Aku Tidak Membenci Negeri Ini

35 5 0
                                    

"Hoamm .... Apa ini sudah pagi?" tanyaku pada keheningan dan kegelapan kamar berantakan ini. Sepertinya aku tidur terlalu lama sampai lupa dengan keadaan sekitar. Bagaimana tidak? Saat bermain sepak bola kemarin, aku berlari kencang untuk mengejar bola dan kening manis ini tidak sengaja mencium tiang gawang dengan sangat estetik. Setelah itu, aku tak ingat apapun.

Kulihat jam dinding di tengah ruang tidurku, pukul 4 pagi. Huft, ternyata aku sudah setengah hari tertidur pulas dengan pakaian dan bau yang sama seperti kemarin. Oke, aku harus mandi sekarang. Aku menyalakan lampu meja untuk menerangi ruangan dengan skala kecil, beranjak menuju lemari pakaian dan mengambil seragam sekolah, lalu pergi ke kamar mandi.

Sebelum itu, aku bercermin terlebih dahulu. Memar, itulah yang tampak di kening manisku ini. Mungkin ini sedikit cobaan, pikirku.

Sesi mandi dan berpakaian pun selesai dengan sangat cepat. Sekarang aku beranjak menuju ruang makan dan mulai mencium bau-bau kenikmatan. Ah, rupanya Bi Rumi yang masak. Sebaiknya aku menyapa Bi Rumi yang sudah bangun pagi sekali untuk menyiapkan makanan Keluarga Mikazuki.

"Bi Rumi ...."

"Eh, Tuan Momo. Kening Anda terlihat biru," ujar Bi Rumi seraya terkekeh. Aku sedikit memanyunkan bibir selama beberapa detik, lalu mendekati kompor.

"Apa sejelas itu, Bi?" tanyaku memastikan.

"Iya, Tuan. Memangnya kenapa? Kok, Anda merasa sedikit gelisah?" Ih, ini Bi Rumi malah tanya balik. Aku hanya menatap malas dan Bi Rumi pun sepertinya sudah mengetahui maksud tersirat dari pertanyaanku.

"Tuan, sebaiknya segera diobati atau-"

"Momoseee ...." Oke, ini bencana. Kenapa mama sudah bangun, sih? Sepertinya aku akan terkena semburan pedas di pagi hari yang dingin ini.

🇲🇨🇯🇵🇲🇨🇯🇵🇲🇨

"Bermain dengan anak pribumi!? Sudah Mama bilang, jangan pernah bermain dengan anak-anak di sini. Mereka semua kejam dengan orang asing seperti kita, paham!?" Sudah tak terhitung jumlahnya aku menganggukkan kepala, meski menghiraukan ocehan mama yang tidak berguna.

"Kalau orang tanya itu dijawab!" teriak Mama.

"Iya, Ma!" jawabku sedikit berteriak.

"Jawab, kok, ikut-ikutan teriak!? Mau jadi anak durhaka!?" Terserah, deh. Aku sudah muak dengan ini semua. Lebih baik aku berangkat sekolah sekarang daripada terus mendengar ocehan mama.

Tiin ... tiin ....

Terima kasih, Papa. Aku pun langsung salim dan meninggalkan mama secepat kilat. Di gerbang rumah sudah ada mobil sedan berwarna abu-abu mengkilap, benar-benar sangat mewah. Tanpa ba-bi-bu, aku langsung masuk ke dalam mobil yang dikendarai oleh ..., loh, bukan Papa?

"Pak Raden, Papa ke mana?" tanyaku. Ya, di dalam mobil ini ada sopir pribadiku. Biasanya papa menggunakan mobil ini untuk mengantarkanku sekolah dan beliau bekerja. Aneh, pikirku.

"Tidak tahu, Tuan. Tuan Mikazuki sepertinya terlambat. Bapak tadi melihat Tuan Mikazuki tergesa-gesa mengeluarkan mobil Pajero-nya." Oh, jadi Papa memakai mobil keluarga untuk bekerja. Terserah, deh.

Kumpulan CerpenkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang