13. Tears

448 26 20
                                    

---------------

Dan ketika aku sudah mengetahui semuanya, apa yang harus aku katakan padanya, Papa?

Luvina

----------------

Dan pada akhirnya, firasat Bu Dilara tepat sasaran. Membuatnya harus mematung dengan gadis cantik yang masih memeluknya saat ini. Alhasil, dia tak membalas pelukan Luvi.

"Ibu... Maafin Luvi," rintih gadis cantik itu.

Ya, sebelumnya Luvi sudah bercerita pada Bu Dilara sebab dia menangis seperti ini. Dan tak dapat dipungkiri juga, Bu Dilara amat terkejut mendengarnya.

Tapi karena Bu Dilara paham akan posisi Luvi saat ini, dia memilih tidak melampiaskan amarah pada gadis cantik itu. Dengan sedikit ragu, dia menepuk punggung gadis itu pelan, seraya memberikan ketenangan.

Melihat reaksi orang di depannya yang sedikit aneh, Luvi memilih melepas pelukannya dan menatap raut muka perempuan dua puluh tahunan di depannya.

Dan sungguh mengejutkan, Bu Dilara memberi respon berbalik dari prediksinya. Bu Dilara saat ini sudah tersenyum lebar kearahnya dan terkesan sangat tulus. Luvi yang masih dengan isakannya dibuat terheran sendiri.

"I-Ibu tidak marah?" Tanya Luvi heran.

"Kenapa Ibu harus marah coba?" Bu Dilara malah melontarkan pertanyaan balik.

"Ta-tapi, bu-----" ucapan Luvi terpotong karena Bu Dilara meletakkan jari telunjuknya di depan mulut Luvi.

"Jangan dibahas dulu, lebih baik kau istirahat dulu, 'ya! Ibu ambilkan teh hangat untukmu. Hm?" Ujar Bu Dilara mengalihkan bahasan.

Setelah melontarkan kalimat itu, Bu Dilara membantu Luvi berbaring di kasur UKS dengan kaki yang berselonjor. Mata Luvi sedikitpun tak teralihkan dari perempuan yang berstatus guru biologinya itu.

'Tuhan, Kau buat dari apakah hati manusia di hadapanku kali ini?'

Setelah itu, Bu Dilara keluar dari ruang UKS. Entah itu karena tidak kuat berlama-lama dengan Luvi, atau karena memang ingin mengambilkan Luvi segelas teh hangat.

Dan tanpa disadari Luvi, guru biologi itu melangkahkan kakinya cepat sembari menyeka air matanya yang berdesakan ingin keluar dari pelupuk matanya.

'Ibu... Maafin Luvi... Luvi baru tahu so'al ini...' batin Luvi merintih.

Setelah sosok guru itu keluar, mata Luvi terpejam. Kembali ia meneteskan air matanya. Kenyataan kelu dan pahit harus ditemuinya. Materi biologi adalah kesukaannya sejak SMP. Tapi sekarang, bagaimana ia menyukainya kalau dia menghancurkan hati tutornya sendiri?

Tapi ada satu hal lagi yang sangat membuatnya menyayangi Bu Dilara. Satu hal yang masih membuatnya bertahan disini dan memilih tinggal dengan 'Mamanya'.

"Luvi, Kau tak apa?"

Dengan tiba tiba saja Yasfa datang dengan membuka daun pintu tanpa mengetuknya dahulu. Membuat Luvi harus bergegas menghapus jejak air mata di pipinya.

"Nggak usah disembunyiin! Kayak sama siapa aja lo."

Yasfa dengan santainya mengambil duduk di kursi sebelah kasur Luvi. Memusatkan bola matanya pada gadis cantik yang tengah berbaring di kasur UKS sambil menunduk.

'Wanita paling ditakuti seantero sekolah, sekarang harus tumbang di atas kasur dengan kondisi bekas air mata di seluruh wajahnya. Sungguh miris,' batin Yasfa.

My Problem Girl[Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang