Kini aku di kotamu, duduk menatap lalu lalang nan sibuk yang bergerak dinamis dari kaca jendela yang berhias bulir hujan. Mereka berpayung, bergegas, setengah berlari, dan sisanya pasrah dengan tubuh basah kuyup serta wajah tertekuk.
Secangkir kopi hangat di antara kedua telapak tanganku dengan jurnal terbentang di hadapanku. Kosong, hampa, persis hatiku beberapa bulan ini.
Aku masih belum menulis apapun. Mataku masih sibuk menatap hiruk-pikuk yang bisingnya tak terdengar, terhalang lapisan ambience coffee shop yang anehnya terasa seperti rumah sendiri. Ah, andai kau ada di sini, tentu dengan senang hati aku akan mengatakan bahwa aroma bourbon vanilla coffee shop ini mengingatkanku akan musim gugur yang telah kita lewati tahun lalu. Sementara Novo Amor menjadi latar musik saat ini akan menjadi bahan diskusi kita hingga sejam kemudian, seperti tahun lalu. Bersama, berdua, dan saat itu seingatku kita masih bahagia.
Lalu jemariku mulai bergerak menulis muntahan kata per kata hingga membentuk susunan kalimat di atas jurnal yang tadinya kosong dan hampa. Sementara hatiku sibuk menentang realita, melawan logika pikiran. Ya, aku masih berharap menemukan sosokmu di antara lalu-lalang dan hingar-bingar di hadapanku.
Meski aku tahu dan sadar penuh, kemungkinan untuk harapan dan imajinasiku berbanding seribu untuk menjadi nyata, membuat hati malangku teriris biru dan berbasuh kesedihan.
Namun, kenaifanku masih terus berharap.
Antara bodoh dan romantis.
Sungguh tipis.
Jangan lupa Vote & Komen ya! 🖤
KAMU SEDANG MEMBACA
Monolog
PoetryTeater kehidupan telah dimulai, dengan pelakon tunggal dan dialog bisu. Rencana berjalan, takdir melantai, di antara hati yang patah dan bujukan palsu. Maukah engkau menjadi pendengarku? Memahami potongan sketsa peran, menghakimi kenangan dan w...