☀☀☀Kebencian itu ibarat percikan api. Semakin kau menyulutkan api ke dalamnya, semakin besar panas yang kau dapatkan.
Bukan untuk kehangatanmu, tapi tubuhmu sendiri bisa hangus terbakar karenanya.☀☀☀
Luvi dan Gyan berlari di antara lorong rumah sakit setelah mengetahui letak kamar pasien Framboz 26.
"Luv, naik Lift itu!"
Dengan langkah cepat Luvi dan Gyan terburu-buru. Dan sampai pada kamar pasien yang di tuju, Luvi sedikit terkejut setelah mendengar satu teriakan.
"PERGIII!!"
Suara itu, begitu dibencinya. Tangan Luvi mengepal erat. Tapi setelah mendengar barang aluminium berjatuhan, rasa penasaran Luvi menepis kebenciannya. Luvi dengan cepat membuka pintu kamar perawatan itu diikuti Gyan di belakangnya.
"Bu Dilara!" pekik Gyan.
Gyan lantas berlari ke arah dua orang yang tengah adu tangan itu. Ia menarik tangan satu orang yang tengah memegang pisau. Luvi terkejut, tapi dia mencoba bersikap biasa. Dia bingung harus melakukan apa. Sedang Gyan mencoba menghalau seseorang yang kalang kabut dengan pisau yang menodong mengarah ke satu orang lainnya.
Rahma!!
"Kenapa kau kesini? PERGII!!!!"
Teriakan itu, alasan kebenciannya pada perempuan dewasa di depannya.
'Apa-apaan itu? Belagu ingin membunuh orang?'
Luvi melihat sosok lain di depannya. Orang dewasa yang begitu sabar tengah menepuk kemeja yang sebelumnya ia gunakan mengajar. Ia bahkan tak sedikitpun berniat membalas perlakuan perempuan di depannya.
"PERGI!!!!" Rahma berteriak begitu nyaring.
Luvi memejamkan matanya. Rasa kesal menyergapnya begitu saja.
"CUKUP!!!"
Bentakan itu cukup untuk membuat ruangan hening seketika. Raut wajah terkejut jelas terpancar di ke dua perempuan dewasa itu. Luvi lantas mendekat ke satu dari mereka.
"Bu Dilara tidak apa?"
Luvi hanya fokus pada satu orang. Ia meneliti tubuh ibu gurunya. Mungkin saja ada luka atau apa. Sedang di sisi lain, tangan Rahma melemas. Pisau itu lantas dengan mudah diambil Gyan dari genggamannya.
"Lu---"
"Bu Dilara, kita keluar dulu. Luvi tidak ingin ibu terluka di sini," ujar Luvi mencoba menahan amarahnya.
Luvi lantas mendorong pelan lengan Bu Dilara, mengisyaratkan mereka harus keluar dari ruangan yang bersitegang itu.
Dilara tidak ada pilihan lain. Ia melirik Rahma sekilas. Raut kebencian penuh melekat pada diri perempuan dewasa itu.
Setelah keduanya pergi, tinggallah Rahma yang tengah duduk terlemas dengan Gyan yang mengurut batang hidungnya.
'Kenapa jadi rumit begini?'
☀☀☀
"Ibu ngapain ke sini? Ibu tau kalau Rahma----"
Jari telunjuk memotong omongan Luvi seketika. "Sssttt... Tidak baik memanggil mama dengan nama panggilannya, sayang."
Luvi memalingkan mukanya. "Perempuan macam dia tidak pantas dipanggil Mama."
Bu Dilara tersenyum lembut. Ia lantas mengelus pipi Luvi, memberi sensasi lembut pada gadis remaja itu. Luvi menangkup tangan lembut yang membelai pipinya, menoleh ke arah pelaku, dan menatap mata yang menatapnya dengan penuh keteduhan.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Problem Girl[Completed]
Teen FictionIni cerita tentang seorang perempuan dan karakternya. Yang nyatanya, jiwa plin-plan lebih berciri khas. ☀☀☀ "Kau menyukaiku?" "Tidak!" "Kalau begitu aku pergi." "Kenapa pergi?" "Kau tidak menyukaiku." "Tapi bukan begitu... Aish, terserah kau!" "Apa...