Antara Aku, Dia, dan Mereka

25 4 0
                                    

tєrkαdαng, σrαng tuαlαh чαng mєmвuαt jíwα, rαgα, dαn mímpí mєnjαdí hαncur tαk вєrsísα.

- мσмσ -

*****

Panas dan terik dari cahaya matahari sampai ke dalam kulit seorang anak kecil yang berjalan menuju gubuk kecil di sebuah kota yang cukup padat. Suhu menunjukkan angka 35 derajat celsius, cukup tinggi untuk anak seusianya.

Namun, pigmen dalam tubuhnya yang melampaui batas membuat anak itu hanya merasa gerah tanpa rasa terbakar. Sampailah ia di gubuk kacil yang ditinggali bersama orang tua dan kedua saudara kandung.

“Assalamualaikum.” Tidak ada sautan. Semuanya tengah menjalani kesibukan. Ayah dan ibunya bekerja, kakak perempuannya sekolah, dan adik laki-lakinya dititipkan kepada saudara.

Sang anak kecil pun menuju kamar satu-satunya di gubuk kecil itu dan berpakaian layaknya anak kecil pada umumnya. Setelah itu, ia membawa satu karung goni dengan tiga kilogram sebagai tara. Tak hanya itu, ia juga membawa sebuah senjata mirip tombak yang dipakai untuk menggais dan mengambil “uang” tanpa menggunakan tangan.

Anak polos itu selanjutnya berganti peran menjadi orang dewasa yang bisa mendapat uang untuk kebutuhan sehari-hari. Mengapa begitu? Jawabannya ada di dalam cerita ini.

“Ew, anak kesayangan guru-guru di sekolah kita ternyata hanya pemulung.” Anak itu merasa terpanggil dan menoleh ke sumber suara. Dilihatnya dengan mata kepala sendiri bahwa orang yang memanggil adalah teman sekelasnya.

“Foto, kuy. Bisa viral di sekolah, nih.” Gadis kecil di sebelah anak itu ikut membakar api kejahatan. Tanpa pikir panjang, kedua anak kecil itu mengeluarkan iOS terbaru mereka dan memotret pemulung cilik tanpa belas kasih.

“Hentikan ini semua. Tolong, jangan membuatku menjadi aneh di mata teman-teman yang lain. Memang apa salahku kepada kalian?” tanyanya polos seraya melihat kedua teman kelasnya. Namun, tatapan itu disambut dengan kekehan jahat mereka.

“Salahmu pada kami? Muka busukmu itu berhasil membuat kami selalu dibandingan dengan pemulung. Hahaha.” Mereka berakhir dengan tertawa keras. Saat orang lain melihat, mereka pasti.   mengira ada tiga anak sekolah dasar yang sedang bermain bersama dengan sedikit unsur bercanda. Namun, kenyataan berbicara lain.

“Ah, kamu tidak ingin ini terekspos ke sekolah, ‘kan?” Pemulung kecil itu mengangguk saat sang gadis kecil memperlihatkan foto-foto kumuhnya.

“Kamu harus mau kami suruh-suruh. Mudah, ‘kan? Tenang saja, kami akan gaji berupa sisa makanan.” Mereka kembali tertawa dan puas merendahkan anak kesayangan guru-guru. Tanpa basa-basi, pemulung kecil itu mengangguk.

“Bagus. Kamu boleh kerja besok. Ingat, jangan lapor siapa pun atau kamu mendapat balasan yang setimpal.” Mereka pergi dengan menunjukkan cengiran mengejek. Pemulung kecil itu mengembuskan napas, mungkin inilah takdir. Ia hanya bisa berjalan gontai dan pulang menuju gubuk tua membawa satu karung goni yang cukup banyak plastik di dalamnya.

*****

“Assalamualaikum.” Pukul 19.00 WIB, pemulung kecil itu baru saja pulang dari kegiatan rutin untuk bertahan hidup. Uang sejumlah 30.000 rupiah berhasil diambil alih ke genggamannya. Namun, uang hasil banting tulang pemulung kecil itu langsung diambil oleh sang ibu.

“Bagus. Kamu bekerja lebih giat,” ujar beliau seraya menaruh uang itu dalam saku celananya. Pemulung kecil itu tidak menerima, juga tidak menolak. Ia pun melihat wadah nasi dan piring yang telah kosong. Ah, dia tidak mendapat jatah makan malam lagi. Dengan senyuman, ia pun beranjak keluar rumah dan sampai di kasur lusuh yang berada tepat samping rumahnya.

Kumpulan CerpenkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang