

Setelah menutup pintu, badanku langsung melemas, aku terduduk di depan pintu. Aku sudah terbiasa dengan pemandangan ini, juga rasa sakitnya. Tapi tetap saja rasanya sakit.

Tak kurasa air mataku telah jatuh. Kuusap kasar sisa air mataku, aku benci ini, aku benci air mata, aku benci rasa sakit ini.

Aku teringat sesuatu kartas pemberian Kiran tadi. Kubongkar semua isi tasku, setelah dapat apa yang kucari kupandangi kertas di tanganku itu.

ARentertaintmen

traineeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang