Menghela nafas kasar, Ily menyandarkan punggungnya pada bangku taman. Rasa kantuknya mendadak hilang setelah ia baru saja di keluarkan dari kelasnya karena tak bisa fokus belajar, bahkan yang terakhir ia tertidur pada jam pelajaran Mr. Revin, guru matematika paling mematikan.
Mr. Revin itu tak bisa di bantah, ia menjunjung tinggi sebuah profesionalitas, ia tak mau mendapat alasan apapun dari kesalahan yang dibuat muridnya. Meskipun Mr. Revin tahu kalau Ily baru saja menjadi seorang trainee, yang tentu saja sangat melelahkan, tapi tetap saja ia dikeluarkan dari kelas. Bahkan Kiran hampir ikut di keluarkan dari kelas karena membelanya.
Duduk, diam tanpa melakukan apapun. Hanya melihat anak kelas lain yang tengah berolahraga di lapangan basket.
"Cewek kok bolos"
Ily menoleh ke samping setelah merasakan bangku yang di dudukinya sedikit bergerak.
"Emang gak, boleh?" Tanyanya balik.
"Kan emang kodrat anak sekolah gak boleh bolos"
"Gak ngaca kak Rigel juga bolos" Ily kembali menatap ke arah lapamgan basket yang tampak riuh.
"Gue kan udah biasa"
"Katanya kodrat anak sekolah gak boleh bolos?"
"Kan emang iya"
"Terus kenapa sekarang bolos?"
"Peraturan di buat itu untuk di langgar"
"Pemikiran lo yang salah, kak, peraturan di buat untuk di taati"
"Kalau semua orang patuh sama peraturan, guru bk nganggur"
"Siapa bilang, guru bk gak cuma mengurusi anak-anak nakal kayak lo"
"Yaudah deh! Terserah lo ngomong apaan!" Cowok kakak kelas Ily itu tampak menyerah dengan perdebatan kecil itu.
"Lo kenapa bolos? Gue gak yakin lo emang berniat buat bolos"
"Harus banget dijawab, ya?" Ily melirik pada cowok di sampingnya, hanya sekejap lalu memilih kembali memperhatikan beberapa anak cowok kelas lain yang sedang bermain basket di lapangan.
Mempraktikkan apa yang di lakukan Ily sebelumnya. Rigel tampak melirik sekilas gadis bersurai hitam legam di sampingnya "nggak juga" sahutmya kemudian.
Hening, Ily dan Rigel hanya diam tak bersuara setelahnya. Mereka lebih asik menonton pertandingan basket di depannya. Mereka diam, tampak memperhatikan pertandingan didepannya, tapi ekspresinya datar bak tak minat.
"Gue salah, tidur di kelasnya Mr. Revin, dan gue berakhir disini"
Rigel menoleh pada tempat gadis bersurai hitam di sampingnya, ia tak percaya pertanyaannya dijawab. Kiranya pertanyaan tak pentingnya itu tak akan di jawab karena sebelumnya mereka diam tak bersuara.
Rigel menyembunyikan ekspresi kagetnya dengan wajah datarnya itu.
"Gue juga berkali-kali dikeluarin dari kelas Mr. Revin" jawabnya "gue heran sebenernya, dia itu ngajarin murid belajar atau ngedidik tentara, sih?"
Benar memang, Rigel sering dikeluarkan dari kelas karena ia sering tidur di kelas. Bahkan bukan Mr. Revin saja, tapi hampir setiap guru yang mengajar di kelasnya mengeluarkannya dari kelas atau sekedar di beri hukuman karena tertidur di jam pelajaran.
Ily menoleh pada Rigel, menunggu jawaban selanjutnya dari cowok di sampingnya.
"Itu guru emang gak pernah tanya apa alesan muridnya tidur, kan belum tentu anak yang sering tidur di kelas itu bodoh atau nakal, bisa jadi mereka itu belajar sampe tengah malematau ngerjain tugas..."
"Curhat?" Pertanyaan itu, atau lebih tepatnya pernyataan itu membuat Rigel menoleh diam, mendapati Ily terkekeh kecil mendengar penuturannya. Sebenarnya Rigel pun heran menyadari kecerewetannya tadi, seperti bukan dirinya saja. Di tambah ia pun terkejut mendengam suara tawa itu, meski kecil cukup membuatnya terdiam. Pasalnya ini pertamakalinya ia mendengan gadis itu tertawa.
