Hukum Perasaan

48 2 0
                                    

       “Gue udah dapet seragam cewek Jepang tiga kali, dan ini yang keempat.” Pemuda imut itu menggerutu. Hari ulang tahunnya benar-benar hancur hanya karena 4 seragam wanita Jepang. Berengseknya, sahabat pemuda itu dengan seenaknya ketawa-ketiwi sampai sakit perut.

        “Udah, lu nge-trap aja. Cocok, kok. Wajah lu kawaii gitu.” Pukulan maut pemuda imut itu mendarat dipunggung seorang remaja di sebelahnya, membuat remaja tampan itu mengaduh kesakitan. Sepertinya punggung remaja itu terdapat cap 5 jari.

        “Aduh, hati gue sakit,” ujar sang remaja, membuat pemuda imut itu kebingungan.

        “Vero, gue kan ngejotos kepala lu. Kenapa yang sakit hati lu? Gue tau, kok, kalau lu sad boy, tapi jangan ngenes amat napa. Kasian gue liatnya.” Pemuda itu itu menyengirkan bibirnya, memperlihatkan gingsul yang manis dan sangat cocok untuknya. Vero hanya bisa melihat pemuda itu dengan senyum penuh arti.

        “Momo yang baik, rajin menabung, imut, dan cetar membahana. Gue bukan sad boy. Lu tau alasannya kenapa?” Momo—pemuda itu—menggeleng. Lebih tepatnya, dia tidak peduli dengan omongan Vero dan kembali melanjutkan aktivitasnya— membuka kado ulang tahun.

     BRUK!

        Vero menindih dan mengunci Momo sangat erat, membuat pemuda manis itu meronta hebat. Namun, Vero malah memunculkan senyum bak iblis jahat.

        “Lepasin gue, Cuk!” ujar Momo.

        “Kenapa kamu sangat imut, Mo? Gak salah kalau ada yang ngasih seragam cewek.” Vero terus menggoda Momo. Namun, ia masih berusaha untuk melepaskan diri. Cengkeraman Vero terlalu kuat dan itu membuat si pemuda manis semakin tidak berdaya.

        “Karena gue punya lu, Mo. Makanya gue bukan sad boy.” Pernyataan itu membuat Momo menghentikan rontaannya, melihat mata Vero yang sayu, dan menyelisik kebohongan lewat matanya. Nihil, itu bukan lagi sebuah kebohongan.

        Namun, pemuda manis itu masih tidak percaya. Ia memutar kembali pikiran yang masih tersisa beberapa bulan lalu di mana hati Momo merasa tersayat. Takut dengan apa yang ada di hatinya, Momo pun memilih untuk mengatakan sesuatu.

        “Ver, ini beneran ....”

****

  Dua bulan yang lalu.

        “Momooo!” teriak Vero dari kejauhan. Merasa dipanggil, pemuda manis itu menoleh ke belakang dan menghentikan langkah kakinya.

        “Hah?” tanyanya cuek.

        “Gak ada manis-manisnya. Makanya lu gak laku-laku, Mo.” Vero tertawa, berbanding terbalik dengan Momo yang menahan tangannya untuk tidak menyakiti sang pemuda tampan.

        “Lu niat manggil apa ngehina gw, hm?” tanya Momo dengan senyuman paksa, masih menahan untuk tidak memukul kepala Vero.

        “Kalimat gue tuh tersirat, Mo. Lu yang pinter dikit napa.” Momo paham, bahkan sangat paham candaan Vero yang ia anggap serius. Namun, ia tak ambil hati untuk menanggapi semua perkataan Vero, karena Momo tahu siapa Vero sebenarnya.

        “Lebih baik lu urusin pertandingan futsal besok, deh. Gak penting juga ngurusin gue.” Momo berjalan lebih dulu setelah berbicara seperti itu. Namun, langkah kaki Vero lebih besar daripada Momo. Anggap saja mereka kejar-kejarnya, tetapi tidak berlari.

Kumpulan CerpenkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang