42.

1.6K 126 19
                                    

Deru motor itu menggema di jalanan komplek yang cukup lengang. Suaranya yang besar memekakkan telinga. Motor berwarna hijau itu melaju kencang bak di kejar sesuatu yang mengerikkan.

Aaargh...

Rigel di balik helm itu menggeram. Suasana hatinya sedang tak baik. Fikirannya sedang kacau saat ini.

Motor itu memasuki pekarangan rumah besar nan mewah itu. Rigel memarkirkan asal motor kesayangannya itu. Ia turun bergegas, berjalan cepat memasuki rumah yang telah di huninya selama tujuh belas tahun itu.

Di ruang tengah, sosok bersurai sebahu itu tengah menonton televisi sendirian. Melihat sosok kakaknya berjalan masuk, ia segera melompat dari atas sofa memblokir jalan kakak lelakinya.

"Jajan dong, bang" katanya sambil menengadahkan tangannya pada sang kakak.

Rigel berdecak.

"Minggir"

Ia masih di tempat yang sama, tak bergerak.

"Minggir"

Adiknya menggeleng.

"Jajan"

Rigel kembali berdecak, tangannya bertolak pinggang menatap adik perempuan satu-satunya itu.

"Kenapa gak minta Mami?"

"Arisan"

"Daddy?"

"Sibuk"

"Bang Ares?"

"Di kantor"

"Om Revin?"

"Di sekolah"

"mpok Imah?"

"A..." gadis yang usianya dua tahun di bawah rigel itu sudah membuka mulutnya untuk menjawab, tapi seketika terkatup. Ia tampak berpikir setelah mendapat pertanyaan terakhir dari kakaknya.

"Kok gue gak kepikiran, ya? Kan ada mpok Imah, kan bisa minjem" ia bergumam sendiri.

"Ah, bilang aja abang pelit" ejeknya lagi.

Rigel mendengus, dengan wajah datar namun kesal ia merogoh sakunya, mengambil dompet miliknya. Ia menarik dua lembar uang kertas dari sana dan di sodorkan pada gadis di depannya itu.

Adiknya menerima dua lembar uang itu dengan senang, namun seketika berubah muram.

"Tiga puluh ribu doang!" Sahutnya tak terima.

Rigel melirik sekilas "mau gak?"

"Kere lo"

"Terus lo apa?"

"A..." menyadari kesalahannya, gadis dengan kaos putih kebesaran itu langsung terdiam.

"Yaudah, makasih!" Gadis itu segera pergi dari hadapan Rigel.

"Udah irit ngomong kek Iliya, datar kek Iliya juga, eh sekarang pelit" gadis itu menggerutu sendiri. Di belakangnya, Rigel tentu mendengar itu.

Iliya...

Bodoh!

Kenapa ia malah ada di sini, seharusnya ia tetap ada di sana, menjaga gadis itu. Laki-laki macam apa ia meninggalkan gadis rapuh itu sendiri saat ia menerima kisah pahit hidupnya. Tentu gadis itu tertampar kenyataan, begitupun ia.

Rigel berbalik, kini ia berlari cepet keluar. Ia harus cepat kembali ke minimarket. Bagaimana kalau Iliya melakukan hal-hal aneh. Gadis itu sangat sulit di tebak.

Rana, adik Rigel itu menatap aneh dengan kening berkerut menyaksikan sikap aneh kakaknya itu. Tadi datang buru-buru, sekarang pergi cepat-cepat. Aneh.

***

"Waktu itu, ibu hamil non Icha, bapak harus pindah ke Korea, sama mbak juga buat ngurus den Rasya karna waktu itu den Rasya bandel banget, ibu takut kalo den Rasya bikin ulah malah bikin ibu dan janinnya kenapa-napa. Sejak awal hamil gak ada yang aneh sama ibu. Ibu baik-baik aja, bahkan sayang banget waktu tahu janinnya perempuan. Setelah sembilan bulan, sejak sore, ibu udah mulai kontraksi mau lahiran non, dan sejak itu ibu nelpon neneknya non yang di Indonesia. Denger cucunya mau lahir, neneknya non langsung pesen tiket buat ke Korea sama adiknya ibu. Sekitar jam tiga pagi, non Icha lahir... dan waktu itu..."

Kisah itu terhenti, terganti dengan sedikit isakan. Sosok wanita itu berhenti bercerita. Sedangkan gadis di depannya hanya diam tanpa ekspresi yang bisa di baca. Ia hanya menatap lurus, serius dalam mendengar kisah hidupnya. Ia tak peduli dengan bisingnya suara kendaraan dan lalu lalang orang yang keluar masuk dari mini market.

"Tepat jam tiga pagi... ibu dapet kabar soal..." cerita yang mengalir kembali terhenti sejenak, wanita itu tampak menguatkan dirinya "neneknya non kecelakaan pesawat... dan jasadnya tidak di temukan..."

Iliya masih diam, bagai di tusuk belati tiba-tiba hatinya sakit, sangat sakit. Ekspresinya datar masih tak terbaca, namun hatinya menahan sakit.

"Ibu sempat depresi berat waktu itu, dan... ibu, menyalahkan non Icha" kisah kembali terdengar "kalau saya bisa, lebih baik saya yang rawat non Icha, tapi saya gak punya hak, saya cuma baby sitter, saya cuma orang miskin"

Wanita di depan Iliya itu menangis, menyalahkan dirinya sendir. Tangan Iliya terangkat, menghapus jejak setitik air yang mengalir di pipinya, kemudian tersenyum.

"Terima kasih"

Iliya, gadis itu berjalan tanpa arah, wajahnya datar dan tatapannya kosong. Ia tak tahu sekarang ia harus apa. Apa ia juga harus pergi jauh mencari neneknya. Yang justru membuat Tuhan marah.

Dak

Kakinya tersandung begitu keras, tubuhnya limbung namun tak jatuh ke tanah. Sepasang tangan menangkapanya, Iliya tak peduli siapa itu. Kali ini kakinya terasa lemas, tubuhnya merosot, Iliya tak kuat menahan tubuhnya.

***

Sepasang netra Rigel mengelilingi sekitaran halaman mini market di depannya, mencari-cari sosok gadis bersurai malam itu. Namun nihil, ia telat. Ia harus segera pergi, gadis itu pasti belum jauh.

Sekarang satu, ke arah mana ia harus mencari sekarang. Ke kanan, ke arah pusat kota, ramai pikirnya. Ke kiri, ke taman kota, cukup sepi saat malam.

Tanpa pikir panjang, ia berlari memilih satu rute. Matanya terus berkeliaran  mencari sosok gadis itu. Kakinya terus melangkah, tak peduli ia lelah, sekarang yang terpenting adalah gadis itu.

Cukup jauh Rigel berlari, peluh telah membasahi wajahnya bak disiram air. Ia membungkuk, mengatur deru nafasnya yang memburu. Seketika nama Iliya muncul, ia harus cepat menemukannya. Kepalanya mendongak dan tepat menatap sosok gadis bersurai malam itu, mata Rigel berbinar. Namun tak lama matanya melebar mendapati jalan gadis itu berubah.

Rigel segera menegakkan tubuhnya. Ia berlari secepat mungkin meraih gadis itu.

Hap

Tangan Rigel menahan pundak itu. Ditatapnya wajah gadis itu. Sorot matanya kosong. Tubuhnya merosot bersamaan dengan Iliya.

"Iliya..."

Rigel mengguncang tubuh di depannya.

"Hei..."

Masih tak ada jawaban, tatapan itu masih kosong.

"Iliya, hei, wake up"

Tangan Rigel terus menggoncang gadis itu menyadarkannya, tatapan Rigel khawatir, takut terjadi sesuatu pada gadis itu.

Perlahan, sepasang netra itu bergerak naik, membalas tatapan khawatir Rigel di depannya.

***

Author putek, sumpah, bingung ini part mau di kasih apaan.

Ngefeel gak?

Suer author pusing

Gak yakin author kalo ini part ngefeel :(

Di ngefeel-in aja ya;(

traineeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang