32.

1.9K 144 23
                                    

Bintang menatap tajam Gilang yang tengah tertawa terbahak dengan kencangnya. Apa-apaan dia di jebak.

"Hahahaha...." lelaki jangkung itu masih saja tertawa dengan renyahnya ditengah wajah kusut Bintang yang makin kusut karena candaan Gilang.

"Hahaha... gak heran si gue" katanya masih dengan sisa tawanya.

Bintang melirik tajam, tapi juga heran dengan perkataan Gilang.

"Iliya tuh banyak yang naksir tau"

"Cewek kek gitu banyak yang naksir?" Perkataan Bintang yang satu ini terdengar meremehkan.

"Lah? Emang kenapa? Iliya kan cantik. Lagian lo tadi juga bilang heem" ledek Gilang.

"Gue reflek, bro" sangkal Bintang.

"Alah, alesan. Yang gue tau, justru kalau reflek itu jawaban paling jujur" sahut Gilang "gue kasih tau, ya. Iliya itu susah banget di deketin, jadi... selamat berjuang bosqu"

"Siapa juga yang mau deketin tuh cewek"

Bintang mendengus kesal, Gilang kini malah lebih memilih menngusili Bintang daripada mengerjakan pekerjaannya melipat baju.

Satu pertanyaan tiba-tiba menyeruak di kepala Bintang "kok lo tau banyak soal tuh cewek?" Tanya Bintang.

Ekspresi Gilang seketika berubah, tadinya ia terkekeh renyah dan sekarang berubah datar menatap Bintang didepannya.

"Jangan-jangan lo suka sama tuh cewek?" Bintang menatap lelaki didepannga dengan mata memicing menerawang.

"Emmm... dulu sih, iya. Tapi  gak jadi"

Bintang mengeryit "saingan dimana-mana bro. Terus Iliya tuh, misterius banget jadi susah di deketinnya"

Bintang tampak berpikir saat mendengar jawaban dari teman satu dorm-nya itu.

***

Rigel berjalan santai menuju pintu, kedua tangannya dimasukkan dalam saku celana pendek yang dikenakannya. Matanya menatap datar pada lelaki yang baru saja memasuki rumah.

Bugh...

Tangan Rigel baru saja melayang dengan kerasnya pada wajah lelaki dihadapannya hingga terhuyung ke belakang.

Pria berusia kepala tiga itu menatap keponakannya dengan nyalang dan... heran.

"Kaget, ya?" Tanya Rigel dengan nada mengejek "sakit, gak?"

"Maksud lo apa, HAH!"

"Sekarang gue tanya! Maksud lo apa selalu ngeluari Iliya dari kelas, HAH!?" Sahut Rigel tak kalah dari pria dihadapannya. Nada suaranya ikut meninggi.

Mendengar suara grasak-grusuk dari luar, semua penghuni rumah keluar mencari sumber suara.

"Revin!" Semua penghuni rumah meneriakkan nama itu.

Rigel, lelaki itu hanya menatap datar pada ibunya yang tengah memeriksa kondisi adik iparnya.

"Rigel! Jelaskan ada apa ini!?"

Rigel melirik sang ibu yang menatapnya penuh tanya "kenapa nggak tanya aja sama adik ipar mamah yang tersayang ini"

Sita, wanita itu kini berbalik pada adik iparnya yang menatap Rigel nyalang. Ia menatap dengan tatapan bertanya, meminta penjelasan.

"Vin?"

Bukan jawaban yang didapatkan dari, yang wanita paruh baya itu hanya mendapat kebungkaman pria dihadapannya itu.

"Kalian ini kenapa, sih?" Tak tahan, Sita geram mendapati teka-teki dari putra dan adik iparnya.

"Om Revin udah dua kali ngeluarin Iliya dari kelasnya, mah! Dan dia gak mikirin gimana perasaan Iliya" lelaki remaja itu mengeluarkan semua emosi yang mengganjal di hatinya sejak beberapa hari lalu.

Rigel berbalik, berjalan memasuki rumah. Ia sudah malas menghadapi orang yang ia panggil om itu. Sedangkan Sita, wanita itu hanya mampu diam mematung, terkejut memandang adik iparnya.

