“Rey, bangun. Kamu dilihatin Bu Arum, loh.” Suara lembut itu membangunkanku. Namun, pernyataannya membuatku terkejut dan bangun dengan cepat.
“Sudah sampai mana, Rey?” tanya Bu Arum. Aku hanya tertawa canggung dan pura-pura mencatat. Huft, aku terlalu antusias untuk mengikuti study tour sampai tak bisa tidur nyentak. Aku melihat jam dinding, pukul 8. Kurang 10 menit dan aku akan berangkat ke Tugu Pahlawan.
“Sampai sini dulu pelajaran pada hari ini. Selamat pagi,” ujar Bu Arum. Setelah menyalami beliau, aku langsung membereskan buku yang berserakan di mejaku, lalu bergerak menuju lapangan.
“Rey, kenapa Bu Arum tidak memarahimu? Apa jurus yang kamu pakai?” tanya Dira―teman yang tadi membangunkanku. Aku hanya bisa terkekeh kecil dan berjalan beriringan dengannya.
“Mungkin, karena aku ... pintar?” Aku terkekeh lagi. Setelah itu, sebuah tangan menempelengku kuat. Aku hanya mengadu kesakitan dan menoleh ke belakang. Alora dengan cengirannya berhasil membuatku sedikit malas. Inginku balas tempelengannya, tetapi aku yakin pasti kalah. Bagaimana tidak? Tubuh besar dan tambunnya membuatku ngeri untuk melawan.
“Kau senang, ‘kan?” tanya Alora. Aku hanya tertawa dan berlari ke lapangan dengan cepat.
“Hoy! tungguin!” seru Alora dan berlari ke arahku. Dira hanya melihat kami kejar-kejaran dan ikut berlari. Hah, seperti anak kecil saja, tetapi ini sangat seru dan menyenangkan. Ternyata, bahagia itu memang sederhana.
🇲🇨🇲🇨🇲🇨🇲🇨🇲🇨
“Rey, udah sampe, nih.” Suara Dira yang halus lagi-lagi membangunkan mimpi indahku. Ah, Tugu Pahlawan sudah ada di depan mataku sekarang.
Setelah bus selesai diparkirkan, aku dan kedua temanku berlari menuju pintu masuk Tugu Pahlawan. Suasana perang pun mulai memasuki tubuhku. Sebenarnya aku tidak menyukai seluk beluk peperangan, tetapi berusaha untuk memahaminya. Setidaknya inilah caraku untuk mengenang pahlawan.
Setelah berkumpul dan mendapat pengarahan, kami diperintahkan untuk memasuki area Tugu Pahlawan. Pertama kali masuk, kami disambut oleh patung Bung Tomo―pahlawan utama saat 10 November. Beliau adalah salah satu panutan dan motivasiku untuk mau belajar tentang sejarah.
“Lora, Dira, kita foto-foto dulu di sini.” Aku menarik lengan mereka berdua dan berfoto ria. Selesai berfoto, kami langsung berlari di lapangan yang luas dengan alas rumput-rumput liar yang pendek seraya menunggu museum dan bioskop dibuka.
“Rey! Lora! Dira! Museumnya sudah dibuka, nih!” teriak teman satu bus kami.
“Horeee!!” Entah kenapa, aku merasa benar-benar bahagia. Akhirnya aku bisa belajar sejarah tanpa ada rasa bosan.
🇲🇨🇲🇨🇲🇨🇲🇨🇲🇨
“Eh, tadi kamu paham, Rey?” tanya Dira. Aku hanya menggeleng dan menekuk wajah. Huh, ternyata realita tidak sesuai dengan ekspetasi.
Saat berjalan-jalan di museum, pemandu museum menjelaskan semua secara detail, mulai dari alat tempur hingga bumbu dapur sekalipun. Namun, aku tak bisa melihat barang-barang itu. Teman-teman seangkatanku memiliki tinggi 170-an sentimeter dan itu membuatku kehilangan pandangan ke depan.
“Tenang saja, Rey. Tinggimu memang kurang, tapi jangan sampai surut dong untuk belajar. Ah, kita ke bioskop saja.” Ucapan Lora membuatku semangat kembali. kami langsung mengikuti petunjuk yang tertempel di tembok dan sampailah pada ruangan kecil yang muat sekitar 20-an orang.
“Ini benar tempatnya? Kok, sepi?” tanyaku.
“Iya, ini tempatnya. Kalian boleh masuk dan menonton Tragedi 10 November.” Kami terkejut dengan suara yang tiba-tiba terdengar itu. Saat kami menoleh ke arah suara, ternyata hanya pemandu museum. Kami menurutinya dan masuk ke dalam bioskop. Lampu pun diredupkan dan kami benar-benar bertiga di sini.
“Tutuplah mata kalian dan cobalah untuk masuk ke dalam peperangan itu.” Lagi-lagi kami menuruti perintah pemandu museum dan menutup mata. Setelah semuanya gelap, aku hanya bisa mendengarkan suara tembakan.
🇲🇨🇲🇨🇲🇨🇲🇨🇲🇨
“Hey, Nak. Apa kamu baik-baik saja?” Aku terbangun dari tanah dan melihat sekitar. Di mana aku? Ada apa dengan Surabaya? Aku juga tidak tahu darimana pemuda di depanku ini datang. Perasaan tadi aku berada di bioskop, lalu kenapa aku di sini?
“Halo? Kamu tampak kebingungan. Aku akan membawamu ke rumahku. Di sini tidak aman.” Aku masih berpikir kuat untuk menemukan jawaban. Sedetik kemudian, aku telah menemukan jawabannya. Kemarin aku sempat melihat buku dan mengerti situasi ini. Ya, akan ada seseorang yang menyemangati pemuda-pemuda Surabaya untuk melawan belanda.
“Aku mau ikut denganmu. Tenanglah, aku baik-baik saja,” ujarku seraya tersenyum. Pria itu membantuku berdiri dan langsung berlari ke arah Hotel Yamato. Aku pun menyusulnya dari belakang.
Setelah sampai, aku melihat tokoh panutanku sedang berada di atas mobil dan hendak mengatakan sesuatu. Wajah, gestur tubuh, dan semuanya benar-benar seperti di buku. Aku melihatnya dengan mata kepala sendiri beliau sedang menyampaikan pidatonya. Bunyinya pun sama seperti di buku.
Aku hanya ingat Bung Tomo mengatakan ini, “Merdeka atau Mati!”
Saat semboyan itu dikumandangkan saat ini, para pemuda Surabaya bersemangat dan antusias untuk menumpas kejahatan sekutu. Jujur, ini adalah titik terendah dalam diriku. Aku menangis dan menjatuhkan tubuh ke tanah. Aku tidak menghargai para pahlawan pengabdi negara. Aku bahkan tidak mengetahui situasi panas dan mencekam ini.
“Kau tidak baik-baik saja. Aku akan membawamu ke rumahku.” Pria itu mengampiriku dan menggendongku di punggungnya.
“Ah, terima kasih banyak,” ujarku. Ia menggendongku sampai ke gubuk kecil dengan anyaman bambu sebagai temboknya. Mungkin ini rumahnya, pikirku. Ia pun memasuki gubuk itu dan membaringkanku di kasur.
“Tidurlah, aku akan kembali ke medan perang,” ujarnya.
“Ah, aku juga ikut.”
“Tidak boleh. Kamu harus tetap menjaga keutuhan Indonesia.” Hah? Aku tidak tahu apa yang pria itu maksud.
“Jagalah Indonesia. Jangan sampai mereka merebutnya kembali.” Ucapan itu membuatku sedikit sadar, bahwa ia mengenalku. Aku pun mengikuti perintahnya dan berusaha untuk tertidur.
“Tanah Air ini ada di tanganmu, Rey.” Setelah ucapan itu, semua kembali seperti semula dan layar bioskop sudah hitam. Ah, aku belum sempat mengenalnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/162425620-288-k586962.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpenku
Short StoryDari sini, aku bisa berkomunikasi langsung secara tersirat tanpa harus melihat raut wajah manusia. Jika kalian suka, boleh tinggalkan sesuatu untukku? Hanya itu dukungan yang aku mau untuk terus menjalani hidup dan berkarya. Cerita di dalam sini se...