Another short story for you guys! Enjoy!
Ada satu cinta yang kukenang,
seperti rekah dari bebijian
yang tak pernah kutaburkan.Bibir yang sungguh ingin kucium
dan teduh sepasang mata
yang tak pernah melihat mataku.Jari-jari yang melingkari pergelanganku,
dan rengkuh dua ruas lengan
yang rasanya seperti rumah.Mengapa aku bisa merindukan,
seluruh perihal
yang tak pernah kukenal ini.Seseorang yang Tak Kukenal, Lang Leav
Ini mimpi. Aku yakin 100%, meski setiap sentuhan pada setiap perabotan yang kusentuh terasa kesat nyata, serta hangat dan rasa manis aneh terasa nikmat dari segelas anggur yang disodorkannya padaku. Berkali-kali aku berusaha bangkit dari mimpi aneh ini, namun tetap tak bisa. Aku akan terlempar berkali-kali lagi pada mimpi yang sama.
Rasanya seperti terjun bebas, tenggelam di dasar lautan gelap,namun nafasku masih terasa normal. Hanya debar jantungku yang terasa agak cepat, berteriak senang namun gamang pada kelanjutan kisah yang akan terjadi. Tak berdaya melawan mimpiku sendiri, dan malah membiarkan tubuhku ditarik pusaran air di bawahku.
Polanya aneh, tak pernah aku sadari. Bisa jadi sebelumnya aku sedang membaca di perpustakaan rumahku, lalu tiba-tiba kakiku sudah melangkah kembali di lorong manor dengan lantai dingin serta cahaya redup. Aku mendapati sosoknya berdiri membelakangiku, tampak sibuk dengan buku di tangannya, namun aku yakin dia sedang menungguku. Menungguku kembali dan menemuinya.
Aku menunggunya membalikkan badan sambil menatap kesekelilingku, di sini lebih hangat dibanding ruangan manapun manor ini. Buku-buku dengan sampul yang tampak tua dan antik menghiasi sekelilingku. Perapian tampak telah lama dinyalakan, aku bisa menduga dari kayu yang hampir habis dan menjadi serbuk abu. Aku belum selesai mempelajari letak dan keadaan sekelilingku saat sosok tinggi tegapnya membalikkan tubuhnya menghadapku.
Kali ini aku memilih mempelajari struktur fisiknya yang kuharap dapat kukenang saat aku bangun nanti. Rambut kecokelatan seperti kacang walnut dengan warna mata yang sama. Tulang pipi yang terlalu tinggi dan tajam, tubuh tinggi tegap, serta sepasang ruas lengan kokoh yang sepertinya mampu mengangkat seluruh tubuhku dengan mudah.
“Oh, akhirnya kau pulang juga.” Serunya ramah sambil tersenyum. Namun, matanya tak pernah menyentuh tatapanku.
“Ini bukan rumahku.” Protesku. “Jadi, aku tidak pulang. Aku hanya berkunjung seperti biasa, tanpa kusengaja.”
Sudut-sudut bibirnya berkerut, matanya tampak jenaka, seolah-olah aku baru saja mengatakan sesuatu yang lucu. “Menarik. Kau selalu mengatakan hal yang sama setiap kembali ke sini.”
“Ini semua aneh dan tidak nyata.”
“Siapa yang mengatakan ini tidak nyata, sayang?” Tanyanya sambil berjalan mendekatiku.
Kini jarak kami hanya beberapa sentimeter saja. Jemarinya yang terasa dingin menyentuh tulang pipiku. Baru aku sadari, bahwa setiap ke sini dia selalu tampak berpakaian rapi dengan gaya dan sentuhan aristokrat namun terkesan agak modern. Lalu, wanginya… bau tubuhnya sangat khas dan memabukkan, seperti perpaduan goresan mint segar serta samar bourbon vanilla. Tidak seperti wangi tubuhku yang selalu seperti perpaduan cokelat dan cookies yang berasal dari shampo serta pelembab yang kupakai seusai mandi.
“Aku…”
“Semua ini nyata, meski hanya terjadi di kepalamu.”
Aku terdiam dan berusaha kembali menatap matanya. Namun, dia kembali membuang muka. Seakan tersiksa saat ingin menatapku balik.
“Mengapa kau tak pernah menatapku?”
Dia melangkah mundur, dengan masih membuang muka dia tersenyum masam. “Aku tidak ingin kau melihat jiwaku dari mataku. Terlalu berbahaya.”
