61.

1.2K 107 4
                                    

Darah di ibu jarinya telah mengering, bahkan rasa sakitnya hilang entah kemana. Yang pasti sekarang dirinya sedang di selimuti rasa khawatir yang tercetak jelas di wajahnya. Memang tampak tenang, tapi yakinlah jika gadis itu tak setenang itu.

Beberapa kali Iliya mencoba menilik pintu UGD yang masih tertutup rapat, berharap para medis segera memberi kabar padanya. Iliya menoleh, di sana, di ujung kursi tunggu yang tersedia, gadis itu hanya duduk diam menundukkan kepalanya hingga surainya yang tergerai menutupi wajah cantiknya.

Iliya mendekat "lo boleh nganggep gue yang bunuh nyokap lo dan juga nenek di hari itu"

Dinda mendongak saat itu juga, menatap wajah Iliya yang berdiri di hadapannya. Bukan lagi Iliya yang penuh rasa khawatir, tetapi sisi lain Iliya yang siap membalas apa yang di rasakannya. Percayalah, di balik kalem sifat Iliya gadis itu punya sisi lain untuk meruntuhkan orang.

"Tapi sekarang, gue bisa sebut lo nyakitin nyokap gue!" Suara Iliya meninggi, wajahnya datar namun matanya memerah menahan tangis. Auranya dingin menguar di sekitarnya.

"Kita impas" lanjutnya.

"Icha"

Perlahan Iliya berbalik, dilihatnya sosok sang kakak berdiri hanya dengan celana jeans panjang dan kaos putih polos, jelas sekali jika lelaki itu tak melakukan persiapan untuk kembali ke Jakarta dari Bandung. Setelah sampai di rumah sakit Iliya langsung saja menghubungi sang kakak.

Rasya mendekat, menatap adiknya yang tampak menahan tangisnya. Dengan cepat Rasya mendekap Iliya erat hingga menumpahkan aliran air mata Iliya padanya.

Di tempatnya, Dinda hanya terdiam menyaksikan kakak beradik itu. Ada pertanyaan dalam benaknya, apa ada orang yang menyayanginya bagaikan Rasya menyayangi Iliya? Sekarang ia sadar, ia hanya pengganggu di keluarga yang seharusnya bahagia itu, keluarga yang bertambah keruh karenanya. Bukan tanpa alasan Dinda melakukan semua itu pada Iliya, hanya saja ia ingin merasakan keluarga yang lengkap. Sosok ayah, ibu dan kakak yang akan menyayanginya dan melindunginya. Iliya punya itu semua, bahkan urusan finansial gadis itu memiliki lebih darinya. Dinda hanya..., iri pada gadis itu. Anggap saja ia serakah, Dinda mengakuinya karena jujur ia ingin seperti Iliya yang memeliki kesempurnaan dalam segala hal kebahagian. Selama ini Dinda hanya merasa tak adil. Ibunya meninggal saat pergi, bahkan jasadnya saja ia tak tahu di mana. Ia tak punya saudara karna ia anak tunggal dan ayahnya sering lembur bekerja.

Seketika bayangan ayahnya mengganggunya. Orang tua tunggalnya begitu perhatian padanya walau sering tak pulang karena bekerja, tapi ia malah tak pernah menghiraukannya. Dinda menyesal sekarang.

***

Iliya menatap sosok itu dengan diam, wajahnya datar bak tak terjadi apapun. Meski begitu, hatinya tetap sakit.

Kakinya melangkah pelan, beberapa ki juga matanya berkedip menahan agar air matanya tak jatuh. Ia tak ingin meangis sekarang, dan untuk seterusnya.

"Bunda pasti baik-baik aja"

Iliya mendongak menatapa wajah Rasya yang tegar, meski ia tahu Rasya benar-benar khawatir. Iliya hanya mengangguk saja.

Rasya kembali menatap wajah tenang bundanya sambil menggenggam erat tangan lemah itu, sungguh cantik seperti adiknya. Mata hitam yang selalu ia rindukan, persis milik Iliya. Kini terbaring lemah, dengan mata tertutup. Sejak bebrapa menit yang lalu, bundanya telah dipindahkan ke ruang rawat dengan dinyatakannya sang bunda dalam keadaaan koma.

Meski setiap harinya ia dan bundanya selalu beradu argumen soal Iliya, tapi lelaki itu akan selalu menyayangi bundanya, bunda satu-satunya. Yang ia inginkan sekarang adalah bundanya itu segera bangun dan sembuh, memperbaiki hubungan keluarga dan hidup bahagia dan damai. Mungkin akan sulit di lakukan, tapi Rasya percaya suatu saat nanti akan ada masanya.

"Bang..., aku balik ke dorm aja, ya?"

