12 Juli 2019
Pukul 07.30 WIB“Kakak, bangun. Kakak tidak kuliah?” Seorang remaja SMA menggedor-gedor pintu kamar kakaknya dengan kencang, membuat sang kakak terbangun dengan rambut acak-acakan layaknya hantu pinggir jalan.
“Kakak sudah liburan semester. Kamu mau berangkat sekolah?” tanya sang gadis, kakak dari remaja SMA itu.
“Iya, Kak. Kalau begitu, Momo berangkat sekolah dulu.” Remaja bernama Momo itu meninggalkan kakaknya sendirian di rumah. Ayah dan ibu mereka sudah berangkat mencari nafkah saat fajar.
Sang gadis itu berdiri, mengambil gawainya, lalu beranjak menuju meja makan. Ia memakan apa yang sudah dimasakkan pembantunya pagi tadi. Hari pertama liburan semester membuatnya tidak bisa berpikir ingin pergi ke mana.
Tiba-tiba sebuah gawai bergetar di sampingnya. Ia langsung melihat siapa yang menelepon.
“Bambang?” Hatinya berbunga. Tubuhnya tiba-tiba bersemangat. Dia sedang bahagia. Bagaimana tidak? Nama orang yang ia sukai terpampang jelas dengan 2 tombol merah dan hijau di layar gawainya. Ia pun menekan tombol hijau dan menempelkan gawainya ke telinga kanan.
“Halo, Sayang? Aku bosan di rumah, bisakah kita pergi ke suatu tempat?” tanya Bambang di balik layar gawai sang gadis. Navisya hanya tersenyum tipis dan mengiyakan ajakan Bambang. Ia terkenal dengan sifat dinginnya di kampus. Jadi, ia tak bisa mengatakan banyak kata dalam satu kalimat.
“Oke, 30 menit lagi aku sudah sampai.” Bambang pun menutup percakapan mereka. Dengan cepat, Navisya bersiap-siap untuk pergi bersama orang yang ia sayang.
Tiga puluh menit sudah terkikis, tetapi tidak ada tanda-tanda Bambang menyusul dirinya. Semakin cemas, ia pun menelepon kembali, tetapi tak ada balasan.
“Kenapa tidak diangkat, ya? Apa dia lupa?” tanyaku dalam hati. Ia pun menunggu sebentar lagi dengan harapan dan keinginan yang besar. Namun, harapannya tak terpenuhi. Ia pun menyerah dan masuk ke dalam.
“Navisya, kamu menunggu siapa?” Navisya menghentikan langkahnya untuk masuk ke dalam dan membalikkan badan. Setelah itu, ia menemukan pemuda tampan yang dikenalinya.
“Valdo, kenapa di sini?” tanya Navisya
“Aku melihatmu sendirian di depan rumah, seperti menunggu sesuatu. Saat aku mendekatimu, malah ingin masuk ke dalam rumah.” Valdo terkekeh. Di sisi lain, Navisya menyembunyikan rasa malunya sebisa mungkin.
“Kenapa?” Navisya bertanya dengan nada dingin yang menjadi ciri khasnya. Tanpa berlama-lama, Valdo menarik tangan dan menyuruh Navisya naik ke motornya.
“Ish, jangan asal tarik-tarik. Aku nggak suka. Satu lagi, jangan sok dekat denganku.” Navisya melepaskan genggaman tangan Valdo dan beranjak masuk ke dalam rumah. Ia dalam kondisi hati yang tidak memungkinkan untuk diajak pergi bersenang-senang.
“Menunggu Bambang?” Pertanyaan itu membuat Navisya berhenti. Bagaimana Valdo tahu jika ia menunggu Bambang?
“Dia sedang bersenang-senang, tapi bukan denganmu.” Jleb, hati Navisya seperti ditusuk 100 jarum. Ia bukan orang yang mudah percaya, tetapi hatinya mengatakan lain.
“Tidak, Bambang bukan lelaki seperti itu.” Navisya meyakinkan dirinya sendiri. Namun, hati kecilnya menentang semua yang Navisya bicarakan. Dia memang sudah lama terjebak friendzone, tetapi Bambang selalu memberikan harapan untuk Navisya agar terus mencintainya.
“Kenapa kamu tiba-tiba mengatakan seperti itu?” tanya Navisya dengan raut wajah penuh kebencian. Valdo pasti mengatakan hal yang sebenarnya tidak terjadi, pikir Navisya.
“Satu kampus sudah tahu jika kau menyukai Bambang. Namun, apa kau benar-benar dicintai?” Pertanyaan itu membuat Navisya sakit hati. Bukan hanya jarum, tetapi beribu pisau menancap di hatinya. Sakit, perih, tetapi sama sekali tidak menimbulkan luka fisik.
“Andai kau merasakan apa yang ada di hatiku sekarang. Mungkin kauakan bunuh diri hari ini juga. Ayo, ikut aku.” Dengan enggan. Navisya menuruti kemauan Valdo seraya berpikir kalimat terakhir yang ia ucapkan. “Apa yang Valdo rasakan?”
