Saat itu, aku sudah tak kuat untuk hidup. Mereka semua pun tidak mendukungku. Namun, ada hal yang membuatku selalu merasa kuat. Ya, sebuah kehangatan dibalik bekunya musim dingin.
🏵🏵🏵🏵
Hal mendasar ini mungkin sudah luput oleh sebagian orang, tetapi tidak untuk pemuda yang duduk di bangku taman yang sepi itu. Dia baru saja memikirkan hal-hal paling dasar kehidupan, yaitu bagaimana caranya bahagia? Ya, pemuda murung itu selalu saja bertanya-tanya dalam dirinya dengan pertanyaan yang sama.
Sejuknya angin sore, eloknya langit jingga, hingga lucunya dua kucing yang sedang berlarian tidak membuat sang pemuda itu tertawa. Jangankan tertawa, tersenyum saja sudah tidak pernah diperlihatkan lagi. Ia sudah tak minat untuk tersenyum ..., dan juga hidup. Pemuda itu juga beranggapan bahwa senyum yang ia tampilkan 7 tahun lalu merupakan senyuman terakhir di bibirnya yang mulai memucat itu.
Jangan salahkan penulis jika memilih musim yang berbeda sesuai yang kalian harapkan, karena musim panas di Indonesia bukan berarti musim panas di Benua Eropa. Hal itu juga dirasakan oleh pemuda murung itu. Tidak selamanya, perpisahan itu menyakitkan.
🏵🏵🏵🏵
Tujuh tahun yang lalu.
Musim gugur sudah berlalu di Inggris, berganti dengan hari pertama musim dingin. Suhu yang kurang dari 0 derajat ini membuat seorang remaja berjalan kaki menggunakan pakaian yang amat tebal. Meski begitu, ia tetap saja kedinginan.
Tak jauh dari tempat itu, terdapat seorang gadis sedang mengikuti langkah sang pemuda. Dengan pakaian yang sama dan membawa sebuah buku kecil, ia berusaha untuk menguntit ke mana pemuda itu akan berhenti.“Mengikuti orang itu tidak baik, Nar.” Pemuda itu berbalik dan menangkap basah sang gadis. Ia pun terkekeh dan mendekati sang gadis yang mematung tak berdaya. Tangan pemuda itu dengan iseng mengambil topi rajut milik sang gadis, membuat sang pemilik marah dan berusaha mengambil benda kesayangannya.
“Hahaha, kau tak akan bisa mengambilnya. Ehm, kecuali kau sudah melebihi tinggiku.” Ia mengangkat tangannya tinggi-tinggi, hingga sang gadis tak bisa menggapainya. Melihat semakin banyak butiran salju di rambut kecoklatan sang gadis, pemuda itu mengacak-acak pemilik rambut itu dan memberikan kembali topi rajut milik sang gadis.
“Hukuman karena kau terlalu ingin tahu dengan hidupku, Nara.” Wajah sang pemuda selalu tersenyum jika melihat gadis itu cemberut, seperti sekarang. Di sisi lain, sang gadis membalikkan badannya dan berjalan membelakangi sang pemuda yang menyunggingkan senyum perpisahan.
Setelah sang gadis menghilang dari hadapannya, pemuda itu melanjutkan perjalanannya menuju apartemen kecil di pinggir kota. Tak banyak yang tahu apartemen itu, karena tempatnya yang kecil dan tidak dijangkau oleh transportasi apa pun.
Saat pemuda itu telah sampai di apartemennya, telinga pekanya mendengar suatu percakapan yang seru dan mungkin tidak bisa ditinggalkan di dalam apartemen yang dihuninya. Pemuda itu pada akhirnya mengurungkan niat untuk masuk ke dalam.
“Aku sudah tidak kuat dengan orang gila itu. Ia sudah tidak waras, Pa.” Pemuda itu kaget dengan perkataan ibunya. “Siapa yang ibu maksud?” pikirnya. Di apartemen itu tidak ada orang gila yang berkeliaran menurut sang pemuda.
“Lebih baik suruh anakmu kembali ke Indonesia. Dengan begitu, ia akan pulih dengan sendirinya.”
Deg!
Sudah tidak ada lagi yang perlu mereka tutupi dari pemuda itu. Semuanya sudah terkuak, tetapi kenapa dia semarah itu? Saat itu pula, ibu pemuda itu keluar dari apartemennya dan kaget dengan keberadaan sang pemuda di ambang pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpenku
Krótkie OpowiadaniaDari sini, aku bisa berkomunikasi langsung secara tersirat tanpa harus melihat raut wajah manusia. Jika kalian suka, boleh tinggalkan sesuatu untukku? Hanya itu dukungan yang aku mau untuk terus menjalani hidup dan berkarya. Cerita di dalam sini se...