"Dek, ayo turun makan malem" Iliya menoleh mendapati kakaknya tengah berdiri di ambang pintu kamarnya.
Iliya tersenyum "ayo"
Rasya segera menarik adiknya itu, merangkul membawanya berjalan menuju ruang makan.
Sesampainya di depan meja makan, Rasya langsung duduk di tempatnya. Berbeda dengan Iliya yang masih beridiri. Dilihatnya sang bunda yang tengah menyusun makanan bersama pembantunya di meja makan. Diliriknya Dinda, sepupunya tengah menatapnya dengan tatapan mengejek.
"Oh iya, bun. Kemaren Dinda liat Icha ikutan audisi jadi trainee" mata Iliya membeliak kaget, bukan karena Dinda tau jika Iliya mengikuti audisi trainee, tapi sejak kapan kakak sepupunya itu memenggil bundanya dengan sebutan bunda.
"Beneran, dek?" Iliya beralih pada Rasya.
"Iya, bang. Ini kerjaan Kiran"
"Oh, ya? Kamu tuh ngapain ikutan audisi begituan segala, mending sekolah yang pinter aja dulu" Iliya hanya menunduk mendengar setiap kata yang di ucapkan sang bunda.
Selama ini Iliya kurang belajar apa, bun? Belajar menerima cacian dan kata-kata tak mengenakkan? Icha udah kebal, bun.
"Oh, iya bunda hari ini masak makanan laut kesukaan Dinda buat ngerayain karena Dinda kepilih jadi ketua cheerleader" penuturan sang bunda.
Mendadak wajah Iliya pucat pasi mendengar makanan laut. Tak adakah yang tahu kalau Iliya pernah dua hari di rawat di rumah sakit karena makan makanan sejenis kerang laut? Jawabannya tak ada yang peduli.
"Emm... I-Icha lu-lupa kalau ada janji sama Kiran, I-Icha izin, ya?" Ucap Iliya terbata.
"Abang anter, ya?" Tawar Rasya.
"Nggak usah, bang. Icha busa sendiri" Iliya segera meninggalkan meja makan menuju kamarnya.
"Nggak menghormati banget, udah di masakin orang tua malah pergi"
Iliya sempat mendengar perkataan bundanya saat ia baru menginjakkan kakinya di tangga pertama.
###
Iliya baru saja berpamitan pada Rasya dan bundanya lalu segera keluar.
Di tempatnya Rasya tampak datar memperhatikan sang bunda dan sepupunya yang tengah berinteraksi.
"Bang, besok jalan-jalan, yuk, berdua" sebuah celetukan dari gadis di depan Rasya dengan tatapan manjanya.
Rasya hanya melirik datar, lalu kembali menetap makanannya.
"Nggak bisa" sahutnya dingin.
"Emang kenapa, bang? Tadi aja abang jalan sama Icha gak ngajak Dinda juga, nggak adil dong kalo gitu" Dinda dengan manjanya merajuk pada Rasya.
Rasya meletakkan alat makannya di atas piring, menatap gadis di hadapannya "wajar dong gue ngajak adik gue jalan?" Rasya menjeda ucapannya "lagian besok gue ke Bandung. Gue di rumah pun gue gak akan ngajak lo kemanapun" Rasya beranjak meninggalkan meja makan.
"Rasya!" Sebuah panggila tegas menyapa teling Rasya.
Rasya berbalik "kenapa, bun? Tersinggung?"
"Dinda juga adik kamu Rasya!"
"Sepupu, bun" jawaban Rasya tenang.
"Tapi Dinda juga saudara kamu! Kamu jangan keterlaluan sama saudara kamu Rasya!"
"Kenapa gak boleh? Bukannya hampir setiap hari bunda bersikap keterlaluan sama Icha? Mungkin Rasya gak tau, tapi dari mata Icha Rasya tau kalo Icha itu rapuh. Jadi sekarang gak papa dong kalo Rasya bersikap keterlaluan sama anak kesayangan bunda yang satu ini"
Rasya menghela nafas berat "sebenernya anak bunda itu Icha atau Dinda?"
"Rasya!"
Rasya kembali berbalik melanjutkan langkahnya yang terhenti. Menulikan telinganya dari panggilan penuh amarah dari arah belakangnya.
###
Menghela nafas Iliya menatap langit malam yang begitu cerah. Duduk di bangku taman sendirian, Iliya memandang tiga bintang sejajar di atas sana, Orion belt.
Sama seperti kisah hidupnya. Bintang di atas sana, sang orion belt tampak di mata Iliya, namun sulit untuk di raih. Seperti ayah dan kakaknya yang jauh di belahan bumi lain dan sang bunda yang sangat-sangat sulit untuk meraih hatinya.
Kembali menghela nafas, Iliya memejamkan matanya menikmati sunyinya malam, di taman sendirian.
"Jangan tidur di taman, di seret satpol pp tau rasa!" Sebuah suara dari samping Iliya mengintrupsikannya membuka mata dan menoleh.
"Elo!" Iliya berjengit kaget menatap lelaki yang duduk di sampingnya.
"Iya, kenapa?"
"Ngapain lo di sini?" Tanya Iliya dengan tatapan tak suka. Pasalnya lelaki yang tak Iliya ketahui namanya itu pernah mengusirnya dari ruang tari saat ia berlatih dengan alasan itu ruang khusus anak club dance. Bukan mengusir dengan hormat, tapi dengan kata-kata pedas nan menusuk dari lelaki di sampingnya.
"Ini tempat umum, jadi gue bebas dong mau ngapain" jawabnya dengan santai.
"Terserah!"
"Yaudah!"
Tak ada percakapan lagi selanjutnya, hanya berkutata pada pikiran masing-masing.
Cukup lama mereka terdiam hingga sebuah deringan ponsel mengalihkan keduanya.
"Hallo"
"..."
"Waalaikumsalam"
"..."
"Icha baik kok, pah. Papah juga baik, kan?"
"..."
"Alhamdulillah"
"..."
"I-ini, lagi makan sama temen di luar"
Lelaki di samping Iliya mengeryit heran pada jawaban gadis di sampingnya itu. Pasalnya ia tahu, gadis berkulit putih di sampingnya ini hanya berdiam diri ditaman sendirian sejak tadi.
"..."
"Iya, pah"
"..."
"Waalaikumsalam"
"Berbohong, huh?" Iliya menoleh pada lelaki yang baru saja melontarkan sindiran padanya.
"Kenapa?" Ketus Iliya.
"Nggak papa sih, cuma mau ngingetin kalo karma ma..." ucapan lelaki itu langsung di sela Iliya.
"Kalo gue bohong buat kebaikan gue sendiri? Apa salah juga?"
Lelaki yang Iliya ketahui adalah kakak kelasnya itu terdiam.
"Gue itu cuma peran pembantu yang gak pernah muncul dalam film kehidupan gue sendiri. Gue cuma kambing hitam yang selalu di salahkan" Iliya terkekeh sumbang.
"Kadang perubahan kecil bisa bantu seseorang menunjukkan peran utamanya" Iliya menoleh, lalu kembali menatap ke depan.
Keduanya kembali diam dengan pikiran masing-masing.
"Lo belum makan, kan? Gue juga. Sekalian biar lo gak bohong sama bokap lo. Anggep aja gue temen lo" lelaki bermulut pedas itu langsung saja menarik tangan Iliya meninggalkan taman
KAMU SEDANG MEMBACA
trainee
Teen FictionHal gila yang telah di lakukan Kiran telah membuat kehidupan Iliya semakin kacau. Mungkin satu hal yang membuatnya bahagia, keluar dari rumah mengerikan yang selama lima belas tahun di huninya. Bertemu sosok keluarga baru ketika ia menjadi Trainee...