Mereka pun berangkat ke sebuah mal di kota Surabaya. Hari sudah siang. Matahari berada di atas kepala membuat rambut seperti terbakar. Namun, Navisya dan Valdo sudah berada di dalam mal dan mulai berjalan-jalan mengitari gedung setinggi 4 lantai tersebut.
Sampai di lantai paling atas, Valdo menawari Navisya untuk pergi ke bioskop. Navisya yang suasana hatinya sedang jelek hanya bisa mengangguk dan menuruti ajakan Valdo. Dia berjalan dengan gontai menuju tempat pembelian tiket bioskop. Sebenarnya Navisya di sini bersama Bambang, bukan dengan lelaki yang selama ini ia anggap nakal. Navisya memang tidak kenal dekat dengan Valdo, tetapi ia sedikit tahu tentang lelaki itu.
Setelah membeli tiket, mereka pergi menuju studio sesuai tiket bioskop. Hal pertama yang Navisya lihat setelah memasuki studio itu adalah seseorang lelaki yang benar-benar ia kenal dari ujung rambut sampai kaki, Bambang. Namun, ia tidak sendirian.
“Ci-cindy?” tanyanya dalam hati. Seketika hati Navisya remuk dan hancur berkeping-keping. Ia sudah tak ada tenaga lagi untuk berjalan dan berpegangan pada pundak Valdo. Valdo terkejut dan melihat ke arah Navisya. Saat sorot mata Navisya diikuti oleh Valdo, ia langsung tersenyum dan menggenggam erat tangan Navisya.
“Masih ingin di sini atau keluar?” tawarnya.
“A-aku ingin pergi.” Wajah Navisya pucat. Ia sudah tak ingin melihat mereka lebih lama lagi, sedangkan Valdo masih tersenyum kecut dan membawa Navisya keluar studio bioskop.
🌼🌼🌼🌼
Kejadian kemarin membuat Navisya selalu menghindari Bambang beberapa minggu ini. Ia lebih memilih untuk berada di pendapa yang sepi, seperti sekarang. Navisya mencoba untuk menerima Bambang sebagai teman tanpa ada rasa ingin memiliki. Namun, hal itu rasanya mustahil.
“Sendirian aja, nih. Mau ditemenin?” Suara orang yang tidak ingin Navisya dengar pun membuyarkan lamunannya. Navisya menoleh dan melihat Bambang sedang tersenyum.
“Maaf, aku akan pulang. Permisi,” ujarnya dengan terburu-buru untuk segera pergi dari pendapa itu.
“Terus saja menjauhiku. Memang aku salah apa?” tanya Bambang. Mendengar pertanyaan itu, Navisya membalikkan badan dan menatap Bambang dengan geram.
“Bukan salahmu, tapi salahku. Aku seharusnya tidak terlalu baper dengan semuanya. Tidak terlalu suka dengan semua yang kau beri padaku. Kalau kenyataannya begini, lebih baik kau tidak usah membuatku sakit. Kau bilang sayang? Hahaha, omong kosong. Kau tak pernah sayang padaku.” Navisya langsung pergi sebelum melepaskan butiran air mata di depan Bambang. Ia sudah tak sanggup lagi untuk berbicara lebih lama.
Ia berlari menuju kelas Valdo. Setelah sampai di depan pintu, ia langsung sadar dan bersembunyi di sebelah kelas Valdo. sekilas Navisya melihat Valdo dan Cindy sedang berbincang-bincang serius. Suara mereka terdengar samar-samar di dalam telinga Navisya.
“Val, aku mau kita putus. Aku sudah menemukan cowok yang lebih baik darimu.”
“Maksudmu, Bambang?”
Deg ....
Jantung Navisya seperti tak berdetak lagi. Ia baru tahu, bahwa Cindy adalah kekasih Valdo. Saat itu pula Navisya sadar dengan perkataan Valdo, bahwa ia jauh lebih sakit.
“Oh, sudah tahu, ya. Oke, aku pulang dulu. Bambang sudah menungguku di pendapa.” Navisya bersembunyi saat Cindy keluar dari kelas Valdo. Ia enggan untuk menemui Valdo sekarang dan melihatnya dari luar kelas.
Navisya melihat Valdo mengeluarkan butiran air mata. Air mata Valdo semakin banyak dan memilih untuk menutupinya dengan tangan. Navisya tahu itu sakit, bahkan sangat sakit. Namun, ia hanya bisa menangis di luar kelas.
Ya, mereka berdua menangis. Mereka berdua memiliki nasib yang sama. Sama-sama ditinggal oleh orang yang mereka sayang. Sama-sama memiliki suasana hati buruk saat ini. Sama-sama menangis di bawah langit senja yang merasakan sakit mereka. Namun, mereka tahu, hidup masih terus berlanjut.
🌼🌼🌼🌼
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpenku
Cerita PendekDari sini, aku bisa berkomunikasi langsung secara tersirat tanpa harus melihat raut wajah manusia. Jika kalian suka, boleh tinggalkan sesuatu untukku? Hanya itu dukungan yang aku mau untuk terus menjalani hidup dan berkarya. Cerita di dalam sini se...