Dear, Arti sebuah Definisi
Saat ini, aku duduk di tempat sepi bersama dedaunan kering. Mengenang semua kenangan yang akan lebur dimakan oleh waktu. Mengingat sesuatu kisah di mana semuanya telah berlalu, lalu membuat hal-hal baru yang belum tentu disukai oleh Sang Mahatahu.
Saat ini, tubuh rapuhku sudah tidak kuat menahan rasa sakit. Tidak tahan dengan orang-orang berpenyakit. Tidak sudi pula melihat manusia-manusia hina yang menjadikan hidup orang lain sebagai singgahan, lalu menghancurkan mereka perlahan.
Jujur, aku ingin kita tetap bersama. Namun, kau bahkan tidak ingin melihatku kembali. Aku bagaikan debu tak kasat mata dan selalu terbawa arus angin kehidupan. Menempel di tubuh manusia, lalu membuat mereka berpenyakit.
Namun, aku akan tetap di sini. Walau badai menerjang, panas matahari menyengat, dan hal-hal lain yang datang aku akan tetap di sini. Aku ingin meminta maaf padamu, meski itu terlambat.
Love, Philosophie
💐💐💐💐💐
“Hoy, bisa cepet gak, sih!?” teriak orang yang ada di belakangku. Duh, sudah tahu aku berjalan menggunakan satu kaki masih saja tidak sabar. Padahal, jalannya tidak sempit.
“Kalau mau cepat, salip saja aku. Mudah, ‘kan?” jawabku enteng.
“Berani-beraninya kau!”
Bugh! Bugh!
Aku terjatuh dan tersungkur di lantai. Kruk yang kugunakan pun terjatuh dan diinjak-injak olehnya. Alhasil, bagian bawah krukku patah dan tak bisa digunakan lagi.
“Udah cacat, belagu pula. Mau jadi apa kamu di sini, hah!? Mau aku bilangin ke Papa untuk mengeluarkanmu!?” teriaknya sekali lagi. Huh, mentang-mentang papanya adalah Kepala Sekolah di SMA ini.
Aku berusaha untuk bangkit dan berjalan menuju kelas, tetapi kakiku dijegal dari belakang olehnya. Aku pun terjatuh kembali dengan kepala yang mendarat terlebih dulu. Bagian belakang kepalaku mengeluarkan darah segar. Setelah itu, pandanganku berubah menjadi hitam.
“Terima kasih telah melupakanku.” Itulah kalimat yang aku dengar terakhir kali sebelum semuanya gelap.
💐💐💐💐💐
“Pah, Kira tadi masuk sekolah?” tanyaku.
“Tidak, dia sekarang sakit. Kenapa?” Papa malah balik bertanya. Aku tidak menjawabnya dan langsung pergi keluar ruangan. Papa adalah Guru Sosiologi dan mengajar di kelas sahabatku, Kira.
“Perasaan aku dan dia sahabatan sudah lama. Kenapa papa tidak tahu?” batinku. Aku pun tidak memikirkan terlalu lama, anggap saja angin yang berlalu. Sekarang adalah menemui Kira di rumah megahnya. Kulajukan motor menuju ke sebuah perumahan elit yang berisi rumah-rumah megah nan besar.
Setelah sampai di depan rumah Kira, aku menekan bel rumahnya dan menunggu sebentar. Beberapa detik kemudian, ada salah satu pembantu Kira membuka pagar dan berlari ke arahku.
“Nona, Nona Kira masih di rumah sakit. Sebaiknya Anda jenguk saja ke sana. Mungkin dia menunggu Nona Belin menjenguk.” Bibi itu tersenyum dan memberikanku alamat rumah sakitnya. Aku hanya bisa mengambil alamat itu dan pergi tanpa permisi, tanpa salam, dan tanpa berterima kasih.
Sesampainya aku di rumah sakit, aku langsung masuk ke dalam dan melihat mamanya Kira sedang duduk di ruang tunggu. Aku pun mendekati dan duduk di sebelahnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpenku
Historia CortaDari sini, aku bisa berkomunikasi langsung secara tersirat tanpa harus melihat raut wajah manusia. Jika kalian suka, boleh tinggalkan sesuatu untukku? Hanya itu dukungan yang aku mau untuk terus menjalani hidup dan berkarya. Cerita di dalam sini se...