"Assalamualaikum" ucap Iliya saat memasuki rumahnya.
"Waalaikumsalam" terdengar jawaban dari wanita paruh baya yang tengah duduk santa di sofa ruang tamu sambil membaca majalah di tangannya.
Iliya berjalan pelan mendekati bundanya. Kemudian meraih tangan kanan bunda dan mencium punggung tangannya.
"Icha ke kamar ya, bun"
Tak sengaja bunda melihat dahi putrinya yang terlihat tak baik-baik saja.
"Dahi kamu kenapa?"tanya bunda.
Iliya sedikit melirik dahinya yang terluka "nggak papa kok, bun. Tadi jatuh di sekolah" jawabnya.
"Lain kali hati-hati. Yasudah, sekarang ganti baju, terus makan. Dan jangan lupa itu dahinya di obatin" lanjut bunda datar. Ya, datar, meski datar tapi hal itu mampu membuat Iliya tersenyum sumringah.
Iliya tersenyum manis lalu mengngguk pelan "iya, bun. Icha ke atas dulu ya, bun" bundanya hanya mengangguk kembali menatap majalah di tangannya.
Dengan semangat empat lima Iliya berjalan menuju kamarnya di lantai dua. Dengan senyum yang tak pernah pudar sejak ia pulang ke rumah.
Sampai di kamar Iliya langsung membaringkan tubuhnya di kasur kesayangnnya. Menatap langit-langit kamarnya Iliya tersenyum mengingat kata-kata bundanya tadi. Meski terkesan datar dan biasa saja, tapi Iliya merasa ada sedikit rasa khawatir. Meski sedikit, Iliya tak pernah merasakannya sejak kecil, entahlah, ia tak tau apa penyebabnya.
Teringat sesuatu, Iliya bergerak cepat mengambil tasnya dan mendudukkan badannya. Tangannya mencari-cari sesuatu di dalamnya. Setelah mendapatkan benda pipih persegi yang dicarinya, langsung saja ia menghubungu seseorang.
"Halo" sapa Iliya lebih dulu saat ponselnya telah tersambung dengan seseorang di ujung sana
"Ya, apaan sih, cha? Gue lagi tidur juga. Ganggu tau nggak" balas seseorang di ujung sana yang merutuki Iliya karena mengganggu tidurnya.
Iliya terkekeh mendengar gerutuan Kiran di ujung sana "gue lagi seneng tau nggak"
"Abis ketemu Jungkook di mimpi ya, lo? Seneng banget, gue tadi juga ketemu Taehyung tapi lu bangunin, ilang kan mimpi indah gue" lagi-lagi Kiran kembali menggerutu.
Iliya kembali terkikik geli mendengar penuturan ngelantur sahabatnya itu.
"Bukan"
"Terus apaan?"
"Bunda tadi care sama gue" jawab Iliya semangat sambil tersenyum memgingat kejadian beberapa menit lalu.
"Care gimana?" Kiran kembali bertanya.
"Katanya gue harus hati-hati di sekolah terus suruh ngobatin lukanya" sahut Iliya antusias.
"Udah gitu doang? Ngapa lo sampe nelepon gue segala?" Protes Kiran.
"Hehehe... sorry, abisnya gue seneng. Kan jarang-jarang... eh, maksudnya gak pernah ngomong gitu ke gue"
"Yaudah terserah lo dah, udah ya? Gue ngantuk" sahut Kiran di ujung sana.
"Kayanya kalo gue lolos audisi, gue bakal ngundurin diri, deh" sahut Iliya tiba-tiba.
"Eh, KOK GITU!" tiba-tiba suara Kiran terdengar meninggi setelah mendengar penuturan Iliya.
"Gue pengen berjuang di sini aja, buat bunda"
"Lo jahat banget dah, Cha. Gue dah susah-susah daftarin elu audisi, ngerekam pas elo latihan, capek-capek audisi, eh malah ditinggal gitu aja" oceh Kiran panjang lebar.
"Lagian kan gue gak minta, sorry ya"
"Yaudah terserah lu, gue ngantuk, BYE..."
Tut....
Sambungan diputus sepihak oleh Kiran. Sekarang Iliya takut sahabat satu-satunya itu marah karena ia seperti tak menghargai perjuangan Kiran. Iliya tahu maksud dari Kiran. Tapi kini ia harus egois karena sepertinya sang bunda memberi harapan padanya.
:-) :-) :-)
Kirana pov
Setelah memutus sambungan teleponku dan Icha, aku tak benar-benar tidur, bahkan aku tak mengantuk sama sekali. Teringat ucapan Icha yang ingin menolak menjadi seorang trainee. Padahal itu satu-satunya caraku untuk mengeluarkan Icha dari rumah mengerikan itu, karena aku tahu, Icha akan menolak jika aku memintanya tinggal di rumahku hanya dengan alasan itu. Icha itu tipe orang yang tak mau merepotkan orang lain.
"Mungkin aku butuh saran mamah" gumamku.
Aku beranjak dari kamar untuk turun menemui bunda.
"Mamah..."teriakku saat menuruni tangga.
"Apa sih sayang, teriak-teriak" sahut mamah saat aku tiba dihadapannya dengan nafas terengah. Kududukkan pantatku pada sofe tepat di sebelah mamah.
Kusandarkan kepalaku di pangkuan mamah dan seolah tahu, mamah langsung mengusap kepalaku sayang.
"Tadi Icha nelfon" ucapku.
"Terus? Gimana kabarnya Icha? Udah lama dia gak main ke sini, ajakin lah, Ran"
"Iih... mamah! Rana kan mau curhat, kok malah nanyain Icha" ucapku sebal.
"Lah tadi kan kamu cerita tentang Icha" jawab mamah. Aku hanya diam sambil mengerucutkan bibir.
"Yaudah, Icha kenapa?" Tanya mamah.
"Tadi Icha bilang, tante Maya udah mulai peduli sama Icha" jelasku.
"Peduli?"
"Iya, tadi kan Icha jatuh te..." ucapku terpotong karna pekikan mamah.
"Tapi Icha gak apa-apa kan?" Aku memutar bola mataku jengah, mamah itu terlalu overprotective sama anak-anaknya, termasuk Icha, mamah itu sayang banget sama Icha.
"Icha gak papa, cuma lecet dikit doang. Mamah ih, dengerin ceritaku dulu dong makanya" rengekku.
"Ok ok, maafin mamah"
"Katanya, Icha itu harus hati-hati, terus suruh ngobatin lukanya, ntar infeksi, dan Icha bilang gak mau jadi trainee, dia mau di rumah aja sama bundanya. Itu kan nggak menjamin kalo tante Maya udah berubah"
"Kok malah jadi gini sih, sayang" mamah tampak pusing dengan kejadian ini. Pasalnya ini adalah mamah yang ingin Icha segera keluar dari rumah itu. Katanya ini satu-satunya cara biar Icha keluar dari zona bundanya, supaya ia sedikit bebas, karena Icha itu paling susah di suruh nginep.
"Terus gimana, mah?" Tanyaku.
"Nggak tau lah, sayang. Mamah pusing, ntar aja dipikirin lagi" terlihat mamah memijat pelipisnya pusing.
KAMU SEDANG MEMBACA
trainee
Teen FictionHal gila yang telah di lakukan Kiran telah membuat kehidupan Iliya semakin kacau. Mungkin satu hal yang membuatnya bahagia, keluar dari rumah mengerikan yang selama lima belas tahun di huninya. Bertemu sosok keluarga baru ketika ia menjadi Trainee...