Maya menatap heran pada bi Amah yang berjalan masuk ke dalam rumah, menaiki tangga lalu kembali dengan paper bag kecil di tangannya. Bahkan saat pembantunya itu diluar, terdengar suara grasak-grusuk dari luar.
Wanita paruh baya itu sedikit mengintip keluar, namun hanya bi Amah yang terlihat sedang mengobrol dengan seseorang.
"Bunda ngapain, sih?" Pertanyaan itu meluncur dari gadis di depannya. Dan Rasya, laki-laki itu hanya melirik tak minat pada percakapan keduanya. Dengan tampang bangun tidur yang berantakan ia hanya terus melahap sarapan paginya.
Maya menggeleng, tapi selanjutnya berdiri dan berjalan keluar.
"Bi Amah ngobrol sama siapa?"
Wanita setengah baya dengan setelan daster batik itu berbalik menatap nyonyanya yang tengah berdiri menatapnya.
"Tadi... itu, nya... anu..."
Maya mengeryit mendapati jawaban gagap dari pembatunya itu.
"Siapa, bi?"
"Tadi... non Icha kesini" jelasnya lirih.
Deg...
Maya mendadak kaku, rasa tak nyaman di hatinya kembali merambat dihatinya. Entahlah, sejak kemarin rasa itu sering muncul dihatinya.
Ia berjalan, mendekati gerbang rumah. Kepalanya menoleh ke kanan, tapi tak ada siapapun keculai jalanan komplek yang lengang mengingat ini baru jam tujuh lebih lima belas. Dengan cepat ia menoleh ke kiri. Matanya menyipit, seorang gadis berseragam sma, dengan tas punggung yang menggantung di punggungnya. Rasa di hatinya menjadi tak karuan. Ada pula rasa rindu... yang terjerat di hatinya.
Maya terus menatap tanpa berniat menyapa gadis yang tinggal dengannya, atau mungkin sekarang bisa dibilang pernah tinggal dengannya itu. Hinnga pertigaan komplek gadi itu berjalan, Maya hanya terus menatapnya yang nulai hilang di telan pertingaan itu. Mendadak hatinya, sakit...
***
Duduk sendirian, di samping jendela, Iliya memejamkan matanya tanpa berniat melihat pemandangan di sampingnya.
Iliya menghela nafas kecil, matanya terbuka saat dirasa seseorang duduk di sampingnya. Kepalanya menoleh, matanya meneliti pada laki-laki berpakaian senada dengannya.
Rigel melirik gadis di sampingnya.
"Tumben?"
"Kenapa?" sahut Rigel.
"Biasanya juga naik motor"
"Disita nyokap"
"Oh"
Reaksi kecil itu menghentikan percakapn keduanya tanpa ada lagi yang mau menyambung. Keadaan dalam bis itu agak hening, meski tampak ramai, para penumpang hanya fokus pada dirinya sendiri ketimbang mencoba membuka suara dengan orang lain.
"Tunggu?" Ucap Rigel " kok lo udah ada di bis? Bukannya harusnya kita berangkat dari halte yang sama?" Tanyanya.
Iliya berpikir, benar apa yang lelaki itu katakan mengingat rumah Rigel dekat atau sekitar kawasan dorm dan gedung agensi yang dihuni Iliya.
"Gue ada urusan" jawabnya final.
Rigel hanya mengangguk, mengerti dengan yang gadis itu katakan. Selanjutnya mereka kembali bungkam hingga berhenti tepat di depan gedung sekolah yang menjulang gagah.
Rigel maupun Iliya turun, kebetulan hanya mereka yang punya satu tujuan di sekolah yang sama. Mereka tetap bersiri menatap gedung dihadapannya hingga bis yang mereka tumpangi telah berlalu.
"Bye..."
Iliya membuka suara, namun raganya berjalan pergi, meninggalkan Rigel yang masih setia berdiri di tempatnya. Matanya menatap punggung Iliya, wajahnya datar tak terbaca. Ia tahu semua tentang gadis itu, nama, keluarga, sahabat atau benda-benda kesukaannya, tapi tidak untuk masa lalunya. Rigel tetap diam, sudut hatinya bertekad ingin melindunginya dan membuatnya terus tersenyum. Entah sejak kapan Rigel menyukai tawa gadis itu, bahkan bila dihitung, merka baru dekat sejak beberapa hari yang lalu itupun hanya saat mereka tak sengaja tersenyum.
