Apa kalian sering mendengar, bahwa pulang malam berpotensi untuk diculik makhluk halus? Jika pernah, kalian pasti berpikir, apa itu benar? Atau itu hanya ucapan orang tua agar kita tidak pulang terlalu malam?
Jika kalian menganggap itu lelucon, kalian salah besar. Itu bukan hanya untuk menakut-nakuti bocah di bawah umur, namun remaja sepertiku juga bisa ketakutan.
Awalnya, aku hanya menganggap perkataan itu hanya sebuah lelucon untuk remaja belasan tahun, namun suatu kejadian membuatku sadar, bahwa tidak semua lelucon itu bisa membuat kita tertawa.
🌕🌚🌕🌚🌕🌚🌕
🌁 Sabtu, 13 Januari 2018
🕓 Pukul 16.00 WIB“Ma, Ony main dulu, ya,” ujarku berpamitan kepada mama.
“Jangan pulang petang hari, ya. Sebelum Adzan Magrib segera pulang. Nanti kamu diculik hantu terus dijadiin anaknya, mau?” Mama memang senang sekali membuat lelucon itu. Aku ingin menertawakan kata-kata mama barusan, namun aku tidak setega itu.
“Ma, aku bukan anak kecil yang gampang dibodohi. Aku sudah besar. Ada-ada saja mama ini,” ujarku seraya menggeleng-gelengkan kepala. Mama memang tak pernah melihatku sebagai pemuda yang sudah tumbuh. Di mata mama, aku adalah anak kecil yang masih digendong. Hah, malas mempermasalahkan hal itu. Terserah mama menganggapku apa.
Tanpa menunggu jawaban mama―karena sudah dipastikan akan menjurus ke hal mistis, aku melangkahkan kaki keluar dari rumah kecilku dan mengambil sepeda gunung yang terpakir manis di sebelah rumah. Kukayuh sepeda itu menuju lapangan, tempat teman-temanku menunggu.
🌕🌚🌕🌚🌕🌚🌕
🕓Pukul 16.15 WIB
“Lama sekali sih, Ony. Aku kan udah gak sabar main petak umpet,” ujar Hendy, teman yang paling dekat diantara yang lain.
“Maaf teman-teman, aku terlambat. Maklum, rumahku paling jauh diantara kalian,” jawabku.
Tak perlu berlama-lama, kita berenam mulai bermain petak umpet. Aku sebagai penjaga dan kelima temanku yang bersembunyi. Kuhitung mundur dari sepuluh hingga satu.
“Tigaa..., duaa..., satuuu! Cepat atau lambat, aku akan datang,” ujarku untuk membuat mereka yang bersembunyi menjadi sedikit ketakutan.
Karena aku adalah seorang indigo dan bisa mengetahui keberadaan mereka hanya dari aura yang terpancar, aku bisa menemukan Erend, Cla, Bintang, Aloe, dan Lucy dengan sangat mudah.
“Tinggal Hendy saja. Dia dimana, aku tak bisa melihat auranya,” batinku.
Tak berapa lama, netra tajamku melihat sesuatu yang sangat tidak wajar di zaman milenial ini. Aku melihat bangunan besar, bukan hotel maupun gedung pencakar langit. Bangunan itu ada pada zaman dulu, ya, sebuah kerajaan berdiri kokoh di tengah rimbunnya pohon yang ada di sebelah lapangan tempatku bermain.
Perlu diketahui, lapangan dekat rumahku memiliki sebuah hutan di sebelahnya. Hutan itu memang cantik jika dilihat pada siang hari, namun berbeda jika di sore dan malam hari. Apalagi dengan adanya kerajaan yang membuat bulu kudukku merinding. Sejak kapan ada bangunan itu disana?
“Hendy, tidak mungkin disitu. Dia kan sudah bilang kalau takut masuk hutan,” ujar Erend meyakinkanku.
Aku tak sepenuhnya percaya dengan perkataan Erend, karena aura positif yang kutangkap milik seseorang terasa di sini. Aura kuning, itu yang kurasakan. Juga aura negatif yang terpancar, menyelimuti aura cerah itu.
![](https://img.wattpad.com/cover/162425620-288-k586962.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpenku
ContoDari sini, aku bisa berkomunikasi langsung secara tersirat tanpa harus melihat raut wajah manusia. Jika kalian suka, boleh tinggalkan sesuatu untukku? Hanya itu dukungan yang aku mau untuk terus menjalani hidup dan berkarya. Cerita di dalam sini se...