Aku tertawa, lalu terkejut dengan suaraku yang terasa mengerikan untuk diriku sendiri. “Ini semua mimpi. Tidak ada yang bisa melukaiku di alam ini, tidak juga dirimu.”
Aku memberanikan diri mendekatinya, lalu berbisik pelan. “Seberapa bahayakah dirimu bagiku?”
“Aku tidak bisa mengatakannya sekarang. Aku tidak ingin kau lari dan meninggalkanku sendiri di sini. Aku ingin kau terus kembali dan menemuiku di sini.” Jawabnya pelan.
Aku menatap ke lantai dan mendapati bahwa aku bertelanjang kaki. Pantas saja aku merasa dingin saat menginjakkan kaki di lorong manor.
“Paling tidak, berikan aku namamu.” Kataku sambil masih menatap jemari kakiku yang bergerak gugup.
Jemari dinginnya mengangkat daguku. “Tidak. Nama hanyalah sebuah nama, tidak penting selain jiwaku yang selalu merindukan dan tak sabar menunggu hadirmu di sini.”
“Mengapa kau tidak bisa menjadi nyata di duniaku?” Tanyaku frustasi.
“Aku nyata di duniamu, sayang. Mimpi ini adalah duniamu. Dunia saat kau terjaga hanya kamuflase bagi mimpimu dan tak akan pernah menjadi milikmu.”
“Namun, aku tidak akan bahagia jika kau tak nyata di saat aku terjaga.”
“Di sini saja sudah cukup mengerikan bagiku.”
“Kau pengecut!” Rasa marah aneh tiba-tiba menyerangku dan membuatku mundur selangkah darinya.
“Aku ingin, namun tak bisa. Andai saja semudah itu muncul dan menemuimu di dunia nyata.”
Aku terdiam. Rasanya aneh. Mengapa aku harus marah? Bukankah mimpi ini hasil dari kerja otakku? Bukankah sosok yang kini berdiri di depanku juga hasil dari kerja otakku? Aku berusaha mengingat-ingat dari buku manakah aku berhasil menciptakan sosok ini di mimpiku? Memang terlalu indah untuk muncul di dunia nyata.
Kepala dan dadaku terasa akan meledak dengan letupan emosi serta frustasi yang menyerangku secara tiba-tiba ini. Aku memilih melangkahkan kakiku menuju jendala dan membuka tirainya. Di luar tampak begitu dingin, kabut putih bergerak rendah menutupi hutan pinus, agak tebal hingga mampu mengelabui mata dari bayangan yang mungkin bergerak di celahnya.
“Di mana kita saat ini?” Aku bertanya saat kurasakan hadirnya di belakangku.
“Mmh…” Dia bergumam pelan, nada suaranya melenakan. “Highland, Skotlandia.”
“A…apa?” Mataku terbelalak tak percaya.
“Setelah semua keanehan ini kau kaget saat mendapati kau sedang berada di Skotlandia? Bukankah semua ini hanya mimpi, sayang?” Tanyanya heran.
Aku mengangkat bahu, “Oh, kau benar. Lalu, tahun berapa ini?”
Keningnya berkerut, seakan-akan pertanyaanku tadi tidak masuk akal.
“Pakaianmu agak aneh untuk di bawa ke jalanan tahun saat ini.”
“Kita berada di tahun yang sama dengan dunia jagamu. Aku hanya memakai apa yang aku punya dan aku suka. Lagipula, tidak ada yang aneh di dunia ini. Apa kau lupa bahwa dunia mimpimu ini berbeda dengan dunia jagamu?”
Aku mengangguk. “Kau benar lagi.”
Lalu dia kembali tersenyum. “Sepertinya kau tidak terlalu mengenal dunia yang sebenarnya kau miliki, sayang. Kau terlalu sibuk memahami dunia jagamu. Pasti sangat melelahkan untukmu.”
Aku tersentak dan merasa disengat oleh ucapannya. Meski ini semua hanya mimpi, dan aku tak tahu kapan akan bisa kembali lagi, semua ini benar-benar nyata untukku. Hari ini semuanya masih menjadi teka-teki buatku. Mungkin, suatu hari nanti aku akan mendapatkan jawaban atas lucid dream yang telah aku alami.
Jangan lupa Vote & Komen ya! 🖤
KAMU SEDANG MEMBACA
Monolog
PuisiTeater kehidupan telah dimulai, dengan pelakon tunggal dan dialog bisu. Rencana berjalan, takdir melantai, di antara hati yang patah dan bujukan palsu. Maukah engkau menjadi pendengarku? Memahami potongan sketsa peran, menghakimi kenangan dan w...