"Gue ngeluarin Iliya bukan tanpa sebab, gue pengen dia istirahat"

Rigel berhenti berjalan, matanya sedikit melirik saat suara berat dan tegas itu menyelesaiakn kalimatnya.

"Istirahat, ya?" Sahut Rigel "tapi gak gini caranya, om. Perempuan itu perasa dan menjaga citranya di mata orang. Dan lo udah bikin citranya buruk di mata semua orang. Dan lo gak tau perasaan dia gimana, om" kata-kata panjang yang sangat jarang Rigel keluarkan itu tiba-tiba mengalir begitu saja dari mulut Rigel, meski tak meninggalkan intonasi datarnya.

Rigel kembali berjalan, meninggalkan orang-orang yang mematung heran. Rigel terus berjalan, matanya sedikit melirik adik perempuannya saai ia lewati. Gadis berambut pendek itu menatapnya memicing meminta penjelasan. Tapi Rigel acuh dan terus berjalan melewatinya.

***

23:59

Wanita paruh baya itu masih membuka matanya. Diingatnya ia tak pernah mengalami masalah tidur, tapi sekarang matanya masih tampak segar di tengah ruangan gelap itu.

Maya, wanita itu menghela nafas lelah, disandarkan kepalanya pada kepala ranjang. Entahlah, pikirannya terasa kacau sejak siang tadi, dan ada sedikit rasa hilang yang merambat dihatinya sejak beberapa hari lalu.

Tiba-tiba saja benda di atas nakas samping ranjangnya menarik perhatiannya. Tangannya terangkat, terulur mengambil kotak berwarna biru muda yang bertengger manis itu.

Kotak manis itu dibuka, terpampang sebuah note 'selamat ulang tahun bunda:)' lalu tatapannya beralih pada kalung perak berbandul bulan sabit yang nampak sederhana itu. Dan seketika ingatannya kembali pada berbagai kotak yang putranya tunjukkan siang tadi.

Kakinya diturunkan di atas lantai yang terasa dingin, tapi tetap di tapaki. Berjalan pelan di tengah malam. Maya berhenti di depan pintu bercat putih bersih itu. Otaknya mengatakan tak perlu masuk, tapi hatinya berkata lain kalau ia harus masuk.

Perlahan, tangannya terulur memutar gagang pintu lalu didorongnya pelan. Maya, wanita usia kepala empat itu sedikit menghela nafas, menenangkan detak jantungnya yang mendadak tak karuan.

Ruangan itu masih sama seperti terakhir kali ia lihat siang tadi, hanya suasana gelap menyelimuti dengan cahaya remang-remang dari lampu jalan depan rumah yang menerobos lewat celah jendela yang tertutup gorden putih itu.

Maya tak berniat menyalakan lampu, rasanya tak ingin mengganggu pemilik kamar itu, meski ia tak ada. Keadaan masih sama, dengan kotak-kotak berserakan di atas kasur. Maya mendekat, duduk di pinggiran kasur yang tak pernah disentuhnya sama sekali.

Tangan lembut itu terulur mengambil satu kotak persegi panjang kecil itu dari banyak kotak berwarna senada itu. Lalu di bukanya. Sebuah note berwarna biru muda itu sudah berada di tangannya.

Teng...teng...teng...

Tepat pukul tengah malam, terdengar dentingan dari jam besar klasik dari lantai bawah itu, meski samar tapi tetap terdengar.

'Selamat ulang tahun bunda:)'

Kata itu masih sama, dengan tulisan khas anak kecil yang masih berantakan. Mendadak hatinya bertambah tak karuan ditambah ia baru saja membuka gulungan kertas putih di dalam kotak yang diambilnya. Sebuah gambar keluarga kecil yang bahagia saling bergandeng tangan.

'appa, oppa, Icha dan bunda'

Setitik air mata jatuh tepat di atasnya, apakah sebegitu buruknya ia sebagai seorang ibu? Tapi sepertinya itu pantas.

Icha...

Tiba-tiba saja nama itu kembali melintas, dengan membawa kilasan peristiwa empat belas tahun lalu. Kemudian hatinya kembali tertata dengan keras tak terbantah. Ia segara berdiri, mengusap pipi basahnya dengan kasar lalu meninggalkan ruangan itu begitu saja.

***

Harusnya author up dari kemaren-kemaren, eh paket abis.

Luv you guys

traineeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang