Sebuah Perlawanan

81 4 0
                                    

     Ini bukan sesuatu yang mewah, bahkan sangat sederhana. Namun, kuharap tulisan ini bisa memotivasi kalian tentang semua seluk-beluk dunia ..., juga kehangatan. Karena semua orang tahu, tidak selamanya pemikiran orang itu sama.

***

     Dunia adalah tempat orang-orang tinggal dan hilang. Tempat untuk berlomba-lomba dalan kebaikan. Tempat untuk saling tolong dan ditolong. Ah, lupakan dua kalimat terakhir itu, karena aku sedang membual.

     Fakta sudah tidak memihak kebaikan. Semua hal telah dihalalkan untuk meraih kekuasaan. Rakyat kecil? Hm, mungkin hanya bisa mengeluarkan aspirasi untuk sejahtera.

     Lupakan soal politik, karena aku tak menyukainya. Hal yang lebih penting adalah terbebas dari jeratan lingkungan sekolah yang jahat ini. Sungguh, murid-muridnya sudah tidak ada yang beres.

     “Hoy, Mo. Bawa tas gue ke kelas. Gue mau cabut dulu.” Tuh, kan. Itu salah satunya, Fano. Berandalan itu tidak ada jeranya setelah di-skors oleh guru selama dua minggu. Aku tidak merasa di-bully olehnya memang, tetapi batin ini sakit entah apa alasannya.

     Aku pun memasuki kelas dan menaruh tas Fano di bangku favoritnya—pojok paling belakang. Setelah itu, aku duduk di bangku paling depan. Waktunya aku untuk menyelami ilmu. Namun, lagi-lagi diganggu oleh seseorang.

     “Mo, sapa yang suruh lu sebangku sama Retno? Mau gue hantam?” tanya seseorang itu, membuatku sedikit ketakutan. Ya, di sebelahku ini adalah Retno, pacar dari Galih.

     “Eh, maaf. Aku bakal pindah di sebelah.” Mengalah lebih baik. Aku tak ingin terlalu bermasalah di sini.

     “Gak usah, Mo. Galih, jangan terlalu jahat sama Momo. Ia sudah banyak berjuang untuk kelas kita.” Sanggahan Retno membuat bulu kudukku sedikit berdiri. Ditambah tatapan tajam Galih, sempurna sudah masalahku.

     “Gue gak jahat, kok. Cuman meminta tolong aja, ‘kan?” Aku hanya mengangguk setelah mendengar kalimat tanya itu. Pusing adalah keadaanku saat ini.

***

     “LU APAIN PACAR GUE SAMPE GAK BELAIN GUE SAMA SEKALI, HAH?” tanya Galih dan membuatku terpojok. Kami berada di gedung tak terpakai yang entah sejak kapan belum juga dirobohkan.

     Oke, kembali ke Galih yang sedang berapi-api. Emosinya yang tidak stabil membuatku tak berkutik. Aku tahu dia adalah salah satu anak berandal populer kedua setelah Fano. Hah, banyak sekali berandal di kelasku.

     “A-aku tidak melakukan apa pun. Aku hanya membantunya mengerjakan PR, karena dia bertanya padaku.” Aku hanya bisa menjawab sekenanya.

       BUGH!

  BUGH!

        BUGH!

     Tiga pukulan membuatku kalah telak. Aku terjatuh seraya memegangi perut. Rasa sakit ini memang tidak parah dibanding semua suruhan mereka. Aku tak tahu lagi apa yang harus dilakukan selain pasrah.

     “Hoy, Lih! Gue udah laporin lo ke BK. Masih nyentuh dia lagi, gue bakal panggil Pak Bambang ke sini!” Oke, nyawaku terselamatkan. Kudengar Galih mengumpatkan sumpah serapah untukku dan orang yang menyelamatkanku, meski samar.

     “Lu masih selamat sekarang.” Galih pergi meninggalkanku yang sudah lemas ini. Tak lama kemudian, siswa itu mendekatiku.

     “Lu gak papa?” tanyanya. Aku hanya bisa menganggukkan kepala sangat lemah.

     “K-kamu tau dari mana?” tanyaku.

     “Gak penting. Ayo, gue bopong lu ke UKS. Seenggaknya diobati dulu sebelum pulang.” Aku yang sudah lemah ini hanya bisa pasrah.

     “Makasih udah mau menolongku, meski kita gak saling kenal,” ujarku lemah.

     “Gue, Vero. Anak kelas sebelah. Gue. Emang anak itu sukanya nyari gara-gara.” Vero mulai geram dengan kelakuan Galih. Bukan hanya Vero, orang lain pun akan geram dengan sikapnya yang semena-mena.

     “Entar gue anterin pulang.”

     “M-makasih.”

***

     Setelah 2 minggu kejadian itu, akhirnya luka pukulanku sudah membaik dan diperbolehkan sekolah kembali. Namun, suasana kelas benar-benar berbeda. Tak ada lagi yang cuek denganku dan itu sangat aneh. Aku pun mendekati Retno dan bertanya apa yang terjadi di kelas.

     “Pacarku putus sekolah, Mo. Orang tuanya udah gak bisa membiayai lagi. Katanya, sih, cerai. Dia gamau ngomong apa-apa, Mo.” Aku kaget dengan pernyataan Retno bahwa Galih keluar dari sekolah hanya karena orang tuanya, bukan karenaku.

     “Apa kau tau rumahnya, No?” tanyaku. Ia pun mengangguk dan aku mulai menyusun rencana bersama Retno.

     “Kamu beneran, Mo?”

***

     “Ini rumahnya?” Retno mengangguk saat aku menunjuk rumah kecil yang terbuat dari anyaman bambu itu. Aku tidak tahu jika Galih seperti ini.

       Tok

   Tok

          Tok

     “Assalamualaikum.”

     “Mau apa lu ke sini? Ini bukan tempat lu.” Aku dan Retno kaget dengan sahutan dari belakang. Ya, ada Galih di belakang kami sedang menggendong satu karung berisi sampah plastik.

     “Gal, kamu ikut kami ke sekolah. Ajak orang tuamu juga. Tidak ada penolakan,” ujarku. Galih hanya menggerutu saja dan masuk ke dalam rumah.

     “Mo, terima kasih,” ujar Retno.

     “Sudah menjadi tugas seorang teman.” Aku tersenyum. Galih memang jahat denganku, tetapi musuh itu relatif, ‘kan? Toh, aku tahu jika Retno yang menyuruh Vero. Rahasiakan, ya?

***

F I N .

Kumpulan CerpenkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang