Bukan Kaleng-kaleng Tim

21 4 0
                                    

     Kubuka album usang yang berada di bawah tempat tidur. Album ini adalah album sejarah yang tak pernah kubuang, meski berada dalam tempat yang suram. Bukan hanya isinya saja yang membuatku bernostalgia, sampul album ini saja sukses membuat ingatan yang membekas di pikiranku.

     Dengan lembut, aku membuka lembar demi lembar dan melihat foto-foto yang tertempel dalam setiap halaman. Hatiku tercekat dan aku tak bisa bernafas. Aku ingin menangis sekarang juga.

     Tuhan, bisakah Engkau mengulang kejadian 3 tahun lalu? Aku rindu mereka, Tuhan. Aku tak bisa menyembunyikan rasa penyesalan dan kekecewaanku kepada mereka. Di bawah kasurku, terdapat 10 album yang sama.

➿➿➿➿➿➿➿➿

ᴛɪɢᴀ ᴛᴀʜᴜɴ ʏᴀɴɢ ʟᴀʟᴜ ....

     Hari minggu ini sangat cerah. Dengan segelas susu dan 2 lembar roti yang ditumpuk, aku sudah merasa kenyang dan berenergi. Sekarang waktunya aku berkeliling sebentar untuk merasakan sejuknya Kota Malang.

     Aku meninggalkan rumah sederhanaku dan berjalan menuju alun-alun. Tempat ini enak dan sangat nyaman untuk dijadikan sarana olahraga. Dengan santai, aku memutari alun-alun dan bertemu dengan guruku, Pak Budi.

     “Ah, kebetulan sekali Bapak bertemu kamu di sini. Ada yang ingin Bapak bicarakan.” Tampang Pak Budi yang serius membuatku sedikit ketakutan. Aku pun mengikuti Pak Budi yang duduk di salah satu bangku alun-alun.

     “Bapak mendapat kabar, kalau kamu pernah membuat kumpulan cerpen. Apa itu benar?” tanya Pak Budi. Aku hanya bisa menganggukkan kepala pelan.

     “Bapak ingin kamu mengikuti lomba ini. Namun, kamu harus mencari 9 teman lagi.” Pak Budi memberikan sebuah undangan padaku. Saat kubaca, seluruh organ tubuhku seperti berhenti sejenak. Lomba Cerita Bersambung (Cerbung) dengan tema persahabatan. Lomba diikuti oleh 10 siswa dan sudah tingkat nasional. Aku ingin bernapas sekarang.

     “Saya siap, Pak. Saya akan mencari 9 siswa di sekolah. Terima kasih pemberitahuannya, Pak.” Aku menyalami Pak Budi dan meninggalkannya begitu saja di bangku alun-alun. Ini nyata, 'kan? Aku pasti bermimpi. Jika benar ini mimpi, maka aku tak ingin bangun. Besok aku harus mencari 9 orang untuk mengikuti ini.

     Aku pun sampai ke rumah. kubuka tas, mengambil buku dan pensil, lalu membuat target siapa saja yang akan direkrut dalam kelompok. Kutulis semua siswa yang mungkin berpengaruh dalam kelompok dan berpotensi dibidang ini.

     “Lora, Maris, Nab, Damar, dan Cece. Sepertinya hanya itu saja yang ada di kelas. Sekarang waktunya menarget anak ekstrakulikuler. Retno, Widya, dan Putra. Sebentar, kurang satu lagi.” Aku berpikir keras, karena targetku masih kurang satu.

     “Besok saja aku mencari satu orang ini. Sekarang aku ingin kumpul sama teman-teman dulu. Aku harus siap-siap.” Aku beranjak menuju kamar mandi dan membersihkan badan.

     “Aku harus memenangkan ini,” batinku.

➿➿➿➿➿➿➿➿

     “Assalamualaikum,” ujarku dan dijawab dengan orang-orang yang sudah ada di dalam kelas. Aku melihat kelima targetku telah berada di dalam kelas. Sekarang saatnya aksiku dimulai.

     “Lora, baca undangan ini.” Aku memberikan undangan kepadanya. Ia tampak sedikit kaget dan menerima undangan yang sudah aku fotokopi. Aku pun beranjak menuju meja Maris dan Nab—mereka duduk sebangku. Mereka juga sedikit kaget dan membacanya. Sampai giliran Cece yang berada di bangku paling belakang dan pojok.

     “Kamu tidak berbohong, 'kan?” tanya Cece.

     “Momo! Aku ikut!” teriak mereka semua bebarengan. Aku senang karena mereka semua mau membantuku memenangkan perlombaan ini.

Kumpulan CerpenkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang