39.

1.5K 129 3
                                    

Seva, gadis berkulit putih itu menatap ke samping kanan, dimana gadis berkuncir kuda yang berjarak cukup jauh darinya. Gadis itu bersurai kelam, matanya terpejam dengan headphone yang terpasang tepat di telinganya.

"Ngeliat apa sih, kak?"

Seva menoleh, di sampingnya Raya ikut memandang arah yang sama dengan Seva sebelumnya.

Raya menatap Seva "liat apa, sih?" Tanyanya lagi.

Seva kembali ke arah kirinya " lo liat cewek yang pake headphone itu, gak?"

Raya sedikit memicing memastikan "oh, Ily"

"Ily?"

Raya mengangguk "iya, anak dorm sebelah"

"Dia trainee juga?"

Dan kembali Raya mengangguk.

"Baik banget dia, emang sih pendiem banget orangnya, tapi baik jago masak pula. Kemarin gue diajak makan malem di dormnya"

Seva mendengar dengan baik setiap kisah yang diucapkan gadis di sebelahnya itu. Dan tiba-tiba saja fikirannya kembali ke kejadian kemarin.

Bus berhenti di halte dekat sebuah sekolah menengah elit yang terkenal banyak diisi anak-anak orang kaya dan pejabat.

"Dia anak Baratha?"

Raya menoleh, lalu ikut menoleh ke luar jendela yang menampakkan gedung bertingkat di depannya.

"Dilihat dari seragam dan dia berhenti disini, berarti dia anak Baratha"

Seva mengangguk. Sepertinya ia harus mencari tahu lebih dalam sosok yang menolongnya kemarin. Apa dia benar-benar tulus membantunya atau hanya sekedar kasihan padanya.

***

Iliya, gadis itu terdiam menatap amplop putih di tangannya. Tapi fikirannya entah pergi kemana.

Iliya menoleh pada tempat Kiran di sampingnya setelah seseorang menepuk pundaknya pelan.

"Amplop apaan?"

Sosok yang tengah bersandar tennag di kursi Kiran itu bertanya dengan akrab, bahkan ini untuk pertama kalinya Iliya bercakap langsung dengannya.

Iliya menatap ke depan "kepo" ucapnya pelan.

Lelaki itu mengangguk kecil, tak ingin melanjutkan perdebatannya dengan Iliya.

"Soal kemaren... mau, ya?"

Iliya mendengus, masih tak menatap lelaki di sampingnya.

"Gue gak bisa, Yon"

Orion diam tak menanggapi lagi perkataan Iliya, gadis itu mengeluarkan pernyataan tegas. Tapi sekarang ia harus bagaimana, ia terlanjur mendaftarkan nama Iliya pada acara hut sekolah kemarin. Lagipula Kirana bilang kemarin gadis itu akan mau. Sekarang apa ia salah?

Iliya berdiri, tanpa bicara ia meninggalkan Orion di tempatnya.

Tangan Orion terulur, menahan langkah Iliya yang meninggalkannya.

Iliya melirik sedikit.

"Gue bakal tetep tampil meski itu dengan atau tanpa lo. Tapi gue berharap sih, lo mau"

Iliya diam, mendengar ucapan kecewa itu. Begitupun Orion yang sama diamnya, masih dengan tangan yang menggenggam tangan Iliya. Perlahan dilepasnya tanga Iliya.

Apa Iliya terlalu egois?

Perlahan Iliya kembali melanjutkan perjalanannya. Ia butuh ketenangan sekarang.

Di tempatnya, Orion mendengus lesu. Ia pasrah, ia tak bisa memaksa gadis itu mengikuti kehendaknya. Ia tahu bahwa Iliya punya kesibukan lainnya menjadi trainee.

***

Beberapa kali gadis itu mendengus gusar di bawah pohon mangga itu. Tangannya mengetuk-ngetukkan kertas di tangannya pada kakinya yang bersila. Matanya menatap kosong pada amplop putih itu.

"Gue yakin sekarang niat bolos"

Iliya sedikit melirik pada sosok yang duduk di sampingnya. Ia tahu beberapa saat lalu seseorang ikut duduk di sampingnya.

Iliya kembali menatap ke depan "ini jamkos"

Rigel mengangguk paham "btw itu bangku di anggurin?"

Iliya tak menanggapi, ia hanya diam tak menjawab pertanyaan Rigel. Ia hanya ingin keluar dari zona nyaman dengan duduk di atas rumput.

"Pengen aja" ucapnya.

"Ngapain sih disini? Ntar digigit serangga, lho"

"Serangga gak bikin mati"

Rigel diam tak lagi menanggapi, susah memang berbicara dengan gadis semacam Iliya. Ia hanya diam mengamati taman belakang sekolah yang jarang di kunjungi karena tempatnya yang berada di belakang gedung. Ternyata tak buruk, pikirnya.

Kembali menoleh Iliya "lagi ada masalah pasti"

"Sok tau" Iliya menyahut.

"Muka lo kusut banget tuh"

Iliya diam.

"Butuh pundak?"

Iliya melirik sekilas "udah ada pohon, nih" disandarkan kepalanya pada batang pohon di belakangnya sambil memjamkan matanya, menikmati sekejab hembusan angin yang menerpanya.

Keaadaan hening sesaat karna Rigel maupun Iliya kembali diam, tak ada satupun yang membuka suara.

Iliya membuka matanya saat dirasa sebuah benda jatuh di pangkuannya. Sebuah bunga dengan warna kuning cerah itu di ambilnya. Ditatapnya bunga selebar telapak tangan dengan bentuk bak matahari itu.

"Jangan lupa ceria kek tuh bunga, jan galau terus"

Iliya menoleh "dapet dari mana?" Pasalnya bunga yang di penganya masih dengan daun utuh dan tangkai yang terpotong tak rapih.

Rigel menatap Iliya "nyolong di green house"

Rigel berdiri, membersihkan celananya dari sisa tanah yang mungkin menempel di celananya. Setelahnya Rigel menoleh sekilas pada Iliya, tersenyum kecil lalu pergi begitu saja.

Iliya menatap kepergian Rigel, setelah hilang ditatapnya bunga matahari di tangannya. Ia tersenyum kecil. Di tengah keraguan hatinya masih ada orang yang peduli padanya.

***

Gadis semamapai dengan kulit putih bersih itu menampakkan raut tak sukanya. Tangannya mengepal hingga memutih. Cuaca yang panas kini dihiraukannya, hatinya lebih panas sekarang ini.

Pemandangan di depannya sungguh menyesakkan. Ia pikir, ia yang akan ada di sana, ia juga ingin dalam posisi itu. Tapi bahkan dirinya tak dilihat sama sekali.

***

Hey hey...

Author kambek...

Author mo nanya nih, menurut kalian para pembacanya author yang paliiiiing author sayang, apa sih kesan kalian soal ceritanya si Iliya?

Ngefeel gk?

Gregetan gk?

Atau lempeng2 aja kek si doi? Wkwkwk... becanda.

Tolong di jawab ya...

Ok author with luv

traineeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang