“Cha, benar ini tempatnya?” tanyaku dengan sedikit ketakutan. Bagaimana tidak, ia tiba-tiba mengajak kami berempat bermain dan sampailah di sini. Rumah ini sudah lama sekali ditinggal oleh penghuninya. Aku sudah cukup tahu hanya dengan rumor yang beredar dan sekarang aku diajak untuk masuk ke dalam.
“Benar, kok. Kita akan bermain di sini, Chi,” jawabnya. Aku, Chua, Cece, dan Chocolate hanya bisa memandang Chaca dengan tatapan seperti orang ketakutan. Namun, bukan Chaca jika ia membatalkan ini semua.
Ia pun membuka gerbang besi yang sudah berkarat dan ditumbuhi tanaman rambat. Dengan rumput liar setinggi lutut dan satu pohon mangga besar di tengahnya membuat rumah ini mengurangi kadar suhu yang sebelumnya hangat menjadi semakin dingin.
“Kita pulang saja, yuk.” Chua memberontak dan menarik tangan Chaca, tetapi ia tetap bersikeras untuk masuk ke dalam rumah angker ini. Akhirnya, kami sudah sampai di depan pintu rumah. Suasana di sini benar-benar menakutkan dan mencekam. Aku hanya berdoa agar bisa keluar dari rumah ini dengan selamat, tanpa ada sedikit pun teror.
Kami pun membuka pintu kayu yang lapuk itu dan melihat ke dalam rumah yang penuh dengan kegelapan. Dengan berbekal senter, kami memasuki rumah itu bersamaan. Ini adalah liburan paling aneh dan menyeramkan menurutku―mungkin kami juga sepakat.
“Kita bermain di sini saja.” Chaca mengeluarkan sebuah papan dengan abjad dan angka yang lengkap, juga sebuah ... apa itu? Tampak seperti sebuah lup. Ia meletakkan papan permainan itu di meja ruang tamu rumah ini. Kami juga menarik sofa yang sudah rusak hanya untuk sekedar diduduki saja. Nah, persiapan pun selesai dengan sangat cepat.
“Che, letakkan jari telunjuk dan jari tengahmu di sini.” Chaca memandu Chocolate untuk menaruh kedua jari itu pada benda yang kubilang seperti lup barusan. Ia pun menggangguk. Selanjutnya giliran Cece, Chua, aku, dan terakhir Chaca.
“Sekarang putar benda ini sesuai orang yang akan bermain,” lanjutnya memandu kami berempat. Kami pun memutar benda seperti lup ini sampai lima kali. Setelah itu, mulut Chaca seperti membacakan sesuatu. Mungkin itu adalah prosedur dari permainan ini. Jadi, aku diam saja tanpa bertanya.
“Jangan ada yang melepaskan benda ini sampai kita selesai bermain, paham?” Semuanya pun mengangguk. Chaca pun mulai bertanya sesuatu, “Halo, apa kamu berada di sekitar sini?” Benda seperti lup itu perlahan bergeser ke arah kata “ya” yang ada di pojok kanan papan.
“Oke, kalian bisa bertanya apa saja. Namun, kalian tidak boleh macam-macam.” Chaca menjelaskan pada kami dan mengangguk saja. Aku pun bertanya terlebih dahulu, “Namamu siapa?”
Benda yang kami pegang ini kembali bergerak dengan sangat cepat dari huruf ke huruf dan menjadi sebuah nama orang. “Momo,” gumamku. Aku baru sadar, bahwa ini adalah permainan untuk memanggil arwah yang tidak bisa semua orang lihat. Chua tampak ketakutan, mukanya pucat dan ia seperti menahan untuk tidak berteriak.
“Berapa usiamu?” tanya Cece dengan penasaran. Benda ini pun bergerak lagi, menunjukkan angka satu dan enam. Ah, dia seumuran dengan kami semua. Aku tidak ingin menilai, tapi dia seperti orang yang baik. Mungkin aku akan bertanya pada saat-saat terakhir saja.
“Kenapa kamu bisa meninggal?” Pertanyaan Chocolate membuatku merinding. Aku ingin menyumpahinya sekarang juga. Sifat frontal Chocolate membuat atmosfer di rumah ini menjadi semakin mencekam. Entah benar atau tidak, tapi kelihatannya ada “seseorang yang bernapas” di rumah ini selain kami berlima. Ah, mungkin hanya perasaan saja.
Benda ini yang semula tidak merespon akhirnya bergerak dengan sangat lambat, tetapi tetap mengeja huruf demi huruf yang terpampang di papan. Saat benda ini berhenti, kami semua terkejut. Balasan yang kami terima sangat bertolak belakang dengan apa yang Chocolate tanyakan.
