44.

1.4K 134 18
                                    

Bintang menghela nafas. Sebenarnya siapa yang salah? Gadis itu selalu menangis saat ia meninggalkan Bintang.

Gadis berkulit putih itu telah hilang, sedangkan ia masih di tempat. Bintang masih memikirkan apa salahnya. Tapi selanjutnya tak ambil pusing, ia berbalik memasuki lift, kembali turun untuk mencari Jeya. Daripada memikirkan urusan masa lalu yang tak di mengertinya untuk di selesaikan.

Satu langkah lagi, tepat satu kali kakinya melangkah, Bintang akan berada di posisi luar gedung. Belum juga menginjak lantai, kakinya kembali, di urungkan. Sepertinya ia tak perlu repot-repot mencari gadis itu, ia sudah pulang.

Berpaling dari Seva, kini Bintang di hadapkan kenyataan lain tentang gadis bersurai malam itu. Sepertinya langkahnya harus terhenti di sini. Melihat siapa sosok yang baru ia ketahui wajahnya, walau ia kerap berpapasan di gedung agensi. Dulu ia sempat mengejek lelaki itu yang hanya mengendarai sepeda, tapi sekarang lebih baik mundur untuk masa depannya.

Di depan sana, Iliya, gadis bersurai malam itu tengah berbincang, cukup dekat malah dengan lelaki itu. Ia jadi ingat, dulu ia pernah merasa berkuasa saat ia baru di nyatakan berkolaborasi dengan Iliya. Tapi sekarang keadaan berbalik, justru kini gadis itu lebih berkuasa dengan lelaki di depannya.

Urusan Seva, Bintang sudah pusing. Dan sekarang Iliya, ia lebih pusing lagi. Yasudahlah, fikirnya. Bintang berbalik, lebih baik ia tidur sekarang, sangat jarang ia tidur cukup awal.

***

Ia menatap bingkai besar di depannya. Dilihatnya ia dalam versi muda dengan perut yang tampak buncit. Di sampingnya sang suami yang tersenyum lebar. Tangannya memegang sang putra sukung yang juga tersenyum lebar. Begitu harmonis keluarga kecil itu dalam satu bingkai. Dahinya sedikit berkerut, diingatnya gambar itu tak pernah di cetak satu pun, bahkan ia lupa di mana file gambar itu. Tapi mengapa sekarang terpampang begitu besar di hadapannya?.

"Bunda..."

Maya berbalik. Sosok kecil di depannya itu, tampak pucat. Gadis dengan dress putih bersih itu memegang pesawat kertas kecil, sebelaha tangannya yang lain memegang gantungan kuci dengan boneka awan kecil. Maya terdiam tak bersuara.

"Bunda... sakit... dingin... Icha takut..."

Dalam satu kedipan mata, gadis kecil itu berubah penuh luka.Maya di tempatnya merasa pilu melihat dan mendengar lirihan itu. Egonya agak terkikis sekarang, tatapannya tampak menyiratkan kekhawatiran. Tapi mendadak tubuhnya terasa kaku dan tak bisa bersuara.

Sekali lagi ia berkedip, sekarang sosok di depannya tak sendiri. Di sisi kiri dan kanannya berdiri dua orang yang di sayangnya.

"Ibu..." Maya berucap lirih.

Sosok yang di panggil ibu itu menatapnya kecewa, begitupun sosok satunya lagi, Gita namanya, adik Maya satu-satunya. Bahkan sekarang Gita menatapnya tak suka.

"Kamu gagal merawatnya, Maya. Ibu kecewa..."

"Tidak ibu, maafin Maya..."

Mendengar kalimat ibunya, wanita itu bak di sambar petir. Sekarang ia tahu, ia gagal menyia-yiakan darah dagingnya sendiri.

"Tolong maafin Maya..." Maya bersimpuh di depan ibunya.

"Labih baik Icha ikut dengan nenek"

"Tidak, ibu... Jangan!"

Mendadak suara gemuruh terdengar. Angin tiba-tiba berhembus kencang. Badai datang menerjang. Maya tak siap, ia ingin meraih ibu, adik dan putrinya, tapi tak bisa. Semakin lama, badai semakin mengamuk bahkan sekarang hanya bayangan yang bisa ia lihat.

"Ibu... jangaaan..."

"Iliya"

Maya, wanita itu terduduk diam. Nafasnya memburu dan wajahnya berpeluh. Keadaannya kacau sekarang. Ia menoleh saat mendapati putri yang tak pernah di kandungnya bergerak menyamankan posisi tidurnya.

Tangan Maya terangkat, mengusap peluhnya yang banjir. Beberapa kali pula ia menghela nafas. Otaknya mendadak pusing sekarang.

Tok...tok...tok...

Maya mengeryit saat mendengar suara ketukan itu. Ia memastika tak salh dengar. Maya menengok jam di dinding, ini sudah berganti tanggal, pukul satu tengah malam. Maya berdiri ingin mengecek siapa sosok tamu tengah malam. Takut, tidak terlalu, kalaupun itu hanya maling, untuk apa membangunkan pemilik rumah. Dan kalau hantu? Ia masih punya Tuhan yang bisa melindunginya.

Diliriknya dari jendela, mungkin saja itu orang iseng yang kebetulan ingin mengerjainya. Tampak sosok laki-laki dengan jaket hitam berdiri di depan rumahnya. Sempat di landa dilema, akhirnya Maya membukakan pintu.

***

Kecil harapan Rigel membangunkan pemilik rumah di pukul satu malam. Tapi tak apa, ia akan menunggu sedikit lebih lama.

Terdengar suara pintu di buka, Rigel mendongak. Sosok paruh baya itu menatapnya heran.

"Saya Rigel, putra Abraham"

***

"Jadi?"

Pertanyaa itu mengalir dari wanita di depannya. Ia sudah tahu itu akan terucap, menuntut penjelasan Rigel.

"Saya mau mengucapkan selamat"

Lagi-lagi Maya menatap heran laki-laki sekitar tyjuh belas tahun itu. Apa-apaan maksudnya.

"Anda berhasil menghancurkannya. Dia yang sakit, kedinginan, dan sendirian"

Deg...

Mendadak jantungnya sakit. Bagai di hantam gada setelah mendengar kalimat itu.

"Lebih baik anda tidak menganggunya lagi, dia sudah lebih dari hancur. Tolong biarkan dia bebas"

Rigel berdiri, suasana ini membuatnya muak. Sebenarnya ia agak enggan melakukan ini, tapi hatinya tak tahan.

"Dan terima kasih telah melahirkannya. Permisi"

Setelahnya, putra Abraham itu beranjak pergi. Dan Maya, sejak tadi ia hanya mengalunka satu kata setelah pertemuannya dengan Rigel. Kata-kata anak laki-laki itu menunjukkan kenyataan.

***

Dikit ya? Emang

Maap ya...

Author with luv

traineeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang