Sebuah cerita klasik yang menurutku seru. Di mana sebuah kegelapan …, ditutup dengan teriakan dan terangnya malam hari.
- Bagas -
*****
(1/2)
Jam dinding menunjukkan pukul delapan malam. Namun, suara keras yang berasal dari salah satu lapangan di Surabaya masih terdengar. Konser besar-besaran dengan ribuan—mungkin puluhan ribu—penonton yang berteriak sangat nyaring terdengar di telinga seorang pemuda.Ia tidak berada di jajaran para penonton, televisi rumah sementaranya yang menyajikan kejadian itu secara langsung. Ia duduk di pojok ruangan sembari melihat televisi yang tidak jauh dari dirinya, tertempel di sudut atas ruangan.
“Ayu! Cantik banget!” Seorang teman satu kamarnya berteriak melihat seorang wanita cantik bernyanyi dalam siaran tersebut. Pemuda itu hanya tersenyum dengan kelakuan temannya dan hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.
Saat lagu yang dinyanyikan wanita itu selesai, ia segera pergi dari panggung. Sesuatu tampak sedang terjadi, tetapi lebih mengejutkan lagi saat penyanyi cantik itu disorot sedang berjalan … di tempat yang ia kenal
*****
“Bagas! Bangun!” Kepekaan telinga Bagas membuat dirinya bangun dengan nyawa yang langsung lengkap. Ia membereskan isi kasur secepatnya dan mengambil handuk untuk mandi.
Air dingin kala itu membuat Bagas tidak ingin berlama-lama di kamar mandi. Lima menit adalah waktu yang dilakukan bagas untuk “mandi cepat yang penting bersih”. Ia pun mengganti pakaian dengan warna putih, celana panjang berwarna hitam, dan sedikit wangi-wangian.
“Bagas! Ayo sarapan!” teriak ibunya.
Identitas diri yang sudah ia kalungkan di leher adalah sentuhan terakhir dari atribut untuk Bagas bekerja. Sekarang ia sudah berada di meja makan dan mata mahoni itu menatap roti bakar dengan selai stroberi—aku tidak bisa menyebutkan merek apa itu—yang menggoda nafsu makannya.
“Ibu memang terbaik!” Bagas memakan roti itu dengan lahap. Ia sangat menyukai roti bakar, apalagi jika sang ibunda tercinta yang membuatnya.
“Ibu tidak akan melihatmu sampai tur konser selesai, Nak.” Bagas berhenti melakukan aktivitasnya saat mendengar kata-kata yang keluar dari mulut sang ibu. Ia menaruh roti bakar itu ke piring dan langsung menghampiri ibundanya untuk dipeluk.
Ibunya pun melihat identitas diri Bagas yang tergantung sampai dada, menciumnya sejenak, lalu mencium pipi putranya. Ia tidak kuasa menangis, melihat seorang anak semata wayangnya akan pergi untuk bekerja selama beberapa bulan.
“Jangan lupa bawa tanda tangan Ayu untuk ibu.” Suasana yang semula penuh haru tiba-tiba hancur. Bagas hanya memutar bola matanya malas lalu menganggukkan kepala, setuju dengan keinginan sang ibu.
“Kalau bisa bawa anak itu ke sini. Akan Ibu restui.”
“Jangan berharap, Bu. Bagas hanya koki di sana. Jadi, bertemu dengan Ayu itu hampir mustahil.” Bagas terkekeh pelan. Sudah lama ibundanya menyukai Ayu, lebih tepatnya saat gadis itu sukses dari masalah yang dulu sempat viral di media sosial.
“Aku berangkat dulu, Bu.” Bagas berpamitan dengan ibunya dan mengambil koper yang sudah disiapkan kemarin untuk ikut tur konser. Sang ibu hanya bisa mengantarkan anaknya itu sampai ke depan rumah.
Mobil pegawai pun tiba beberapa menit kemudian. Setelah menaruh koper di bagasi mobil, Bagas kembali ke rumah untuk memeluk sang ibu erat-erat.
“Bagas akan kembali secepatnya, Bu. Itu janji Bagas.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpenku
Short StoryDari sini, aku bisa berkomunikasi langsung secara tersirat tanpa harus melihat raut wajah manusia. Jika kalian suka, boleh tinggalkan sesuatu untukku? Hanya itu dukungan yang aku mau untuk terus menjalani hidup dan berkarya. Cerita di dalam sini se...