Salju Tanpa Arti

259 12 1
                                    

“Aku yang terlalu berharap? Atau, kamu selalu memberiku harapan yang tak pasti? Jika begini, siapa yang patut disalahkan?”

❄❄❄❄❄

       Kota Paris, kota dengan kemegahan dan kecerahannya yang mampu membius turis, sepertiku. Kota ini juga dijuluki dengan kota paling romantis, aku pun tak tahu mengapa.

        Ini adalah hari pertama aku menginjakkan kaki di kota ini, menikmati musim salju yang mengguyur Kota Paris dan memulai hidup baru sebagai mahasiswi.

        Setelah belajar dengan keras untuk mendapat beasiswa, akhirnya aku bisa terbang ke kota impianku. Sebentar lagi, Menara Eiffel akan ada di depan mataku.

        “Menara Eiffelnya telah sampai, Nona,” ujar sopir taksi membuyarkan lamunanku. Segera aku memberikan uang lembaran dan tak lupa untuk berterima kasih.

        “Menara Eiffelnya benar-benar di depan mataku, ini sungguh keajaiban,” ujarku dengan mata berbinar-binar. Aku mengambil foto dan mulai ber-selfie sepuasnya.

        Asap yang keluar melalui mulut ranumku menandakan bahwa cuacanya memang sangat dingin. Butir-butir salju pun turun perlahan, memperlihatkan betapa dinginnya malam itu. Jika begini, hanya coklat panas yang bisa menemaniku.

        “Aku harus pulang sekarang dan membuat coklat panas,” gumamku seraya pergi menjauhi menara itu.

❄❄❄❄❄

        Pagi hari mulai terlihat, suhu dingin mulai terasa, namun perapian membuat tubuhku tetap dalam suhu stabil.

        Aku mulai membuka selimut dan mengucek mataku perlahan. Setelah itu, aku berjalan menuju kamar mandi dan mengisi bathtub dengan air hangat.

        Setelah mandi, aku sarapan seadanya, yaitu roti dengan selai stroberi dan segelas coklat panas.

        “Aku siap pergi ke kampus,” batinku.

        Aku yang sudah berpenampilan rapi ini akan berjalan menuju kampus impian. Tak lupa dengan syal, sarung tangan dan topi rajut, aku keluar apartemen dan menyapa hari yang indah ini.

        Jarak antara apartemen dan kampus tempat belajarku hanya satu setengah kilometer saja, jadi aku hanya berjalan kaki sebagai sarana pulang-pergi.

        Setelah sampai, aku menampakkan kaki ke kampus besar ini. Benar-benar seperti mimpi. Bukan. Ini memang mimpi. Dan aku akan membangunkannya.

        Kucubit punggung tanganku. Sakit. Berarti memang bukan mimpi. Aku menangis dalam hati. Terharu. Senang. Bahagia. Ini sudah diluar akalku.

        “Nona, kau kenapa?” Seseorang dari belakang mengagetkanku.

        Aku sudah tak bisa berkata-kata lagi. Tubuhku mematung karena aksi terlalu senangku dilihat oleh orang itu.

        “Aku sedang berbicara dengan orang, kan?” tanya pria itu lagi.

        “Ahh, iya, kau kira aku apa,” gerutuku dan dia hanya tertawa. Ck, menyebalkan.

Kumpulan CerpenkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang