Iliya baru akan pulang saat ruang latihan sudah sepi. Teman-temannya telah pulang sejak tadi. Ia melangkah menyusuri lorong gedung yang sepi mengingat ini sudah hampir maghrib.
Saat baru saja ia sampai di lobby, Iliya tersentak saat bundanya tengah duduk dengan santai di sofa ruang tunggu.
Bunda...
Iliya berhenti, diam, menatap terkejut. Suara langkah mendekat ke arah Iliya menggema di seluruh lobby yang sunyi. Wanita paruh baya itu berdiri tepat dihadapan Iliya.
"Bunda..." lirihnya dengan tatapan tak terbaca.
"Heran saya disini?" Tanya wanita paruh baya itu. "Kamu lebih senang tinggal di tempat sepi ini?"
"Ini gedung agensi, bukan dorm"
"Terserah kamu menyebutnya apa, tapi yang pasti, sekali kamu keluar dari rumah saya jangan harap kamu bisa kembali meski kamu mengemis sekalipun"
Iliya diam tanpa ekspresi, tak terbaca.
"Anda tenang saja, saya tidak akan kembali" kata-kata Iliya tenang bagaikan air, meski menyesakkan.
"Bagus kalau begitu, dan ini..." sebuah amplop coklat tebal ditunjukkan di hadapan Ily "uang terakhir untuk kamu" amplop itu di jatuhkan di kaki Iliya.
Iliya diam.
"Dan satu lagi, jangan pernah panggil saya bunda atau apapun sebutan ibu lagi" kata wanita paruh baya yang telah hidup bersama Iliya selama kurang lebih lima belas tahun itu. Ia menghela nafas, lalu bergegas pergi meninggalkan Iliya.
Iliya diam, mematung tak bergerak hingga bundanya, atau sekarang ia memanggilnya nyonya Jefrico, telah tak terlihat lagi. Matanya menatap lurus pada tempat terakhir orang yang melahirkannya berdiri. Setelah menghela napas Iliya perlahan meraih amplop coklat yang ada di depan kakinya.
"Ly..."
Iliya tersentak, segera memasukkan amplop tebal itu ke dalam saku jaket bagian dalam. Lalu berbalik, Ily mendapati Shakira tengah menatapnya.
Semoga ia tak melihatnya...
Iliya berharap itu, tak ada yang tahu tentangnya, atau tentang kehidupannya. Hanya Iliya dan Tuhanlah yang tahu.
"Mau balik?" Tanya Shakira.
Iliya mengangguk.
"Yaudah ayo"
***
Rigel melangkahkan kakinya menaiki tangga. Dengan seragam yang masih menempel dan tas sekolah yang masih menggantung di punggungnya, Rigel baru saja pulang pada jam tujuh malam. Raut lelah terlihat jelas di wajah tampannya.
Rigel melirik sekilas adik perempuannya yang tengah berdiri di tengah tangga memerhatikannya dengan tangan terlipat di depan dada. Melewatinya begitu saja, itulah yang dilakukan Rigel, adik perempuannya itu memang terkadang aneh.
"Lo ada hubungan apa sama Icha?"
Pertanyaan itu, Rigel berhenti melangkah tanpa berbalik.
"Kepo" itulah kata yang akhirnya keluar dari Rigel. Ia bergegas berjalan kembali menuju kamarnya.
Sang adik hanya shock dengan jawabannya. Sebenarnya tak heran kalau seorang Rigel Adrian Aaron memiliki sifat cuek dan berbicara dengan pedas, itu sudah menjadi rahasia umum. Gadis berambut sebahu itu kecewa dengan kakak lelakinya, jawabannya belum cukup memuaskan untuknya.
"Awas aja, bang, gue bakal cari tau semuanya" katanya menatap sinis kepergian kakaknya sambil bertekad.
***
Rigel melempar asal tas punggungnya, lalu berganti dengan tubuhnya yang di hempaskan di atas kasur. Tubuhnya lelah. Orang berpikir menjadi anak konglomerat itu enak, padahal itu salah besar. Bahkan Rigel ingin menjadi anak biasa saja, ia terlalu lelah di tuntut berbagai hal dengan alih-alih pewaris perusahaan papanya. Ia ingin seperti remaja normal dengan hidup normal.
Rigel menghela nafas. Satu nama terlintas,
Iliya...
Entah bagaimana ia bisa begitu aneh dihadapan gadis itu, dirinya begitu cerewet. Dan soal adik perempuannya, mungkin ia melihatnya saat di kantin dengan gadis berkulit putih pucat bernama Iliya itu. Dan sudah dipastikan ia berfikiran yang aneh-aneh.
Rigel tersenyum, mengingat saat gadis bermata bulat itu saat berhasil membuatnya kesal siang tadi. Dan soal traktiran itu, sebenarnya bukan bermaksud menagih hutang, hanya saja ia tak tahu lagi harus membuat topik apa ketika bersama gadis itu.
'Lindungi gadis itu'
Itu amanat, yang selalu Rigel ingat. Sebenarnya Rigel tak mengerti kenapa ia harus melindungi gadis itu yang tampak seperti gadis remaja lainnya. Tapi sore tadi sudah cukup memberitahunya.
Hubungannya tak baik
Menegakkan tubuhnya, Rigel berfikir sejenak, lalu beridir mengambil jaket legamnya. Bergegas ia keluar dari kamar, menuruni tangga dengan cepat.
"Mau kemana, Gel?"
"Kantor" sahut Rigel tanpa menoleh pada ibunya yang melihanya heran. Baru saja ia pulang, dan sekarang ia ingin kembali ke kantor, bahkan seragam sekolahnya masih melekat.
Rigel berpapasan dengan papanya saat ia keluar dari Rumah. Papanya itu baru saja pulang dari kantor, dan kini menatap heran putranya yang tengah memakai helm.
***
Shakira pov
Sejak tadi aku hanya memperhatikan Ily yang tengah memetik gitar di tengah tatapannya yang kosong. Seperti yang kulihat sore tadi, sepertinya ia punya masalah yang berat, bahkan sangat. Tapi yang membuatku heran, ia tak terlihat menangis, matanya masih bulat tanpa sembab. Terbuat dari apa hatinya itu?
"Lyn, back in time" ucapku setelah lama hanya memandangnya dalam diam. Ily menoleh sekilas padaku yang tiba-tiba membahas lagu yang tengah dimainkannya.
"Ingin kembali ke masa lalu?" Tanyaku.
Ily hanya diam, kali ini tanpa menoleh atau menjawab. Sepertinya cukup sulit mengorek informasi tentang hidupnya.
"Ya"
Satu kata itu akhirnya keluar. Aku hampir saja putus asa mencari informasi tentang gadis di seblahku ini.
"Kapan?"
"Sebelum aku di lahirkan"
Shakira pov end
KAMU SEDANG MEMBACA
trainee
Teen FictionHal gila yang telah di lakukan Kiran telah membuat kehidupan Iliya semakin kacau. Mungkin satu hal yang membuatnya bahagia, keluar dari rumah mengerikan yang selama lima belas tahun di huninya. Bertemu sosok keluarga baru ketika ia menjadi Trainee...