Murni Nurani

60 3 0
                                        

     “Rani, cepatlah atau kita akan ketinggalan pesawat. Siapa yang suruh berkemas pada saat hari-H, sih?” Sandra terus mengomel dengan sarkas, membuatku ingin menyumpalkan kaos kaki ke mulutnya. Aku hanya bisa mondar-mandir untuk mengambil semua barang yang dibutuhkan.

     “Mending bantu aku, deh. Jangan hanya mengomel sampai berbusa. Telinga ini lelah untuk mendengarkan ocehanmu.” Dia hanya terkekeh dan ikut merapikan barang-barangku. Salahku juga, sih. Aku sama sekali tidak mengingat jika hari ini harus terbang ke Papua. Hah, menjadi guru memang harus susah dulu.

     Setelah selesai berkemas, kami memesan taksi menggunakan aplikasi. Nah, saatnya kita menunggu di depan gang rumahku, karena taksi tidak bisa masuk lewat jalan setapak. Lima menit kemudian, taksi pun datang dan kami langsung masuk.

     “Agak ngebut ya, Pak. Nanti saya kasih uang tambahan,” ujar Sandra.

     “Siap, Mbak.” Bapak itu langsung menyetir mobilnya dengan sedikit cepat. Jalanan Sidoarjo yang lenggang membuat kami bersyukur dan optimis untuk datang tepat waktu ke Bandara Juanda.

     “Mbak-mbaknya dari Unesa?” tanya Bapak itu.

     “Kok, Bapak tahu?” tanyaku balik. Aku melihat sang bapak tersenyum dari pantulan kaca mobil berbentuk persegi panjang.

     “Anak saya baru saja terbang ke NTT. Saat kuliah, dia mengambil jurusan Pendidikan Bahasa Inggris.” Bapak itu mulai bercerita tentang anaknya. Ternyata anak bapak itu juga satu kampus dengan kami, tetapi beda jurusan saja. Aku dengan Sandra juga berbeda jurusan, dia mengambil jurusan Pendidikan Matematika sedangkan aku Pendidikan Bahasa Indonesia.

     Tak terasa, kita pun sudah sampai di tujuan, Bandara Juanda. Sandra memberikan uang lebih untuk bapak itu dan mengucapkan terima kasih, tak lupa kami meminta doa untuk kelancaran di sana.

     “Semangat! Indonesia butuh semangat kalian.” Bapak itu tersenyum dan mengendarai mobilnya menjauhi bandara. Kami pun masuk ke dalam bandara dengan cepat, karena takut terlambat untuk terbang ke Papua. Setelah masuk, kami melakukan pengecekan barang-barang yang dilarang untuk dibawa.

     “Hah, untung saja tidak terlambat. Bisa-bisa kita mengulangi tahun depan jika terlambat,” ujar Sandra. Kita pun duduk sesuai dengan apa yang tertera di tiket pesawat

     “Aku setuju denganmu.” Aku menimpali perkataan Sandra, tetapi dibalas dengan pukulan di ubun-ubun. Aku mengadu kesakitan dan melihat ke arah Sandra.

     “Ini semua ulahmu, mengerti?” Sandra memunggungiku dan ia lebih memilih untuk melihat ke luar jendela pesawat.

     “Maafkan aku. Kemarin aku kelelahan dan tertidur hingga subuh,” ujarku.

     “Aku ingin tidur dulu, bangunkan aku 4 jam lagi.” Ia mengambil selimut yang sudah tersedia di pesawat dan tidur dengan cepat. Aku hanya bisa menggelengkan kepala saat ia telah terlelap. Sebentar lagi, kami akan menjalankan tugas negara.

❤❤❤❤

Jayapura, Papua Barat
Pukul 12.00 WIT

     “WELCOME TO JAYAPURA!” Sandra berteriak saat berada di Bandara Sentani, Jayapura. Ia benar-benar antusias untuk mengikuti SM-3T ini, berbeda denganku. Aku takut menjadi tumbal mereka, apalagi tempatnya benar-benar belum diketahui banyak orang. Terlalu alay memang, tetapi khawatir dengan diri sendiri tak apa, ‘kan?

     Kami pun keluar dari bandara dan menunggu Kepala Desa untuk menjemput. Tak lama kemudian, terlihat seseorang menghampiri kami dan memperlihatkan papan yang dipegangnya.

     “Ah, benar. Kami dari Unesa.” Ia pun masuk ke mobil, diikuti oleh kami. Setelah itu, ia mulai menjalankan mobilnya berkecepatan sedang.

Kumpulan CerpenkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang