"Makan disini gak papa, kan?" baru saja Iliya mendaratkan bokongnya pad salah satu kursi di sebuah warung sate di pinggir jalan.
"Nggak papa kok, kak..."
"Rigel"
"Iya, kak Rigel. Sebelumnya makasih" ungkap Iliya.
Lelaki yang mengakui namanya Rigel itu hanya mengangguk mengiyakan
"Mas, satenya dua porsi" Rigel berteriak cukup keras pada mas-mas pedagang satenya yang tampak cukup akrab dengan Rigel. Iliya sedari tadi hanya memperhatikan.
Sambil menunggu pesanan datang, Rigel dan Iliya hanya diam, Rigel sedari tadi bermain ponselnya hingga membentuk suasana canggung keduanya.
"Ini mas Rigel" kata mas-mas penjual satenya sambil meletakkan dua piring sate "pacarnya ya, mas?" tanya sang penjual sate.
"Iya" baru saja aku akan mengatakan tidak Rigel telah lebih dulu menjawab. Iliya melihat ke arah masas yang jual sate hanya ber-oh ria sambil manggut-manggut.
Iliya menatap Rigel di sebelahnya dengan heran. Sedangkan yang di tatap tak acuh sambil memakan sate di hadapannya.
###
Iliya menengok kamar kakaknya yang terbuka. Terlihat kakaknya tengah sibuk dengan beberapa berkas di tanganny. Lalu berjalan menuju laptopnya yang menyanya dan mengetikkan sesuatu. Terlihat sebuah koper tergeletak di atas tempat tidur.
"Abang mau kemana? Kok pake koper segala?" tanya Iliya masih di ambang pintu sambil menyilangkan tangannya.
Rasya menoleh mendapati sang adik tengah memperhatikannya"Abang nanti siang mau ke Bandung, abang harus makilin papah di sana" jelas sang kakak.
Iliya berjalan memasuki kamar sang kakak "emang abang gak capek apa? Baru juga nyampe kemaren" Iliya duduk di pinggiran kasur. Kepalanya menengok pada koper yang terbuka di hadapannya, kosong. Lalu kembali menatap sang kakak yang masih sibuk.
"Mau gimana lagi, dek. Papah kan gak bisa pulang" jawab Rasya seadanya.
"Yaudah, Icha bantuin beberes" Iliya beranjak menuju lemari di kamar Rasya.
"Makasih, princess"
Iliya membuka lemari kakaknya, tapi kemudian kembali memutar badannya menghadap sang kakak "abang berapa hari di Bandung?"
"Tiga atau empat hari"
Iliya kembali melanjutkan aktifitas nya yanag tertunda. Iaa mengambil beberapa kemeja, celana dan juga kaos milik sang kakak lalu di bawanya menuju koper.
Iliya mulai memasukkan pakaian milik Rasya pada koper.
"Abang ke Bandung sama siapa?" tanya Iliya di tengah aktifitasnya.
"Sama Bisma" jawabnya masih dengan berkas-berkas di tangannya.
"Berangkat jam?"
"Nanti abis salat zuhur"
Iliya kembali pada aktigitasnya mengemas pakaian sang kakak untuk di bawa ke bandung. Tak hanya itu perlengkapan lainnya pun juga ia siapkan.
Tak terasa waktu terus bergulir, Iliya baru saja mengantarkan sang kakak sampai ke depan rumah. Menghela nafas pasrah, hanya itulah yang bisa Iliya lakukan. Rasa rindu dengan keluarganya tak pernah terjawab utuh, entah itu untuk saat ini atau nanti.
Plak...
Baru saja Iliya memasuki rumah sebuah tangan mendarat tepat di pipi kanan Iliya. Dengan kerasnya menampar pipi Iliya yang meninggalkan rasa panas dan perih. Jujur Iliya tak pernah merasakannya sejak kecil. Meski bundanya tak menyukai Iliya tapi bukan berarti bundanya berbuat kasar.
Iliya menoleh pada sang pemilik tangan, dengan tatapan terkejut Iliya mencoba meminta penjelasan.
Dengan nafas memburu, Dinda menatap nyalang pada Iliya.
"Jago banget ya sandiwaranya?. Kalo bukan karena ada bang Rasya, udah abis lo di tangan gue!" Dinda berujar dengan berapi-api.
"Maksud lo apa! Bukannya elo yang selalu sandiwara di depan keluarga gue" berbalik dengan Dinda, Iliya hanya menjawab datar nan dingin menusuk.
Dinda terdiam sekejap.
"Alah! Pasti lo semalem sengaja keluar rumah supaya bang Rasya sama tante Maya berantem, kan?" Iliya tertegun dengan pernyataan yang terlontar dari mulut Dinda.
Semalam bunda berantem sama bunda?
"Sebenernya keluarga lo itu gak pernah menginginkan kehadiran lo!" Iliya masih diam mencerna ucapan Dinda.
"Kaya bunda, dia bahkan acuh sama lo. Ayah gak pernah pulang karna gak mau liat muka lo!" Dinda menunjuk tepat di depan wajah Iliya.
"Dan bang Rasya. Dia itu cuma kasihan sama lo" sungguh kata-kata yang terlontar dari mulut Dinda Menohok telat di ulu hati.
"Dasar anak pembawa sial! Pembunuh!" satu tangan Dinda telah melayang menuju wajah Iliya. Tapi cepat-cepat Iliya cekal.
"Gue-bukan-pembunuh" Iliya melepas tangan Dinda dengan kasar.
###
Menangis bukan lagi sebuah pelampiasan rasa sakit bagi Iliya. Toh menangis tak kan merubah apapun.
Duduk dilantai kamar, menatap kosong pada lantai kamarnya. Hanya itu yang Iliya lakukan sejak dua jam lalu. Pipinya mulai membiru bekas tamparan Dinda.
Sebegitu tak di inginkannya kah ia di keluarga ini?
Bahkan Iliya tak tahu tempat yang bisa ia sebut rumah itu kini masih berpenghuni atau tidak, Iliya bahkan tak peduli itu.
Anak pembawa sial!
Pembunuh!
Pembunuh!
Pembunuh!
"Aku bukan pembunuh" lirih Iliua masih di tempat yang sama. Perlahan netra yang masih menatap kosong itu terasa basah.
Haruskah ia keluar dari rumah mengerikan itu? Agar tak ada lagi kekacauan
Ia harus pergi
Dengan tekad Iliya meraih ponselnya di atas ranjang dan mulai menghubungi seseorang.
"Hallo"
KAMU SEDANG MEMBACA
trainee
Teen FictionHal gila yang telah di lakukan Kiran telah membuat kehidupan Iliya semakin kacau. Mungkin satu hal yang membuatnya bahagia, keluar dari rumah mengerikan yang selama lima belas tahun di huninya. Bertemu sosok keluarga baru ketika ia menjadi Trainee...