57.

1K 95 1
                                    

Helaan nafas pelan itu cukup jelas terdengar. Iliya hanya diam, menatap punggung yang menjauh itu. Sorot matanya tercetak kesedihan, juga kelecewaan. Tapi itu keputusan Iliya, dan akan tetap begitu. Memang seharusnya ia tak ada di tengah-tengah mereka, ia hanya datang untuk sesaat.

"Are you, oke?"

"Eum" Iliya mendengar pertanyaan itu dan hanya ia jawab dengan gumaman.

"So, are you happy now?"

Iliya sedikit menoleh ke samping, di mana sosok Antares menatapnya. Ia tak menjawab dan hanya diam setepah kembali memalingkan wajahnya ke arah lain. Lelaki itu sungguh menyebalkan, batin Iliya.

"Bukan cuma saya yang berharap sama kamu, tapi mereka juga" ucap Antares pelan.

"Udahlah, bang, jangan paksa lagi Iliya buat ikut debut"

Iliya maupun Antares menoleh ke arah yang sama, dari sumber suar yang baru saja ia dengar. Di sana sosok lelaki tinggi berjalan menghampiri mereka.

"Jangan suka paksa orang, deh" lanjutnya.

Antares mendelik "gue gak maksa adik, gue cuma berharap Iliya berubah pikiran" sahutnya "lagian lo pasti seneng, kan, kalo Iliya nggak debut, biar dia gak sibuk sama karirnya" sindirnya.

Rigel mendengus kesal, kakanya itu memang sedikit cerewet, sama seperti Kirana.

"Jangan sok tau!"

Iliya sedari tadi hanya memperhatikan dua orang itu. Ia tak tahu harus berbuat saat kakak beradik itu tenga bertengkar.

"Nggak sok tau, adik, cuma menerka"

"Lebay!"

Setelah mengatakan itu, tangan Rigel meraih tangan Iliya dan segera menariknya pergi. Ia tak mau terus berdebat dengan Antares, ia akan dongkol sendiri nantinya. Lebih baik juga ia segera membawa Iliya pergi agar tak terpengaruh dengan produser yang konon katanya masih baru itu.

Rigel hanya terus menarik tangan Iliya dalam diam, begitupun Iliya yang sama bungkamnya hingga keduanya keluar dari gedung. Di pelataran gedung Iliya mendadak berhenti mengikuti langkah Rigel. Ia melepaskan tautan tangannya dengan Rigel. Rigel yang merasakan itu lantas berhenti dan berbalik. Di tatapnya Iliya yang tengah menatap langit malam yang sedang cerah itu.

"Gue mau sendiri, kak" ucap Iliya tiba-tiba.

Rigel menaikkan sebelah alisnya, wajahnya masih datar dan tetap diam hingga beberapa saat "lo nggak boleh sendiri"

Iliya mengalihkan pandangannya pada Rigel di depannya. Raut wajahnya tampak bingung.

"Gue gak mau kejadian malam itu terulang lagi, bahkan lo nggak bisa buat sekedar pulang" ucap Rigel.

Iliya masih bungkam. Memang benar, ketika ia dalam titik terendah hidupnya ia tak mampu melakukan apapun, mendadak otaknya blank dan ia pasti butuh orang lain.

"Mending ikut gue"

"Kemana?"

"Mau makan?"

***

Beberapa kali Iliya menusukkan lidi pada cilok dalam bungkus plastik itu. Sedari tadi ia diam.

"Kenapa?" Tanya Rigel setelah menelan cilok yang ia kunyah.

Iliya melirik "apa?"

Rigel sedikit menghela nafas "lo kenapa diem terus dan kenapa itu cilok nggak lo makan?"

Satu buah cilok Iliya masukkan ke mulutnya. Setelah di kunyah dan di telan baru ia menjawab pertanyaan Rigel.

"Ciloknya gue makan, dan mungkin gue bakal rindu sama rasanya"

traineeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang