Kringg ...
Kringg ...
Kringg ...
“HAPPY IMLEK DAY!” Aku berteriak kegirangan dan langsung berlari meninggalkan kamar tidur dalam keadaan yang sangat miris. Aku menuruni tangga dan melihat ayahku sedang memasang lampion berwarna merah di depan rumah.
“Ayah, bolehkan Minji membantu?” tanyaku.
“Tentu saja, Sayangku. Kemarilah,” jawab ayah. Aku memekik kegirangan dan mulai membantu ayah memasangkan lampion disudut-sudut rumah. Tak banyak, hanya lima belas lampion yang kami pasang.
“Sarapan sudah siap.” Ibu memberitahu kami bahwa masakan ibu sudah siap untuk dimakan. Kulangkahkan kaki menuju ruang makan dan menunggu ibu mempersiapkan makanan di meja.
Jeruk, ikan bandeng, nasi merah, dan masih banyak lagi makanan yang sudah di depan mataku. Tak penting aku adalah seorang gadis, aku harus kenyang tanpa adanya kalimat “jaga image”. Toh, aku masih berada di rumah dan belum ada orang yang kesini.
“Bu, Minji mau ke rumah sakit sekarang,” ujarku meminta izin. Ibuku pun mengerti dan mengangguk tanda mengiyakan.
“Maaf, ya, Nak. Ayah dan Ibu tidak bisa menemanimu,” ucap ibu dengan nada bersalah. Aku menggelengkan kepalaku.
“Tidak apa-apa, Bu, Yah. Aku akan memberitahukannya,” ujarku seraya tersenyum manis. Kami berpelukan, menyalurkan rasa kasih dan sayang kami. Sungguh beruntungnya aku dilahirkan dalam keluarga kecil ini.
Selesai makan, aku mulai bersiap-siap ke rumah sakit. Aku sudah tak sabar bertemu dengannya, dengan seseorang yang masih melawan penyakit yang kian menggerogoti tubuh kecilnya. Dialah orang yang kusayang, kucinta, dan akan selalu kujaga.
@@@@@
Matahari telah terlihat sempurna di langit biru. Hawa dingin silih berganti menjadi sejuk, hangat, dan sungguh membuat hatiku nyaman. Karena bosan berada di dalam kamar, sampailah aku di suatu tempat yang mereka sebut dengan taman.
Harum dari bunga membuatku betah berlama-lama di sini. Bunga Camelia, tergolong dalam kategori bunga yang aku sukai. Mahkota dengan warna merah muda berpadu dengan warna kuning di tengahnya.
Aku juga ingin menjadi seperti bunga yang cantik, memiliki kelopak yang indah, dan sedap dipandang banyak orang. Aku mendengus, sepertinya itu tak mungkin kuraih. Mimpiku sudah terlalu sulit untuk digapai.
Daripada larut dalam lamunan negatif, aku tersenyum dan menikmati dunia yang indah ini. Aku mulai berjalan dan menemukan satu bangku yang sangat familiar. Aku tersenyum, itu sudah menjadi kenangan dalam alam bawah sadarku dan selamanya akan tersimpan di situ.
Setelah lima menit berjalan-jalan di taman kecil itu. Aku memutuskan untuk kembali. Aku sudah mulai kelelahan dan segera beristirahat.
Dalam perjalanan, aku merasa ada yang keluar dari kedua lubang hidungku, darah. Segera aku mengeluarkan selembar tisu dan membaginya jadi dua. Lalu, kumasukkan ke dalam kedua lubang hidungku.
Ini sudah biasa jika aku kelelahan, padahal hanya berjalan-jalan sebentar. Kupercepat langkahku untuk kembali. Aku tak mau ini akan menjadi masalah besar. Aku sudah cukup menyusahkan dan aku tak mau lebih menyusahkan.
Setelah sampai, aku masuk ke dalam kamar dan menghempaskan tubuh ini ke kasur yang sangat nyaman. Kubuang tisu yang sudah menyumbat darah yang keluar dari kedua lubang hidungku ini ke tempat sampah.
Aku mengantuk, sangat mengantuk. Kupejamkan mata sipitku sampai tak bisa melihat keadaan sekitar. Hanya sayup-sayup suara tangisan dari orang yang sangat kukenali, kusayangi dan selalu kubanggakan dalam hati.
Orang yang membuatku tegar akan kejamnya dunia. Orang yang selalu melihatku sebagai kelopak bunga yang paling indah. Orang yang menjagaku, meski itu dari dekat ataupun jauh. Ya, orang itu adalah kakak angkatku, Minji.
@@@@@
Musik khas rakyat cina mulai dimainkan. Barongsai pun mulai menari dan beratraksi untuk memukau siapa saja yang melihatnya. Meski hujan turun dengan volume yang sedikit, itu tak membuat pekerjaan mereka terhambat.
Begitupun denganku. Pekerjaanku sekarang hanya menangis dalam kamar, setelah peti adikku ditaruh pada tempat lembab dan sangat dingin. Tanpa udara. Tanpa cahaya.
Tahun baru ini adalah yang paling buruk menurutku. Semua saudara dan kerabatku berduka atas meninggalnya adikku yang masih berusia dua belas tahun itu.
Kenapa semuanya mendadak? Bahkan aku belum mengucapkan selamat tahun baru pada adikku. Aku tak ingin dia pergi secepat ini. Aku masih ingin memeluknya, merasakan tangan dinginnya, dan selalu menguatkannya.
Aku tak percaya dia akan meninggalkanku. Aku memang tak memiliki hubungan darah dengannya, namun rasa sayang ini melebihi dari segalanya.
Aku masih ingat pertama bertemu dengan dia, lima tahun lalu. Dimana dia masih berumur tujuh tahun dan aku berumur sebelas tahun. Dimana dia nampak kesepian di bangku taman kecil di sebelah rumah sakit. Aku melihatnya merengkuh kesakitan dan memegang kepalanya.
Dengan rasa iba, aku mendekatinya dan memeluknya tanpa ragu. Ia akhirnya pingsan di pelukanku.
Tanpa pikir panjang, aku menggedongnya dan membawanya menuju rumah. Sesampainya di rumah, ayah dan ibuku kebingungan.
Setelah menceritakan kejadian yang kualami, ayah dan ibu akhirnya mengerti. Ia pun dibawa menuju rumah sakit.
Orang tuaku mengurus segala sesuatu agar ia menjadi adikku. Pada tanggal 5 Februari 2018, ia telah resmi menjadi adikku.
Hal yang tak ingin kudengar dari dokter pun terjadi, bahwa adikku mengalami kanker otak dan sudah mencapai stadium III. Hatiku hancur berkeping-keping. Mataku sudah berkaca-kaca, siap untuk menumpahkan rasa sakitnya.
“Tidak, aku tidak boleh begini. Aku harus bisa menyemangati adikku, bagaimanapun caranya,” batinku. Aku mengangguk samar, menyatakan bahwa aku harus bisa membuat adikku sembuh. Akan tetapi, itu semua hanya mitos.
Adikku telah tenang di alam sana. Ia telah memiliki penjaga baru di surga. Aku disini hanya bisa merasakan sakit. Hanya bisa menangis dan meratapi takdir bahwa aku harus kehilangannya.
Sayup-sayup aku merasakan hembusan angin yang sangat sejuk melewatiku. Angin itu bukan hanya melewati, dia juga membisikkan kata-kata yang ingin ku dengar. Kata-kata yang bisa meluluhkan kerasnya hati ini. Kata-kata itu, aku tahu siapa yang mengatakannya.
Itu bukan angin biasa, angin itu adalah seseorang yang amat kusayangi. Angin itu, adikku yang telah pergi.
“Aku mencintaimu, Kak.”
=== END ===
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpenku
PovídkyDari sini, aku bisa berkomunikasi langsung secara tersirat tanpa harus melihat raut wajah manusia. Jika kalian suka, boleh tinggalkan sesuatu untukku? Hanya itu dukungan yang aku mau untuk terus menjalani hidup dan berkarya. Cerita di dalam sini se...