"Nggak!, cuma bilang tentang pemikiran gue doang" katanya ketus, sebab ia baru saja di tertawakan.
"Kita impas" kata Iliya.
"Impas?" Rigel mengeryit tak mengerti.
"Gue masih inget lo pernah bikin gue kesel karna ngusir gue dari ruang tari" Ily menoleh puas menghadap Rigel.
Rigel tampak berpikir, ternyata gadis masih ingat tentang kejadian di ruang tari dulu saat ia mengusir Ily dengan kata-kata pedasnya. Dan kemana Rigel yang bermulut pedas saat berhadapan dengan Ily?
"Tapi ada satu yang belum impas" Rigel segera menarik tangan Ily untuk pergi dari taman.
***
"Bang, mie ayam satu, bakso satu sama es teh satu" ucap Rigel pada abang penjual mie ayam dan bakso di kantin sekolah. Ily di depannya hanya diam melihat.
Rigel menoleh pada Ily "gak pesen?"
"Lah, tadi?" Heran Ily.
"Itu porsi makan gue" jawab Rigel acuh.
Ily memutar bola mata malas, memang cowok itu punya selera makan yang tinggi. Dengan terpaksa Ily berdiri memesan semangkuk bakso untuk dirinya.
"Hari ini lo traktir gue, baru impas" ucap Rigel saat Ily baru saja duduk di tempatnya.
Ily menatap cowok jangkung yang duduk di depannya "perasaan dulu lo yang ngotot buat traktir gue" ucapnya.
Rigel menoleh pada Ily yang sedang menatap dirinya setelah sebelumnya ia melihat sekeliling kantin yang tampak sepi. Hanya ada beberapa anak bandel yang sering membolos, bahkan dirinya pun masuk dalam jajaran itu dan anak kelas lain yang baru saja selesai olahraga. Ini baru jam sembilan pagi, tak heran jika kantin masih sepi, waktu istirahat masih lima belas menit lagi.
"Lo dulu kan lagi sedih, gak elit banget lo bayar sendiri" sahutnya. Ily hanya memutar bola matanya jengah.
***
Baru saja Ily akan meletakkan sendok dan garpunya, tapi sudah terlempar duluan saat mendengar sebuah teriakan yang memanggil namanya."ILIYA.....!!!"
Suara dentingan sendok garpu yang membentur mangkok di depannya terdengar nyaring saat ia terlonjak kaget. Cowok jangkung di depannya langsung berdiri.
"Thank's buat traktirannya" ucapnya pelan lalu segera meninggalkan Ily di tempatnya.
Ily menatap kepergian Rigel lalu bergantian menatap Kiran yang sedang berjalan ke arahnya. Saat merekan berpapasan, Kiran menoleh heran pada Rigel yang tengah melewatinya dengan wajah datar dan acuh.
"Cha! Lo harus jelasin semuanya ke gue"
Baru saja Ily berbalik setelah membayar pesanannya tadi, ia di suguhi pemandangan yang... entahlah ia tak tahu harus mengatakan itu situasi yang bagaimana. Sahabatnya itu berdiri tepat di hadapannya dengan tatapan penuh selidik.
"Nggak disini juga kali" Ily langsung berjalan melewati Kiran begitu saja.
"ILIYA....!!!"
Ily menghela nafas lelah, ingin sekali ia tak menganggap bahwa Kiran adalah sahabat satu-satunya, dengan segala tingkah absurdnya yang sering berteriak saat ia membuatnya jengkel. Lihat sekarang dirinya tengah di tatap banyak mata karna gadis bernama Kirana itu berteriak seenaknya, mengganggu para penghuni kantin yang tengan mengisi perut. Tapi mau bagaimana lagi, itu memang kenyataannya, gadia yang tengah jengkel padanya adalah satu-satunya orang yang mendapat predikat sahabat darinya.
***
Author mau ngucapin makasih buat yang masih setia sama cerita author yang kata temenku ceritanya muter-muter.
Makasih juga buat yang ngasih voment.
Ini spesial rada panjang
Wkwkwk...
KAMU SEDANG MEMBACA
trainee
Teen FictionHal gila yang telah di lakukan Kiran telah membuat kehidupan Iliya semakin kacau. Mungkin satu hal yang membuatnya bahagia, keluar dari rumah mengerikan yang selama lima belas tahun di huninya. Bertemu sosok keluarga baru ketika ia menjadi Trainee...