Rigel menoleh kesamping kanan dan kiri, sejak tadi ia berdiri sendirian di tempatnya. Hanya suara bising kendaraan dari jalan di belakangnya yang tampak mulai padat. Kakinya melangkah, melewati gerbang menjulang itu dengan tas yang masih setia menggantung di salah satu sisi pundaknya. Langkahnya nyaris tanpa beban, namun fikirannya entah kemana melayang.
***
"Kenapa sih, Ran?"
Gadis bersurai sebahu itu tak menjawab, tangannya terus mengetuk-ngetukkan bolpoin dengan meja. Pandangannya lurus tak terbaca.
"Soalnya susah, ya?" Tanya Shakira lagi "Ran?"
"Hah?" Kirana mendongak, menghentikan aktivitas tak berfaedahnya, menatap Shakira.
"Ada yang susah, nggak?" Shakira menghela nafas lelah, jadi sejak tadia ia diabaikan dan gadis di depannya itu lebih memilih melamun.
"Emmm.... bisa diulang lagi nggak, kak? Jelasinnya..." Gadis bersurai sebahu itu bertanya hati-hati, senyum kecutnya ia tunjukkan untuk memperlihatkan rasa bersalahnya.
"Lagi mikirin apa, sih?" Sekarang Shakira tak akan membahas apapun tentang materi pelajaran. Ia tak mau diabaikan lagi jika putri ceo dihadapannya itu masih tak fokus pada tugasnya.
"Yang ini gimana caranya, kak?"
"Ran, jawab pertanyaan kakak dulu?"
Kirana diam, tak lagi mempertanyakaan soal rumus-rumus matematika di buku yang di pegangnya.
"Soal Icha..." ucapnya.
"Icha?" Shakira mengeryit "dia kenapa?"
Shakira telah mengetahui pasal Icha, saat Kirana tahu kalau sahabatnya itu baru saja masuk sebagai trainee, dengan cepat dan semangat gadis itu bertanya soal ini dan itu soal Iliya."Rana tuh heran sama dia, sebenernya ada hubungan apa sama abangnya Rana" katanya frustasi.
Shakira sedikit melongno mendapati fakta bahwa Kirana hanya memikirkan hal-hal tak terlalu penting seperti yang dibicarakan gadis itu.
"Iliya? Sama abangmu?"
"Heem" sahut Kirana "kakak pernah liat mereka jalan bareng, gitu?"
Mengingat-ingat, Shakira merasa tak pernah melihat interaksi antara keduanya. Ia hanya tahu bahwa Iliya sering sendirian saat mereka bertemu.
"Nggak pernah. Lagian abangmu kan abangmu sering di kantor, kan" jelasnya.
"Iya juga, sih. Tapi belakangan ini mereka rada aneh"
"Kenapa nggak tanya aja?" Shakira berucap memberi saran.
Kirana mendengus "kak Sha bakal Rana traktir kalo sampe mereka berdua jawab pertanyaan Kiran! Heran deh, kok kompak banget tuh orang berdua"
"Kirana! Belajar!"
Baru saja Kirana tengah asik berceloteh ini itu pada Shakira, sang mamah sudah mewanti-wanti dari arah dapur.
Shakira terkikik geli melihat interaksi keduanya. Ah, iya jadi rindu pada ibunya dirumah. Mungkin ia akan meneleponnya setelah ini.
"Mamah ganggu aja" dengusnya sebal.
"Kirana! Mamah denger ya!" Dan lagi-lagi suara wanita paruh baya itu terdengar dari dapur.
Shakira hanya mampu menggeleng-gelengkan kepala.
KAMU SEDANG MEMBACA
trainee
Teen FictionHal gila yang telah di lakukan Kiran telah membuat kehidupan Iliya semakin kacau. Mungkin satu hal yang membuatnya bahagia, keluar dari rumah mengerikan yang selama lima belas tahun di huninya. Bertemu sosok keluarga baru ketika ia menjadi Trainee...