Surabaya, 27 Juli 2019
18.30 WIB“Selamat ulang tahun, Sandra!” teriak teman-teman sekelasku. Aku terharu mendengar seruan mereka. Suasana pesta ulang tahunku yang ramai membuat senyum ini mengembang lebih lebar, sampai sahabatku merusak pemandangan.
“Kau memang selalu membuat mood-ku hancur berkeping-keping, Ra. Nah, kan, cogannya hilang.” Aku memanyunkan bibir sedikit. Alora tertawa melihatku. Huh, dasar tak punya hati.
“Jangan begitu. Nanti dia tidak mau menembakmu,” ujar Alora. Aku menatap Alora sinis dan ia hanya memperlihatkan sebuah kekehan saja. “Aku bercanda. Ah, ini kado untukmu. Jangan dilihat harganya, tapi keikhlasannya.”
“Memang kamu ikhlas?” tanyaku.
“Tidak, tapi itu murah. Jadi, kuikhlaskan.” jawab Alora seraya tertawa keras. “Dah, aku mau pulang dulu. Ada yang harus kusiapkan.”
“Apa itu?”
“Rahasia.” Ia berjalan keluar rumah dan menghilang dari penglihatanku. Hm, aku ingin tahu apa yang sebenarnya ia siapkan. Namun, tidak mungkin aku meninggalkan pesta ini.
Dua jam pun berlalu dan pesta ulang tahunku sudah terlaksana dengan sangat meriah. Meniup lilin, memotong kue, bahkan memberikan kue pun aku mendapat banyak sorakan. Sekarang aku ditemani oleh Kakak untuk membuka kado di ruang tamu―kadonya banyak sekali sampai kamar tidurku terlihat sesak.
Satu per satu kado sudah kubuka. Sebuah boneka, seperangkat alat tulis, bahkan dua buah sabun pun dibungkus dengan sangat rapi dalam kertas kado mengkilap dan sepertinya mahal. Kakak tertawa sangat lantang saat melihat mukaku yang tertekuk.
“Dik, mungkin kertas kadonya lebih mahal dari kedua sabun itu. Hm, mungkin saja orang itu menyuruhmu untuk mandi setiap saat.” Ucapan itu membuatku merenung sebentar, karena tidak ada yang tahu aibku ini. Eh, ada satu orang.
Saat hendak membuka kado lainnya, Kakak tiba-tiba menghentikanku. “Dik, coba lihat sela-sela kedua sabun itu. Kakak seperti melihat sesuatu,” ujarnya.
Aku pun mengangguk dan melepas kedua sabun itu yang dililit oleh selotip. Saat keduanya terlepas, aku melihat sebuah kertas berbentuk persegi panjang dengan angka yang berjejer. Aku mengambil dan menatap benda itu lama.
“Ti-tiket kereta api? Kak, ini beneran?” tanyaku. Kakak pun mengambil tiket itu dan melihatnya dari segala sisi, lalu ia kembalikan lagi ke tanganku.
“Itu asli, Dik. Mungkin ada yang mengajakmu pergi berlibur, daripada no life di kasur,” ujar Kakak. Aku melihat Kakak dengan tatapan yang sama persis dengan Alora dua jam yang lalu. Respon Kakak pun sama seperti Alora―terkekeh.
“Hm, Oke. Adik mau siap-siap dulu, deh. Di tiketnya udah ada jadwal berangkat.” Aku meninggalkan Kakak yang asik membuka kado―padahal itu adalah kadoku―dan menuju ke kamar untuk menyiapkan apa saja yang dibutuhkan besok.
🔪🔪🔪🔪
Surabaya, 28 Juli 2019
10.00 WIB“Jaga diri baik-baik ya, Dik. Kakak gak nemenin, lho.” Kakak memelukku erat sampai aku tak bisa bernapas. Setelah itu, aku masuk dalam gerbong kereta api dan melambaikan tangan kepada Kakak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpenku
Short StoryDari sini, aku bisa berkomunikasi langsung secara tersirat tanpa harus melihat raut wajah manusia. Jika kalian suka, boleh tinggalkan sesuatu untukku? Hanya itu dukungan yang aku mau untuk terus menjalani hidup dan berkarya. Cerita di dalam sini se...