“Hati-hati? Apa maksudnya?” tanya Chocolate.
“Mungkin kita disuruh pulang oleh arwah ini. Lebih baik kita pulang sekarang. Selamat tinggal,” ujar Chua dengan raut wajah yang sama seperti yang kulihat beberapa menit yang lalu. Benda ini mengarahkan menuju kata “selamat tinggal”. Apa permainan ini sudah selesai? Hm, sepertinya begitu.
“Aku pulang dulu.” Chua dengan gemetar menuju pintu untuk keluar dari rumah ini. Namun, suara itu membuat Chua semakin ketakutan dan histeris. Bukan hanya Chua, kami semua pun terkaget mendengar suara itu
BLAM!
“Tidak! Pintunya terkunci!” Aku berlari menuju pintu dan mencoba membukanya sekuat tenaga saat Chua berteriak seperti itu. Namun, itu semua hanya menghasilkan sesuatu yang tidak berguna. Ini sudah gila dan aku harap ini bisa cepat diselesaikan. Aku melihat Chua menangis di sebelah kananku dan wajah panik dari mereka bertiga di ruang tamu yang tidak jauh dari tempatku berdiri.
“A-aku ingin pulang ....” Chua masih tetap menangis. Aku memeluk dan mencoba menenangkannya.
“Tenang, Chua. Ada teman-temanmu di sini. Kautidak boleh ketakutan seperti ini, mengerti?” ujarku. Ia pun mengangguk dan kembali menuju ruang tamu. Kami semua mencoba setenang mungkin, sampai suara asahan pisau berbunyi. Suara itu terdengar sangat jelas di sekitar kami dan berhenti tepat di belakang Cece.
“Teman-teman, apa suara itu berhenti di belakangku?” Hendak kami mengangguk dan memberi jawaban, tetapi Cece sudah terkapar dengan gorokan yang ada di lehernya.
“KYAA!” Semuanya ketakutan dan berlari menuju suatu ruangan, lalu menguncinya. Sekilas aku mendengar bunyi orang sedang menyimpul tali tampar dengan sangat erat di dalam ruangan ini, juga suara derapan kaki yang semakin mendekat. Suara itu berhenti di belakang Chocolate. Dengan sigap, ia menarik Chocolate dan bunyi tali menggantung pun memenuhi ruangan ini.
Kami pun berteriak dan keluar dari ruangan yang gelap itu. Saat kami berlari, Chua tiba-tiba terjatuh dan kakinya tertarik oleh bayangan hitam.
“Teman-teman! Tolong Aku!” teriak Chua yang semakin lama semakin pudar. Aku dan Chaca pun tak ada pilihan selain berlari menuju pintu belakang. Sepertinya itu pintu yang aman, menurutku.
“Di situ ada taman, ayo kita keluar dari sini,” ujar Chaca.
Saat aku membukanya, pemandangan ini membuatku terkejut. Kue, dekorasi ulang tahun, dan teman sekelas tampak memenuhi taman belakang ini. Jadi, ini semua hanya untuk mengerjaiku?
“CHIO! SELAMAT ULANG TAHUN!” ujar teman-teman sekelas dengan serempak. Aku hanya bisa menangis antara takut dan senang. Perayaan ini adalah yang paling baik di hidupku.
Aku pun beranjak menuju meja yang terdapat kue dengan lilin yang menyala di atasnya. Setelah menyanyikan lagu, aku pun meniup lilin dan memotong kue menjadi beberapa bagian. Pertama aku memberikan ini kepada si Pencetus Ide, Chaca. Kedua aku memberikan kue ini kepada si Pembunuh, Alex dan Rael. Terakhir kepada si Korban, Chua, Cece, dan ... lho, Chocolate di mana?
“Teman-teman, Chocolate di mana?” tanyaku.
“Tadi aku melihat Rael dan Alex menggantungnya di ruangan itu.” Chua menunjuk ruangan dengan pintu yang masih terbuka itu. Ah, kami lupa menutup pintu ruangannya.
“Apa? Kami bahkan tidak memasuki ruangan itu,” ujar Alex mengelak tuduhan itu dan Rael mengangguk dengan sangat yakin. Bulu kuduk kami pun berdiri dan kembali menengok ruangan itu. Suara ini membuatku ingin menarik ucapan, bahwa ini adalah perayaan ulang tahun terbaik.
“Namaku, Momo.”
E N D . . . .
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpenku
KurzgeschichtenDari sini, aku bisa berkomunikasi langsung secara tersirat tanpa harus melihat raut wajah manusia. Jika kalian suka, boleh tinggalkan sesuatu untukku? Hanya itu dukungan yang aku mau untuk terus menjalani hidup dan berkarya. Cerita di dalam sini se...