Rasya menatap adiknya dalam diam bebrapa saat. Hingga muncul bebrapa pertanyaan di benaknya. Apa semenyerah itu dan sekecewa itu Iliya pada bundanya? Ia pikir Iliya ak bermalam disini, menemani sang bunda yang terbaring tak sadarkan diri.

Rasya tersenyum kecil, memikirkan berbagai alasan positif mengapa Iliya tak menemani sang bunda yang terbaring di rumah sakit.

"Kamu capek, ya? Abis latihan? Yaudah kamu pulang aja, istirahat biar gak kecapekan"

Masih dengan wajah datarnya Iliya mengangguk sekali. Rasya masih belum tahu tak ada lagi latihan trainee, karena semua telah usai.

"Aku balik"

Rasya mengangguk, mengiyakan "hati-hati, maaf abang gak bisa nganter"

Iliya tersenyum kecil lalu berbalik pergi. Tepat di ambang pintu ia sedikit melirik sosok gadis itu, yang berdiri di ambang pintu sejak bundanya di pindahkan ke ruang rawat. Iliya kembali menatap ke depan sambil berjalan pelan. Kepergiannya bukan tanpa alasan, bukan juga karena sakit hatinya. Ia hanya memberi waktu pada Dinda, Iliya yakin gadis itu sangat khawatir. Tak masalah baginya berbagi ibu sekarang, ia tak rela pun tetap akan terbagi, kan.

Iliya berhenti tepat setelah ia menginjakkan kakinya di halaman rumah sakit. Di pejamkan kedua matanya menahan air mata meski tak berhasil, dan sekarang justru keluar dengan derasnya, bahkan isakan terdengar darinya.

Sekali lagi Iliya menghembuskan nafasnya pelan, menenangkan dirinya. Yang harus di lakukannya sekarang adalah kembali ke dorm sebelum semua pulang. Tepat setelah matanya terbuka, sosok lelaki itu berdiri di depannya beberapa langkah. Ia menepati janjinya.

Isakan Iliya kembali terdengar kala ia menatap sosok Rigel yang berjalan mendekat ke arahnya. Dengan cepat tubuhnya tertubruk pada dada lelaki itu dan untuk kedua kalinya ia menangis di sana di tempat yang sama. Tangan Iliya mencengkeram erat jaket kulit yang Rigel kenakan. Bahkan kini lelaki itu mengusap lembut kepala dan punggung gadis itu.

Rigel merenggangkan pelukannya kala Iliya dengan suara lirihnya menginterupsi.

"Please, help me..."

***

Shakira berjalan dengan lesu, sesekali netranya bergerak liar sambil menghembuskan nafas. Seharusnya hari ini adalah hari yang membahagiakan baginya, bagi Cleo, Jo dan juga Kei. Tepat hari ini ia dan emam trainee lainnya menandatangani kontrak dengan ARentertainment. Tapi berubah saat kecelakaan itu berlangsung. Jika itu bukan karena ibu dari Iliya, mungkin ia hanya akan mendoakan korban kecelakaan. Seharusnya ia berada di rumah sakit sekarang, menemani Iliya.

"Ily gimana, ya, kak?"

Pertanyaan kecil Cleo mampu membuatnya berhenti melangkah. Ia sedikit menolehkan kepalanya pada Cleo yang juga ikut berhenti berjalan. Terdengar helaan kecil dari Shakira.

"Kita tengok besok"

Sebenarnya Shakira ingin sekarang ini pergi ke rumah sakit, tapi jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Tak mungkin ia pergi ke rumah sakit dengan membawa empat gadis belia itu.

Shakira bersama Jo, Cleo dan Kei kembali melanjutkan perjalanannya menuju dorm, dengan hening tentunya. Sejak kejadian tadi, Kei tak banyak bicara seperti biasanya, gadis itu lebih banyak diam dan hanya menjawab seperlunya. Bahkan Jo yang tampak cuek cukup jelas terlihat mengkhawatirkan Iliya.

"Ily?"

Kei dengan cepat melesat ke hadapan Iliya dan memeluknya erat. Gadis itu cukup kaget karena kedatangan empat gadis itu. Bahkan keempat gadis itu pun sama terkejutnya.

"Pasti berat jadi, lo..."

Iliya melepas pelukan Kei dan hanya menatap gadis itu.

"Ily pulang?"

Iliya menoleh saat mendapati pertanyaan Shakira, lalu mengangguk pelan "ini malam terakhir, jadi ijinin aku tidur disini"

Shakira tersenyum kecil "tentu"

"Keadaan bundamu?"

Kembali menatap Keina di hadapannya, Iliya tampak terdiam sejenak sambil menurunkan pandangannya sebelum

"Koma"

***


traineeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang